Bahas Black Mirror, Yuk!

998
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Siapa di sini yang nggak tahu film seri ini? Siapa yang fans beratnya? Hayo, berantem! (Hahaha). Black Mirror adalah serial Netflix bertemakan fiksi ilmiah yang membahas banyak “sisi gelap” dari teknologi/sains modern.

Judulnya memiliki maksud bahwa layar hitam yang merefleksikan diri kita saat handphone, komputer, atau tablet kita sedang tidak dipakai. Konten serial yang telah banyak memenangkan penghargaan ini pun seperti kaca yang merefleksikan kondisi sosial kita sekarang ini. Mereka mengambil ide, konsep, dan sistem yang sudah ada dan menaruhnya di kondisi ekstrem dengan teknologi yang mendukung. Yuk, kita tengok bersama ide-ide briliannya.

1. Safety – Control – Privacy – Freedom
The first episode I watched was “Arkangel”. Episode ini adalah tentang seorang ibu yang merasa sangat protektif pada anak perempuannya karena hampir kehilangannya. Ia kemudian memasang teknologi baru seperti sebuah cip di kepalanya yang bisa digunakan untuk memonitor anak perempuan terkasihnya. Bukan hanya itu, sang ibu juga bisa mengatur apa yang bisa ia lihat, literally censors what she doesn’t want her daughter to see. Spoiler alert: it doesn’t go on well. “Too much” safety becomes controlling and it breaches the boundary of privacy and freedom.

Sang ibu yang berusaha menciptakan dunia yang aman bagi anaknya menjadi over-protecting, menyensor segala hal yang “buruk” (quite literally) dari pandangan anaknya. Apa yang terjadi pada seorang anak yang tidak pernah melihat anjing menggonggong dengan galak padanya, yang tidak bisa melihat darahnya sendiri, dan mendengar kata-kata kasar yang diucapkan temannya? Apa yang seorang ibu lakukan ketika melihat anaknya berhubungan intim dengan lelaki yang tidak ia setujui?

Di episode ini, Black Mirror membawa kita ke pertanyaan-pertanyaan itu.

2. Processing Grief
Pernahkah kita berharap bisa bersama lagi dengan orang yang kita kasihi? Orang yang telah meninggal yang begitu kita rindukan, atau mereka yang begitu sakit hingga rasanya mereka orang yang berbeda. Pernahkah kita berharap bisa memegang tangan mereka sekali lagi, memeluknya sekali lagi, bahkan hanya berbicara dengan mereka lagi? Bagaimana jika kita bisa?

Di beberapa episode, Black Mirror mengambil keinginan yang begitu mendalam ini ke kenyataan melalui kecerdasan buatan, proses data, dan sains modern. Di episode Be Right Back, seorang ibu yang tengah mengandung ditinggal oleh kematian kekasihnya. Ia menghadapi duka melalui berkomunikasi dengan sebuah kecerdasan buatan yang menyerupai almarhum pasangannya (melalui data yang diambil dari media sosial, pesan, dan lainnya sehingga bisa menghasilkan suara, gaya berbahasa, dan karakter yang serupa). Mengambil ekstremnya, sebuah tubuh sintetis persis seperti sang kekasih, membuat seolah ia masih hidup. Meski tentu saja, mesin tetaplah mesin, bukan?

Episode San Junipero yang memenangkan penghargaan Emmy, berlatar di (spoiler alert) sebuah dunia stimulated reality, di mana orang yang sudah mati tetap hidup dan orang-orang tua bisa berkunjung. Juga ada Black Museum, di mana “kesadaran” sang istri yang sedang koma bisa dipindahkan ke pikiran/dahi suaminya. Lama-lama, merasa terganggu, sang suami memindahkannya ke sebuah boneka yang kemudian ditaruh di sebuah museum. Very disturbing. Tapi, semua itu dimulai dari kerinduan dan keinginan untuk bisa bersama dengan orang terkasih selamanya.

3. Social Pressure – Society’s Power
Jika dua poin pertama tadi tidak akrab bagi kalian, tentunya kalian bisa mengerti yang ini, atau paling tidak menyadari betapa hal ini sudah ada di masyarakat saat ini, bukan? Sejak kita muda, kita sudah diwanti-wanti mengenai tekanan sosial oang muda. Begitu banyak yang bisa kita atau teman kita lakukan karena didorong oleh teman. Kini, dengan media sosial dan internet yang menghubungkan dunia, pengaruhnya bukan hanya dari teman-teman dan keluarga kita saja, tapi seluruh dunia. Like di Instagram, retweet di twitter, tanda jempol di facebook, rate service di uber, dan lain-lain. Kita semua saling menilai dan saling dinilai.

Kenyataan ini dibawa lebih jauh di episode-episode Black Mirror, seperti Nosedive yang membayangkan sebuah dunia di mana kasta sosial seseorang ditentukan oleh seberapa mereka dinilai oleh orang-orang yang mereka jumpai; Hanya orang dengan nilai 4.5 yang bisa membeli rumah di daerah ini; hanya mereka yang rate 4-5 bisa membeli tiket kelas bisnis; hanya mereka yang nilainya 3 ke atas bisa mendapat pekerjaan. Orang-orang dengan nilai 1-2 dianggap orang yang berbahaya. Apakah kita melihat orang “keren” berdasarkan followers mereka? Apakah kita melihat diri kita dengan cara itu?

Selain itu, di episode Hated in the Nation, The National Anthem, dan The Waldo Moment, Black Mirror mengeksplor bagaimana masyarakat membentuk dan memengaruhi politik. Di episode pertama, seorang petinggi negara bersetubuh dengan hewan. Well, ini karena didorong oleh pandangan sosial. Di Waldo Moment yang dianggap sebagai episode yang terlalu nggak masuk akal, sebuah boneka kartun memenangkan pemilu. Tapi, kemudian Donald Trump menang dan banyak yang mengatakan bahwa episode ini “meramal” hal itu terjadi. Waldo, boneka yang tidak peduli politik dan dianggap otentik karena tindakannya yang komikal dan blak-blakan.

4. Realization of Imagination
Yang dimaksud di sini bersinggungan erat dengan realitas visual/kecerdasan buatan yang bisa membuat imajinasi kita terasa sangat nyata. Ketika berbicara mengenai hal ini, seringkali orang masih berpikir mengawang-awang tentang apa yang bisa dilakukan. Kebanyakan masih membayangkan tentang game yang terasa nyata atau, maafkan keterusteranganku, pornografi yang realistis. Meski begitu, Black Mirror bermain dengan area-area lain, seperti menghadapi rasa takut yang nyata (Playtest), memasukan kepribadian seorang artis di boneka (Ashley Too), bahkan balas dendam ke orang-orang yang kita benci di kehidupan nyata (USS Callister).

Pada akhirnya, yang bisa membatasi saat ini (atau kenyataan) dengan kisah-kisah di Black Mirror adalah moralitas kita. Seberapa jauh kita akan mengijinkan perkembangan teknologi yang tampaknya tidak terbatas ini? Hanya karena sesuatu bisa dilakukan? Apakah harus dilakukan? Apa yang benar-benar penting, apa yang nyata? I can’t say the episodes are fun to watch, malah menonton ini mungkin meninggalkan perasaan tidak nyaman di hati dan mengganggu pikiran. If nothing else, serial ini membuat kita berpikir dan sadar dengan apa yang mungkin terjadi dan di mana kita harus draw the line, turn of the screen and face ourselves in the black mirror. [IM]

Previous articleAll Things Local – ROAD TRIP TO PORT STEPHENS (Part 1)
Next article“A Peek To Studying Marketing And Media In Sydney”