Pejamkan mata kalian dan bayangkan berada di sebuah rumah di antah berantah yang hanya bisa di akses melalui udara karena dikelilingi oleh hutan lebat dan sungai yang dipenuhi buaya. Panas, dingin, dan digigit nyamuk ganas tanpa bisa mengontak keluarga maupun teman kalian. Sudah? Bagaimana rasanya jika kalian diasingkan di sana selama satu tahun penuh?
Spanning A Revolution
Tempat itu benar-benar nyata dan 1.308 pemimpin nasional negara Indonesia mengalami pengasingan ke sana. Boven Digoel atau disebut juga Digoel Atas menjadi salah satu lokasi pengasingan terburuk di masa Pemerintahan Hindia Belanda. Terletak di Merauke, ujung timur Indonesia, Boven Digoel disiapkan dengan tergesa-gesa untuk menghukum para tawanan pemberontakan November 1926.
Beberapa tokoh nasional yang pernah diasingkan ke sana termasuk Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir! Salah satu catatan sejarah mengenai Boven Digoel ini ditemukan dari karya tulis Molly Bondan, istri dari Mohammad Bondan, salah satu pemimpin yang diasingkan ke sana. Berjudul “Spanning a Revolution”, buku tersebut mengisahkan perlakuan pemerintah kolonial Belanda yang sering mengadu domba para tawanan politik kamp Digoel sehingga terjadi perpecahan antara pemimpin-pemimpin nasional kita.
Selain itu, ada juga Thomas Nayoan yang terkenal karena berhasil melarikan diri lewat sungai menggunakan perahu, tetapi malah nyasar ke Australia! Sayangnya perjuangannya sia-sia, karena saat itu Australia memiliki perjanjian ekstradisi dengan Belanda sehingga mereka menyerahkan Nayoan kembali ke kamp Digoel.
Tetapi ternyata hubungan para tawanan dengan negeri kanguru tidak berakhir di kisah Nayoan saja karena di tahun 1943, Belanda terpaksa membubarkan para tahanan. Di masa pendudukan Jepang di Indonesia, Belanda berusaha menarik orang-orang Indonesia dari Boven Digoel untuk berpihak kepada mereka. Maka, Belanda membawa para tahanan ke Australia untuk membantu Belanda di sana.
Insiden Black Armada
Rencana itu menjadi pedang bermata dua karena para pimpinan-pimpinan Indonesia ini justru mendapat kesempatan untuk membentuk koneksi dengan orang-orang Australia dan buruh-buruh kapal di sana yang akirnya berujung pada kejadian Black Armada.
Mereka beradvokasi untuk kemerdekaan Indonesia di tanah Australia dan memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok yang beragam. Begitu kabar tentang deklarasi kemerdekaan Indonesia mencapai Australia, para “alumni” Boven Digoel ini langsung membuat “Indonesia Independence Committees” di Melbourne, Sydney dan Brisbane. Kisah ini masih berlanjut.
Komite pendukung kemerdekaan Indonesia yang kemudian disebut Australia Indonesia Association (AIA) ini menjadi tempat bertemu Molly dengan Mohammad Bondan yang kisahnya sempat kita bahas tadi. Di pertemuan pertama mereka pada tanggal 3 Juli 1945, Professor Elkin dari University of Sydney terpilih menjadi ketuanya dan sekretaris nya adalah Molly Warner. Molly dan Mohammad kembali ke Indonesia setelah menikah dan kemudian terlibat dengan pengaturan Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Menarik sekali bukan melihat betapa suatu kejadian bisa berhubungan dengan kejadian lainnya, membentuk rangkaian revolusi yang mengubah nasib negara Indonesia? [IM]