Labirin Pikiranku

68
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Bicara tentang kesehatan mental ternyata tak hanya rumit dan pelik, tapi juga seperti
muter-muter di tempat yang nggak jauh… 

Adakah Jalan Keluarnya?
Seringkali, topik kesehatan mental digambarkan seperti seekor burung yang terperangkap dalam sebuah sangkar. Sekali menemukan kuncinya, tinggal membuka pintu sangkarnya dan semua burung di dalam bisa terbang bebas. Sejujurnya, bagiku kesehatan mental lebih sering terasa seperti banyak burung yang terjebak dalam sebuah labirin. Setiap dari mereka menabrak dinding yang berbeda, setiap dari mereka memiliki rute sendiri. Dan, setiap mereka ingin membebaskan diri dari labirin ini secepat mungkin. 

Namun, dengan segitu banyak burung yang terbang bersamaan di dalam jaringan jalanan yang
tidak karuan, upaya aku untuk mengarahkan mereka lebih sering berakhir dengan jalan buntu.
Maju, mundur, mundur – tabrak burung lain, maju lagi, tabrakan lagi, mundur lagi. Mau maju lagi tetapi… Apakah benar kali ini? Apakah aku akan menemukan pintu keluar… atau terhantam dengan jalan buntu lagi…? 

Terkadang, aku berpikir sudut ini tidak terlalu buruk… Tentunya lebih baik daripada yang sebelum-sebelumnya. Apakah aku sungguh-sungguh perlu mencari sudut yang baru? Apakah benar-benar
ada harapan bahwa ada tempat yang lebih baik dari ini, yang membuatku bersedia untuk sekali lagi mengambil risiko membentur kepalaku dan sayapku di sebuah dinding buntu lagi? 

Atau mungkin, ini waktunya untuk membuat sebuah rumah untuk burung-burung kecilku yang masih belum puas, dan menerima kenyataan bahwa aku tidak dapat menemukan jalan keluar untuk mereka? 

Kehidupan = Labirin
Seringkali aku sudah lupa rasanya bisa terbang bebas, terbang lurus, tanpa halangan dinding-dinding labirin ini. Aku lupa rasanya ketika badanku mengetahui jalan yang benar, rasa puas ketika menemukan lowongan di antara pagar pohon dan berhasil tembus ke pepohonan yang sedang berkembang warna-warni, yang penuh dengan udara segar.

Saking menikmatinya, aku lupa bagaimana cara merasa arus udara di bawah sayapku, yang terus mendesakku terhadap mulut pintu yang suatu hari akan membebaskan aku dari labirin ini. 

Aku pun lupa bahwa rintik hujan yang menyegari kepalaku tidak perlu ditakuti. Aku lupa kenikmatan yaitu berbaring di rumput yang empuk, keyakinan dan kepuasan ketika tiba waktunya untuk berlari dan melepas landas. 

Terjatuh sekali lagi dalam jebakan pikiran bahwa hidupku tidak pernah beda dari ini, dinding pohon
di sekitarku, membatasiku. Terlalu gampang percaya bahwa kehidupan adalah labirin yang tak ada ujungnya, penuh dengan jalan buntu yang tersembunyi, daripada kemungkinan pintu terbuka. 

Tidur
Bagiku, tidur seperti makanan burung bagi mereka yang tinggal di benakku. Ketika mereka lapar, mereka sangat hangry. Mereka mematuk otakku, sharp and persistent and distracting. Mereka berkuak-kuak tanpa henti dengan jeritan yang jauh lebih lantang dari pikiranku sendiri. Mereka memenuhi kepalaku dengan keluhan tentang hal-hal yang imajiner.

Tetapi ketika mereka kenyang, menavigasi labirin ini terasa sedikit lebih mudah. Setidaknya, mereka lebih bisa mengendalikan penerbangan mereka agar lebih jarang menabrak dinding dan burung-burung lain. 

Namun, tidur bagaikan menangkap cacing untuk burung-burung yang memerlukan tenaga untuk mencari jalan keluar dari labirin mentalku. Seberapa pun aku berusaha, mencari tidur memakan waktu sebanyak mencari cacing-cacing hidup, seperti menggali berkali-kali untuk menemukan satu pun, sampai muak.

Menangkap tidur untuk mereka seperti bergelut dengan cacing yang berlendir dan licin, yang selalu lolos di antara jemariku lebih cepat dari air yang tidak dapat kupegang. Tidak ada makanan untuk mereka, hanya ada jejak lendir yang tidak ingin melepaskanku. Aku menundanya, aku menghindarinya… dan mendapat hangry birds. 

Aku iri terhadap orang-orang yang bisa menemukan tidur semudah mendapat gummy worms dari toko permen. Mereka bersemangat mencari rasa permen yang diinginkan, mengeluarkan kartu kredit, dan seperti itu saja, permen cacing yang enak milik mereka, siap untuk disuapkan kepada burung-burung yang berkicauan senang di benak mereka. Enak ya bisa memuaskan burung-burung semudah itu, tanpa pergulatan, tanpa berburu, tanpa merasakan pada akhinya seperti aku yang sedang diburu. 

Birdbath
Mengapa hal-hal yang sebenarnya sangat menyegarkan bagi burung-burung kecil yang tinggal di dalam kepalaku seringkali terasa seperti guilty pleasures? Seperti melakukan hal-hal atau menyantap makanan yang dianggap tidak sehat walaupun terasa enak. Namun, banyak dari hal-hal tersebut sebenarnya tidak berbahaya asalkan dilakukan atau dikonsumsi seimbang dengan hal-hal lain.

Bahkan sampai hal-hal yang sebenarnya aku harus menetapkan di dalam hidupku membuatku merasa bersalah karena dianggap tidak ‘produktif’. Mengapa membuat burung-burung berkicauan senang tidak cukup untuk memperkenan aktivitas-aktivitas tersebut? 

Seperti memberikan tempat mandi burung, cipratan-cipratan air yang kecil tidak cukup untuk membersihkan kotoran yang melekat di bulu-bulu mereka setelah beterbangan berjam-jam. Palingan hanya memberikan sedikit kesegaran sejenak. Birdbath yang sesungguhnya memerlukan sebuah air mancur yang mengalir dan kolam kecil yang jernih, siap untuk para burung yang ingin mencelupkan kepala mereka dalam air yang menyegarkan, untuk menembus dan membersihkan kotoran yang terperangkap dalam bulu-bulu mereka sambil mereka mengiraikan sayap mereka. 

Namun, air mancur tidak dapat mengalir tanpa air dan pergerakan pompa. Untuk membuat sebuah birdbath bagi burung-burung yang merasa gelisah di dalam kepalaku, aku tidak bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan mereka secara sporadis, seperti cipratan-cipratan air, seperti gerimis yang jarang datang dan tidak bisa diantisipasikan.

Hal-hal seperti membaca buku-buku yang aku suka, memasak makanan yang aku suka (dan bukan hanya karena ‘sehat’ atau mudah), mengikuti kelas balet untuk bernari dan bertemu penari lainnya, memiliki waktu untuk diri sendiri di malam hari, memulai setiap hari dengan lagu pujian dan menggerakkan badan, dan yang paling penting… tidak merasa bersalah ketika melakukan semuanya itu. Tidak merasa bersalah ketika memprioritaskannya di dalam hidupku. Tidak merasa bersalah ketika burung-burung di dalamku berkicau senang. 

Melangit
Terjebak dalam labirin ini tidak seru sama sekali. Tetapi kalaupun ada kesempatan tipis untuk membebaskan diri, aku akan mengambilnya dan tidak akan melepaskannya. Aku capai merasa terkurung dalam dinding-dinding pohon ini yang terlalu tinggi untuk aku terbangi.

Tetapi aku telah belajar bahwa menggambarkan peta untuk burung-burung yang terkurung tidak harus selalu menjadi prioritas pertama. Malah mungkin lebih baik memberikan mereka makan dengan tidur, walaupun itu sesulit mencari cacing hidup. Mungkin lebih baik meluangkan waktu untuk membangun mereka sebuah birdbath yang mereka dapat mendatangi berulang-ulang kali, untuk istirahat dan menyegarkan diri.

Dengan itu, sayap mereka akan menguat dengan sendirinya. Tambah lama, mereka tambah bisa terbang lebih tinggi dan lebih lama. Tambah lama, mereka akan tambah mahir manuver di sekitar sudut-sudut jalan buntu, sekitar burung-burung lainnya, dan kali ini bisa berhenti sebelum menabrak pagar pohon yang berduri. Dan walaupun mereka kadang masih terbentur dedaunan, they won’t let it ruffle their feathers. 

Terkadang… terkadang… semua itu akan saling menambahkan. Dan tambah burung-burung kecilku menguatkan diri mereka sendiri, terkadang mereka menjadi cukup kuat untuk berterbang tinggi… tinggi… tambah tinggi di atas seluruh labirin… dan walaupun hanya sejenak, melangit dalam kelepasan. [IM]

Previous article5 Aplikasi Catatan Untuk Mengumpulkan Ide dan Data
Next articleGunung Api Warna-Warni