Tidak ada yang bisa meramalkan bahwa akibat COVID-19, kehidupan yang kita take for granted bisa berubah dalam sekejap mata. Dan, tidak ada yang bisa meramalkan efek perubahan ini dalam kehidupan kita sehari-hari, bahkan setelah pembatasan dicabut dan gaya hidup bisa kembali seperti semula.
Terjebak
Itulah yang aku rasakan ketika menjalani tahun-tahun isolasi mandiri di Jakarta. Komunitas online. Kuliah online. Bukan hanya jarak melintasi laut yang memisahkanku dari kehidupan yang telah kubangun, tetapi juga perbedaan waktu yang semakin mengasingkanku dari irama kehidupan di Sydney.
Tiga bulan menjadi tujuh bulan. Tujuh bulan menjadi satu tahun. Tetap saja tidak ada tanda bahwa perbatasan antarnegara akan dibuka.
Walaupun aku berada bersama keluargaku, tapi… tetap sulit merasa puas ketika hatiku berada bersama mimpiku untuk menjalani wisuda yang sangat dinantikan, dengan seluruh keluargaku yang berencana untuk datang menghadirinya. Yang ada, aku yang pulang ke mereka.
Sulit merasa puas ketika aku menyadari bahwa inilah tahun terakhir menjalani kuliah. Tahun terakhir memiliki waktu luang untuk mengalami road trip bersama teman-temanku. Sesuatu hal yang aku belum pernah lakukan selama masa kuliah karena selalu pulang ke Indo pada saat liburan…
Suatu hari aku mendapat kabar bahwa sebuah penerbit di Sydney sedang mencari seorang editorial assistant. Aku langsung merebut kesempatan itu. Posisi ini adalah salah satu yang telah kuimpikan. Setelah menghubungi mereka, aku mendapatkan tawaran untuk diwawancarai!
Dengan perasaan girang, aku bertanya apakah wawancara bisa dilakukan online. Jawabannya, bisa. Namun, pekerjaannya sendiri tidak bisa dilakukan online. Dengan begitu saja, kesempatanku hilang.
Sejujurnya, kata-kata marah dan kecewa pun tidak cukup untuk melukis perasaanku pada saat itu.
Di bulan-bulan selanjutnya, aku melihat pembatasan di Australia mulai melonggar, tetapi perbatasannya masih saja tidak dibuka. Ketika teman-temanku menikah, aku hanya bisa menonton lewat layar laptop. Ketika teman-temanku bertemu dan jogging bersama, ataupun bahkan bisa jalan-jalan ke taman-taman nasional dan mengelilingi kota bersama, aku hanya bisa melihatnya melalui foto-foto Facebook.
Walaupun akhirnya aku mampu berdamai dengan situasiku dan memutuskan untuk memaksimalkan waktuku bersama keluarga, di dalam hati, aku masih merasakan bahwa kehidupanku telah dirampas dari tanganku. Kehidupan yang aku telah harapkan, cita-cita untuk melayang tinggi dengan mimpiku, sudah tidak lagi.
Kebebasan Dalam Hati
Dua tahun berlalu dan perbatasan Australia dibuka lagi! Akhirnya, aku bisa kembali!
Just feel the grass, the dirt,just like I dreamed they’d be…
Just feel that summer breeze, the way it’s calling me…
Seperti Rapunzel yang baru saja bebas dari menaranya, aku mengharapkan sebuah dunia yang indah dan terang. Aku bersiap-siap menyambut kehidupanku yang terpaksa kutinggalkan pada masa COVID.
Aku kembali ke tempat-tempat yang aku rindukan, ke teman-teman yang sudah lama tidak bertemu muka. Aku mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang aku sangat suka – menulis untuk Indomedia, bekerja dalam pelayanan anak-anak di gereja.
Namun, kok, ada yang beda, ya? Ada toko-toko yang berubah atau tutup.Teman-teman kuliah sudah banyak yang lulus dan mulai kerja. Tempat-tempat di kampus terasa beda tanpa muka-muka akrab. Dengan perbedaan jadwal dengan teman-teman yang sudah kerja sedangkan aku masih menyelesaikan kuliah, jadwal pertemuan pun tambah sulit.
Belum lagi kelompok-kelompok hang-out yang ternyata telah dibentuk tanpaku oleh teman-teman di Sydney karena pada masa COVID aku tidak bisa ikutan.
Dunia di sekitarku tidak sama dengan yang aku bayangkan sebelumnya. Dan, yang paling mengagetkan, dunia dalam pikiranku tidak berubah sebanyak yang aku harapkan.
Semakin lama aku menjalani kehidupan baru aku di Sydney, semakin aku menyadari bahwa mindset aku belum keluar dari situasi COVID. Seperti seekor burung yang menghadapi pintu sangkarnya yang terbuka lebar.
Saking terbiasanya dengan perasaan tertahan, dia melihat dunia di luar pintunya dan hanya dapat memikirkan segala hal buruk yang bisa terjadi jika ia terbang keluar, hanya dapat merasakan ketakutan seandainya ia terbang keluar lalu tertangkap lagi dan dikurung lagi… sampai akhirnya ia tidak jadi keluar, atau hanya terbang mengelilingi pohon-pohon terdekat lalu kembali ke dalam sangkarnya lagi.
Aku tidak mau menjadi seperti burung itu, karena di dalam sangkar – seindah bagaimanapun sangkarnya – bukanlah tempat untukku. Aku memiliki sayap untuk terbang tinggi. Aku memiliki sayap untuk terbang terhadap impian-impianku yang berada di luar sana, bukan di dalam sangkar ketakutan ini.
Sedikit demi sedikit, aku memberanikan diri untuk keluar, untuk melihat dunia seadanya dan bukan melalui palang-palang sangkarku, untuk mengingatkan diri sendiri bahwa sangkar ini boleh ditinggalkan, bahwa menara ini tidak perlu menahanku dari kehidupan yang sudah ada di depanku.
Mungkin saja suatu hari sesuatu seperti ini bisa terjadi lagi dan aku akan merasa terperangkap lagi. Tetapi sebelum itu terjadi, dunia yang meluas di depanku adalah sebuah dunia yang bebas dan penuh dengan harapan.
Sebuah dunia yang sedang dalam pemulihan setelah trauma kebersamaan yang telah kita alami, sebuah dunia yang tidak sempurna, namun tetaplah sebuah dunia yang siap untuk menyambut kita kembali, asalkan kita berani muncul dari menara pikiran kita. [IM]