A Love Story in the Stars

339
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Sebuah Kisah Cinta Purbakala Tentang Cinta

Hari Valentine adalah salah satu momen yang cukup besar dirayakan di seluruh dunia. Selama ini, yang aku tahu adalah Hari Valentine berasal dari Barat. Namun, ternyata,
ada legenda yang berasal dari China tentang hari Valentine! Sebagai seorang Chindo (Chinese-Indonesian), akhir-akhir ini aku mulai lebih tertarik terhadap budaya dan adat leluhur. Ini yang aku temukan tentang asal-usul Valentine’s Day di China!

Beberapa waktu lalu, aku menemukan legenda tentang Hari Cinta yang berasal dari China. Cerita ini telah ada sejak Dinasti Han (206BC – 220AD). Pada saat itu, rakyat China menyembah bintang-bintang, dan dua bintang yang disembah adalah Altair dan Vega. Kedua bintang ini biasanya terletak di ujung berlawanan di Galaksi Bima Sakti, dan akibatnya sebuah legenda ditenun tentang kedua bintang ini.

Awalnya Mirip Jaka Tarub…
Dahulu kala, ada seorang penggembala sapi yang dijuluk Niulang (“gembala sapi”
dalam Bahasa Mandarin). Niulang kemudian dipercayai menjelma menjadi bintang Altair. Sebelum menjadi bintang, dia hidup di bumi sama seperti manusia lainnya. Suatu hari, Niulang menemukan seekor sapi yang sakit-sakitan. Lelaki yang miskin yang baik hati ini mengasihani sang sapi dan memutuskan untuk merawatnya.

Tanpa ia sadari, sang sapi adalah seorang dewa ternak yang melanggar sebuah peraturan khayangan dan akibatnya dihukum menjadi seekor sapi di Bumi. Lama-kelamaan, sang sapi pun sembuh dan menjadi teman baiknya Niulang.

Suatu hari, sang sapi bicara pada Niulang dan memberitahu bahwa besok sore, tujuh bidadari dari khayangan akan turun dan mandi di danau dekat rumahnya. Menurut si sapi, kalau Niulang berhasil mengambil mantel salah satu bidadari, ada kemungkinan bidadari itu akan jatuh cinta padanya.

Niulang ragu. Apakah benar kata-kata sapi tua ini? Kedengarannya konyol. Tapi, apa salahnya mencoba menuruti saran sapi yang bisa berbicara ini? Keesokan harinya, Niulang pergi ke danau yang dimaksud. Ketika sudah mendekati, dia tiba-tiba mendengar tawaan dan suara-suara wanita dan suara ceburan di air. Dia terkejut.

Niulang malu dan nggak berani untuk menatap gadis-gadis yang sedang mandi.
Tapi, dia melihat tumpukan baju di atas batu dekat tepi danau. Gaun-gaun yang dilipat
rapi beraneka warna, jauh lebih cerah daripada baju-baju yang Niulang pernah lihat di hidupnya. Mereka terbuat dari sutra yang terlihat sangat lembut dan ringan, dan ketika terkena cahaya matahari, gaun tersebut mengkilap seperti pantulan cahaya di air yang jernih. Setiap gaunnya memiliki pola sulaman yang berbeda, tetapi Niulang tidak bisa mengaguminya.

Dengan hati deg-degan, dia menunggu di belakang pepohonan. Ketika mendengar suara-suara gadis menjauhinya, Niulang cepat-cepat menarik mantel terdekat dari batu besar dan bersembunyi kembali. Beberapa jam kemudian, para bidadari sudah menghabiskan waktu yang diberikan pada mereka untuk main-main di bumi. Mereka satu per satu memakai gaun dan mantel mereka. Kecuali si bungsu.

Si bungsu mencari gaunnya di mana-mana, tetapi tidak bisa menemukannya. Tanpa mantel, seorang bidadari tidak bisa terbang balik ke khayangan. Akhirnya, karena tidak punya pilihan lain, si bungsu melepaskan kakak-kakaknya untuk kembali ke khayangan terlebih dulu. Walaupun merasa sedikit ketakutan, di dalam hatinya, dia juga merasa senang. Akhirnya ada petualangan yang menarik, nggak kayak kehidupannya di khayangan yang sangat membosankan.

Setelah bidadari yang lain pergi, Niulang merasa sangat bersalah, dan akhirnya keluar
dari belakang pepohonan untuk meminta maaf kepada sang bidadari yang tertinggal.
Dia mengembalikan mantelnya kepada bidadari cantik yang berdiri kaget di hadapannya. Namun, alih-alih memakai mantelnya dan terbang balik ke surga, si bungsu mulai bicara dengan Niulang. Dari percakapan itu, mereka pun jatuh cinta.

Menjemput Sang Putri
Sang bidadari bernama Zhinü, yang bermakna si penenun. Zhinü tentunya adalah seorang peri tenunan. Zhinü dan Niulang menikah. Niulang kerja menaman padi dan menggembala sapi, dan Zhinü menenun di rumah dan menjual tenunannya. Mereka sangat bahagia, dan tak lama kemudian, mereka pun punya dua anak – satu lelaki dan satu perempuan.

Niulang dan Zhinü tinggal bersama keluarga mereka selama 3 tahun. Namun, di khayangan, hanya 3 hari berlalu, dan akhirnya ibu Zhinü, yaitu Ratu Dewi, mengetahui bahwa putrinya tidak pulang dan telah menikah dengan seorang manusia. Ratu Dewi marah besar dan menyuruh tentara khayangan untuk turun ke Bumi dan membawa Zhinü pulang.

Hari itu, Niulang sedang bekerja di lahan ketika sebuah awan gelap yang besar mendatangi rumahnya. Dia langsung lari pulang, tetapi sudah terlambat, Zhinü sudah hilang. Niulang dan kedua anaknya menangis karena kehilangan Zhinü. Si sapi menghampiri Niulang sekali lagi. “Aku sudah tua,” kata sapi. “Sebentar lagi aku akan meninggal. Ketika aku meninggal, ambilah kulitku dan buatkan sebuah jubah darinya, agar kamu bisa terbang ke surga untuk menyusul istrimu.”

Setelah mengatakan itu, sang sapi pun meninggal, dan Niulang dengan berat hati mengambil kulitnya dan terbang ke angkasa bersama kedua anaknya. Ketika dia mendekati khayangan, Ratu Dewi melihatnya dan tidak ingin dia bersatu kembali dengan putrinya. Ratu Dewi langsung mengambil salah satu tusuk rambutnya dan melemparnya di antara Niulang dan Zhinü, membuat suatu sungai putih (yang menjadi Galaksi Bima Sakti) untuk memisahkan kedua kekasih.

Jembatan dari Murai
Niulang dan Zhinü patah hati. Mereka tidak lagi mengetahui hal yang bisa dilakukan untuk kembali bersama. Namun, dari jauh, dewa burung murai mendengar tangisan mereka.
Dia terharu akan cinta antara Niulang dan Zhinü dan memutuskan untuk mengirim semua burung murai untuk membuat sebuah jembatan antara Niulang dan Zhinü. Niulang dan Zhinü kembali bersama-sama dengan kedua anaknya. Ratu Dewi pun terharu, dan mengizinkan mereka untuk bertemu setahun sekali.

Reuni Niulang dan Zhinü dikatakan terjadi pada hari ketujuh di bulan ketujuh di kalendar Lunar. Itulah sebabnya hari Valentine di China dirayakan pada hari ke-7 di bulan ke-7.
Saat itu, menurut tradisi, para gadis menyulam di bawah bulan purnama dan berdoa kepada Zhinü untuk memberkati mereka dengan keterampilan dan suami yang menyayangi mereka. Saat ini, tradisi tersebut sudah sangat jarang dilakukan. Namun, legenda tentang cinta yang begitu kuat antara Niulang dan Zhinü terus diceritakan dari generasi ke generasi.

Wah, dramatis banget, ya, kisah cinta mereka. Walaupun Hari Valentine di kalendar Lunar berbeda dengan Hari Valentine Barat yang kita rayakan bulan ini, semoga teman-teman juga dapat menikmati kisah cinta ini! Happy Valentine’s Day! [IM]

Previous articleYuk, Olahraga Bareng!
Next articleSingle vs In-Relationship: My Personal Experience