Tutup matamu dan bayangkan letusan warna-warni keluar dari hatimu, mengulur seperti pita-pita pesta yang menyentuh setiap ujung badanmu. Setiap ledakan warna yang baru membawa dengannya keriangan yang membuatmu lupa waktu, lupa tanggung jawab, lupa segala hal yang membebanimu. Setiap letusan warna mengingatkan kembali kegembiraan dari menjadi seorang anak kecil lagi.
Sebagai anak kecil, dunia yang meluap dengan warna-warni ini adalah segalanya untukku. Aku bermain tanpa khawatir apa pun. Aku mengelilingi diriku dengan barang-barang yang mencerminkan dunia warna-warni yang ada di dalamku. Sekarang, sebagai orang dewasa aku terus berusaha mencari barang-barang yang warna-warni, tetapi kali ini, untuk mengembalikan warna-warna yang telah pudar di dalamku.
Kapan dia tidur, si ‘gunung berapi’ yang tadinya senang sekali menyemburkan warna untukku? Bagaimana dia pelan-pelan terbengkalai tanpa aku sadari? Sejak kapan barang-barang di sekitarku tidak mencerminkan apa yang ada di dalamku?
Tambah aku memikirkannya, tambah hatiku berdebar cepat, dan kakiku ingin berlari secepat debaran di dalamku. Tetapi akuterikat di tempat. Segala hal yang menyentuhku, walaupun sangat lembut, langsung membuatku menggigil. Jangan sentuhku.
Ketika aku menginjak SMP/SMA, pelan-pelan tren minimalis yang sekarang telah meresap dalam berbagai aspek dunia kita mengatakan padaku bahwa aku harus meninggalkan hal-hal yang terlihat lucu atau imut bersama masa kecilku. Agar terlihat sebagai seorang dewasa yang profesional, aku tidak boleh memiliki atau memperlihatkan barang-barang yang bisa terlihat kekanak-kanakan. Agar menjadi seorang dewasa yang matang, aku harus tahu bagaimana menguasai perasaan-perasaan yang tidak enak, harus memiliki kemampuan untuk menghentikan perasaan-perasaan itu secepat mereka timbul.
“Ini yang terbaik untukmu,” mereka berkata. “Ini yang semua orang lakukan ketika mereka menjadi dewasa. Inilah versi dewasa kamu.” Orang-orang bilang bahwa gunung berapi warna-warni akan pelan-pelan hilang ketika kita menjadi dewasa, tetapi gunung berapi di dalamku merasa kebingungan; dia tidak hilang kok, dia tetap ada di dalamku, dan tetap bertumbuh bersamaku. Dia tidak mengerti mengapa sekarang aku tidak memerhatikannya, mengapa aku bertingkah seperti dia tidak ada.
Situasi ini tidak aman, pikiranku berbisik lembut. Saking halus suara pikirannya, kadang aku pun tidak dapat mendengarnya. Hanya merasakan sentuhannya yang membuatku menggigil ketakutan.
Letusan-letusan yang penuh dengan kuning, biru, hijau, ungu tambah lama tambah besar. Aku tertarik terhadap barang-barang yang berjanji untuk menenangkannya — buku-buku baru dengan cerita yang menarik dan dengan sampul buku yang cantik, pernak-pernik yang meyakinkan aku bahwa mereka akan berkilau dan membuat gunung berapi di dalamku senang lagi, lagu-lagu yang membuatku berpikir bahwa aku sedang merasakan segala hal yang letusan-letusan itu ingin katakan kepadaku.
Aku melakukan semua hal itu dan dia tetap tidak puas. Dia tetap mengeluh, tetap memberikan letusan-letusan yang tambah lama tambah agresif, tidak seperti masa kecilku dimana letusan-letusannya seperti kembang api yang indah dan megah.
Daripada pita-pita warni-warni yang mendekorasi dunia internal aku, adanya hujanan api yang membakarku dari dalam. Candaan teman-temanku yang bermaksud baik untuk cheer me up tiba-tiba memicu ketegangan. Momen-momen yang seru dan menyenangkan tiba-tiba memicu kewaspadaan bahwa ini akan berakhir, dan aku akan ditinggal sendiri lagi, seperti gunung berapi di dalamku yang terbengkalai.
Reaksiku meledak. Dan, pada akhirnya, aku ditinggal dengan abu-abu yang tadinya sebuah kota kesenangan dan keakraban berdiri… dan gunung berapi yang terus menangis di dalamku.
“Aku tidak mau barang-barang yang kamu bisa beli untukku. Aku tidak mau warna macam-macam yang kamu bisa temukan di sekitarmu. Aku tidak mau buku-buku atau lagu-lagu ataupun boneka dan mainan yang imut-imut yang dulunya membuatku sangat senang,” dia berkata kepadaku.
“Jadi kamu maunya apa?” Aku bertanya balik, frustrasi dan kebingungan. Aku merasa seperti menjalani dua kehidupan, satu yang berusaha membuatnya senang, dan satu lagi yang berusaha membuat dunia senang. Dan akhirnya, aku telah membuat keduanya tidak senang sama sekali.
“Aku mau perhatian kamu…” dia berkata halus. “Aku mau kamu melihat semua warna yang aku bisa create sekarang untukmu. Aku mau kamu merasa bahagia bersamaku, menari bersamaku lagi di bawah hujanan warna-warni yang keluar dari mulutku. Aku ingin menjadi sahabatmu lagi.”
Aku diam sejenak. Lalu, aku mengatakan sesuatu yang selama ini aku takut untuk mengakui, “Aku lupa bagaimana menjadi sahabatmu…”
Hatiku memelan. Yang tadinya merasa gelisah ketika duduk diam, yang tadinya sangat tegang ketika disentuh, sekarang tiba-tiba merasa nyaman berdiam dengan sentuhan selimut yang menutupiku seperti rangkulan yang aku kangen.
Aku kangen dengan kehidupan masa kecilku, bukan hanya karena tidak memiliki tanggung jawab atau tekanan kehidupan macam-macam, melainkan karena aku kangen dengan keberadaan gunung berapi warna-warni yang aktif di dalamku.
“Aku tidak pernah meninggalkanmu,” dia tiba-tiba berkata kepadaku. Aku melihatnya baik-baik.
Betul seperti katanya, ada warna-warna baru yang aku tidak mengenalnya, yang aku tidak tahu apakah akan memberikan perasaan yang baik atau buruk. Di sebelahnya, aku melihat warna-warna dan pertunjukkan kembang api yang aku kenal dari masa kecilku, yang tidak pernah gagal untuk membuatku merasa senang, merasa aman.
Ketika digabungkan, mereka memperlihatkan diriku yang telah menjalani berbagai badai kehidupan dan tetap memiliki kegigihan dan keriangan yang tidak dapat dirampok oleh perkataan dunia.
Mereka dapat membuatku mengabaikannya, tetapi mereka tidak dapat mengambilnya dariku.
Ledakan-ledakan besar yang akhir-akhir ini menerpa dunia dalamku tidak berbahaya… mereka hanya sedang mengingatkanku bahwa ada gunung berapi warna-warni di dalamku yang sedang menantikan keberadaanku. Aku mengambil nafas dalam… dan melihatnya… bukan untuk menenangkannya, melainkan untuk menari bersamanya.
Aku melihatnya untuk bermain sekali lagi dengan pita-pita warna-warni yang dia berikan bagiku.
Aku merangkulnya sembari dia memberikan letusan-letusan warna-warni yang jauh lebih elaborat daripada ketika kami masih kecil, jauh lebih keren dan megah dan meriah.
Setiap hari, tidak gampang untuk mengabaikan kata-kata dunia bahwa untuk menjadi seorang dewasa, aku tidak boleh bermain, tidak boleh terlihat “kekanak-kanakan”. Tidak gampang untuk menjalani kehidupan yang warna-warni, berbeda dengan dunia hitam-putih yang telah didalami begitu banyak orang dewasa. Tidak gampang mengakui bahwa untuk menjadi seorang dewasa yang utuh dan thriving, kita perlu menjaga persahabatan dengan gunung berapi warna-warni yang seringkali dicap sebagai pengaruh yang buruk bagi kita.
Tetapi aku sedang belajar bahwa ketika aku memilih untuk mengabaikan ekspektasi dunia daripada mengabaikan gunung berapi itu di dalamku, duniaku menjadi penuh dengan warna dan kegembiraan sekali lagi. Suatu kegembiraan yang tidak dapat dibeli oleh pernak-pernik dan aktivitas macam-macam, suatu kehangatan yang selalu menyentuh dan menerangi setiap ujung badanku, suatu keriangan yang membuatku mampu untuk bermain bebas lagi. [IM]