Pontianak Kota Khatulistiwa yang punya banyak tempat unik untuk dikunjungi. Selain tempat unik, banyak pula acara festival yang digelar di tempat ini. Baru-baru ini dilaksanakan festival meriam karbit yang dilaksanakan selama satu bulan penuh di sepanjang bulan Ramadhan dan puncaknya dilakukan saat takbir berkumandang. Ledakan meriam karbit ini saling bersahutan antar kampung yang terpisah oleh Sungai Kapuas. Lebih dari 500 meriam berpartisipasi dan diikuti oleh puluhan kampung disepanjang Kapuas.
Menengok beberapa saat ke belakang, saat itu saya sempat penasaran untuk melihat bagaimana geliat tepian sungai Kapuas sebelum festival meriam karbit. Saya membuat rencana untuk melihat proses pembuatan meriam raksasa sepanjang 7 meteran dan sebesar sepelukan orang dewasa. Mengajak seorang teman, Qumay namanya. Kami berdua menuju Gg Kuantan di Jalan Imam Bonjol tepat disebelah PDAM Kota Pontianak. Gang ini langsung menembus ke bibir sungai Kapuas. Saat menyusuri gang ini, saya masih bisa menikmati anak sungai Kapuas yang masih ada selebar 10 meteran. Terlihat anak-anak masih mandi dan bermain di anak sungai ini.
Begitu selesai memarkir kendaraan, saya langsung disambut dengan jembatan dari semen yang dicat warna warni dengan berbagai macam rupa. Warna cerah sengaja digunakan untuk memanjakan mata. Saya seperti anak kecil yang baru menemukan tempat bermain yang lucu dan unik. Di pintu masuk ada dua jembatan yang mengarah kekiri dan kekanan. Keduanya sama-sama unik, namum kampung warna warni ini berada di sebelah kiri. Plang nama bertuliskan Kampung Wisata Kuantan Tepian Kapuas “Enjoy Your Food and Drink”. Sayapun Penasaran!
Kampung Warna Warni Tepian Kapuas
Ini hal yang baru dan menarik untuk di eksplorasi. Saya baru tahu keberadaan kampung ini, saya pun menyapa seorang bapak yang sedang duduk didepan warungnya. “Sudah berapa lama tempat ini ada pak?”. Pak Abun yang sudah mendiami tempat ini lebih dari 40 tahun mengatakan “Baru jak nak, baru dua minggu lah jadi ni”. Artinya baru pertengahan bulan Mei. Pak Abun juga melanjutkan ceritanya, “Ini dikerjekan anak mahasiswa dengan banyak komunitas, dibantu same bank. Bu Lurah pon ade ngajak orang kampong untuk bantu-bantu”.
Kampung warna warni ini ternyata inisiasi mahasiswa yang sedang melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dibantu beberapa komunitas cinta lingkungan dan didukung program sosial sebuah bank serta dibantu pelaksanaannya oleh Pemerintah Pontianak melalui kelurahan Benua Melayu Laut. Sayapun menyusuri jalanan setapak sepanjang kurang lebih 100 meter. Jalan kecil selebar 2 meter ini dilukis dengan berbagai macam model, ada yang digambar ikan. Kotak-kotak berwarna-warni, kuntum bunga, gambar abstrak sampai permainan engklek. Jalanan ini jadi penuh warna dan menyenangkan mata.
Jalan semen setapak ini dihias dengan elok menggunakan tiang yang dipasangi lampu bermacam warna dengan tungkup yang didesain seperti lampion bermacam rupa. Deretan lampu seri berbagai ukuran juga dipasang sepanjang jalan. Pasti menyala cantik jika malam hari. Dalam benak saya berjanji untuk mencoba menikmati tempat ini di malam hari. Selain itu, beberapa rumah dipinggiran kapuas ini juga sengaja diberi cat warna warni yang mencolok dan menggugah mata. Warna yang diberikan didominasi warna cerah seperti merah, kuning, oranye, ungu hingga kuning terang. Sungguh tempat ini benar-benar selfieable dan wefieable sekali!.
Sembari melangkah, mata saya awas melihat kekiri dan kekanan. Fokus saya mengintip ke sela-sela gang sempit, siapa tahu ada sesuatu yang unik untuk difoto. Ternyata benar, beberapa tembok rumah dan pagar semen yang dilukis mural dengan gambar-gambar bertema cinta lingkungan. Tidak lupa beberapa pesan untuk menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah juga ditulis dibeberapa titik. Siapapun pasti tergoda untuk menggunakan mural ini sebagai latar belakang foto. Terlihat beberapa wanita juga asik berfoto dengan berbagai gaya dan sudut.
“Sudah berapa kali datang kesini?”, tanya saya kepada wanita yang berfoto di mural tadi. “Baru pertama kali bang, suke kamek liat warna-warni ginik ni”, ujar wanita yang bernama Dyah ini. Dia pun akan melanjutkan bersantai di cafe yang berada di lokasi ini. Sayapun berpamitan dan melihat sudut lain yang tak kalah menarik.
Sembari berjalan, sepasang kekasih sedang sibuk difoto seorang fotografer di dalam sebuah taman disamping gang sempit. Pojokan yang agak besar ini ternyata disulap menjadi sebuah taman gantung dengan menggunakan botol plastik yang diberi warna-warni dan digantung di palang-palang kayu yang juga di cat warna-warni. Beberapa jenis kaktus, tanaman sukulen, puring, bayam hias hingga beberapa bunga berkuntum kecil digantung didalam beragam botol berwarna mencolok.
Saya juga sempat berpapasan dengan seorang anak yang bermain diatas permainan engklek yang dilukis diatas jalan semen ini. Saya menyapa anak ini yang tersenyum malu-malu. “Boleh ikot maen ndak?”. Anak ini tersenyum dan sayapun mencoba melompat dan sembari pikiran saya melayang saat saya masih seumurannya.
Geliat Masyarakat Sadar Wisata
Selama menikmati sore disini banyak sekali interaksi dan aktivitas yang saya temukan. Walaupun Pontianak ibukota provinsi Kalimantan Barat, aktifitas ditepi sungai juga masih banyak dilakukan di pinggir sungai. Mulai dari aktifitas mandi dan mencuci hingga memancing. Banyak juga saya temukan ibu-ibu yang bergerombol sembari berbincang hangat didepan rumah
Sore ini juga saya mendapati beberapa anak-anak yang dengan bahagianya bermain ditepi sungai. Mereka melompat dengan riang gembira dari beberapa galangan. Sambil tertawa mereka jungkir balik dengan ceria. Tak ada rasa sedih, hanya bahagia yang terdengar dari suara mereka. Betapa bahagianya melihat pemandangan yang jarang saya temui sekarang. Anak-anak bermain diluar rumah jauh dari serangan teknologi.
Beberapa rumah di Kampung wisata ini memiliki galangan, salah satu yang cukup ramai ada di paling pojok kampung wisata ini. Saya melihat ada rumah produksi layang-layang. Santo sang pembuat layang-layang sempat saya tanyai “Berape harga layang-layang siap maen ni bang?”, dengan ramah sembari tersenyum “10 ribu jak bang, kalau belom ditambah tali dengan cat 8ribu jak”. Disana juga terlihat beberapa orang sibuk menggulung benang sementara digalangan depan rumah terdapat seorang pria yang bertugas memainkan layang-layang untuk mencoba apakah sudah layak terbang dan dijual.
Maksud hati ingin beristirahat sejenak di cafe yang ada digalangan lain namun ternyata saya kurang beruntung. Sore ini ternyata banyak yang mampir ke kampung wisata ini, tidak ada satupun bangku yang tersisa. Saya mencoba untuk ke pojok lain di kampung wisata ini. Mata saya menemukan galangan lain yang menarik. Beberapa orang pria sedang sibuk menyusun papan di atas tiang galangan, ternyata mereka sedang mempersiapkan meriam karbit. Inilah yang saya cari awalnya.
Saya menyapa salah satu pria yang sedang sibuk dengan kayu gelondongan. Saya bertanya dari jarak yang agak jauh “Bang. Ini buat ape ni bang?”. “Ini maok buat meriam karbet, udah maok jadi ni, tinggal diikat lalu direndam. Buat nantik malam takbiran”. Dari 10 menit perbincangan ini, saya mengetahui cara pembuatan meriam karbit dan diakhir perbincangan, tahulah saya pria ini bernama Amat.
Dari cerita tadi dan apa yang saya lihat digalangan ini, kayu gelondongan yang sudah dibelah menjadi dua bagian dan sudah dipahat dibagian tengahnya seperti saluran parit berbentu setengan lingkaran. Terlihat juga beberapa tali rotan seukuran kelingking yang nanti digunakan untuk mengikat kedua bagian yang dibelah tadi. Setelah itu akan dibuat lubang untuk hulu ledak. Supaya semakin kuat dan menutupi rongga kayu maka meriam ini akan direndam alam lumpur Sungai Kapuas selama 2-3 minggu. Setelah itu barulah meriam karbit ini siap ditembakkan. Sungguh proses yang cukup panjang.
Menikmati Sore di Cafe Pinggir Sungai
Sore mulai beranjak akan malam, sayapun melepas lelah sejenak di sebuah cafe di ujung berbeda. Tempat ini belum terlalu ramai. Sepertinya cafe ini menjadi altenatif bagi yang tidak mendapat tempat di kampung wisata. Sudah ada puluhan anak muda yang bersantai disini, mungkin ingin melihat matahari terbenam.
Cafe “Pinggir Sungai” ini cukup menarik, dengan papan dan kayu yang disusun artistik sedemikian rupa membuatnya elok untuk dijadikan spot berfoto. Papan tulis hitam bertuliskan kapur dengan bahasa melayu Pontianak menghias dibeberapa sudut. Kalimatnyapun dibuat unik dan menggelitik “Mane can tak singgah sinek, Tak kawanlah kite” yang artinya “Kamu tidak seru dan bukan teman saya kalau tidak mampir kemari”. Masih banyak lagi yang lain.
Lampu terang warna warni disekeliling tempat yang langsung bersentuhan dengan laut ini juga dihiasi dengan dedaunan plastik. Meja kursi tersusun dipinggir dan menempel dengan dinding yang terbuka dan langsung menghadap ke sungai. Kita bisa melihat kapal yang berlalu lalang dan berbagai macam aktifitas sungai lainnya. Termasuk keadaan kampung seberang. Jika bersantai disini malam hari pasti kerlip lampu akan terlihat bagus sekali.
Dinding cafe ini juga tidak mau kalah dengan hiasan tembok 3 Dimensi dengan bermacam macam model, sayang sekali tidak ada titik pengambilan gambar yang jelas sehingga objek foto dapat terlihat menyatu dengan lukisan 3 Dimensinya. Jika menilik makanan dan minuman yang disajikan sangat sederhana. Minuman berbagai warna dengan berbagai lapisan serta makanan ringan menjadi andalan tempat ini.
Saya sempat beberapa melirik matahari yang hampir jatuh, namun sayang ternyata posisi tempat ini tidak pas untuk menikmati sunset karena matahari tersembunti dibalik atap-atap rumah penduduk. Semakin sore tempat ini semakin ramai. Seperti matahari yang mulai beranjak meninggalkan langit Pontianak, sayapun beranjak dari tempat ini.
Destinasi Baru yang Apik
Kampung wisata Kuantan ini layak menjadi destinasi baru tepian Kapuas. Wisatawan yang bertandang ke Pontianak wajib menikmati warna warni cerah dan keramahan masyarakat yang siap menjawab semua pertanyaan. Walaupun belum sepenuhnya selesai dikerjakan, saya bisa merasakan kebahagiaan di 100 meter langkah saya. Dari banyaknya yang datang, menunjukkan bahwa masyarakat kita butuh tempat untuk mendapatkan kesenangan yang bertemakan alam lengkap dengan interaksi sosialnya tanpa melepaskan kreatifitas.
Tugas masyarakat, wisatawan dan pemerintah untuk menjaga keberlangsungan lokasi kampung wisata ini dengan menyediakan sarana yang nyaman seperti fasilitas parkir kendaraan, toilet umum dan tempat sampah.
Geliat wisata berbasis pemberdayaan masyarakat patut didukung. Bangga sekali dapat menikmati wisata penuh warna dikampung sendiri. Berharap kedepannya ada 1 kilometer lagi pinggiran sungai kapuas yang disulap menjadi kampung wisata. Sekalian cuci mata, sekalian berolahraga. Ayo main ke kampung warna warni di tepian Kapuas.
By Eko Dony Prayudi
www.tukangjalanjajan.com