Badanku: Mesin atau Hadiah?

68
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Sebuah POV bagaimana mengatur tubuh untuk diri sendiri dan orang lain tanpa harus merasa bersalah.

Lima menit lagi, ya! Aku memberitahu diriku sendiri. Sinar HP-ku mulai mencolok mata, tetapi aku baru saja memulai sebuah percakapan yang dalam dan serius dengan salah satu temanku. Ia sedang mengalami peristiwa yang berat. Tentu saja aku nggak bisa meninggalkannya sekarang. Beberapa jam kemudian, aku akhirnya memadamkan lampu dan berusaha tidur, tapi percakapan kami tadi terus berputar di pikiranku. Apa lagi yang bisa kulakukan? Apa lagi yang dia perlukan? Sekali ide-ide itu mulai berproduksi, tak ada yang bisa menghentikannya. Aku menganalisa setiap aspek dan berusaha mencari Plan A sampai Z untuk setiap skenario. 

Ketika matahari mulai menyapa dari balik cakrawala, kelopak mataku terasa seperti dilem gajah, nggak bisa dibuka. Namun, tentu saja aku terus memaksa diriku untuk bangun dan siap bekerja. Setiap 15 menit, perhatianku ditarik paksa oleh pesan-pesan dari HP, baik itu dari chat keluarga, teman-teman, atau kantor. Aku berusaha membalas semuanya secara langsung, dan merasa bersalah ketika ada beberapa yang nggak missed out. 

Di tengah semuanya itu, aku teringat akan pekerjaan rumah yang masih belum dikerjakan. “Tertunda lagi”, tegurku pada diriku sendiri. Alasannya, sesampai di rumah, badan ini sudah terlalu capek untuk melakukannya. Ketika di luar, terlalu cemas untuk melupakannya. Bagaimana, sih? 

Untuk ratusan kalinya, aku kembali membuat sebuah rencana di dalam hati untuk melakukannya saat pulang, dengan harapan bahwa kali ini aku bisa mengerjakannya dalam sekali waktu. Aku sudah malas berpikir apa yang akan terjadi saat janji tinggal janji, dan rencana entah ke mana. Di saat itu, pekerjaan rumah sudah beranak pinak dengan dashyatnya yang jelas tak bisa lagi dilakukan dalam “one go”. Mendesak, aku harus bertekad melakukannya. 

I should have known. Pulang, mandi, dan langsung kembali ke tempat tidur, mengabaikan entah apa yang berserakan di sekitarku. Inginnya tidur, tetapi tanganku mulai membuka HP lagi, nge-chat lagi, dan percakapan yang panjang kembali dimulai lagi…

Dulu, aku senang membantu orang seperti ini. Dulu, percakapan malam-malam ini tidak memengaruhi kualitas tidurku. Tapi, sekarang, aku mulai merasa bahwa setiap hal mulai mengambil jatah waktu hal-hal lainnya. Di tempat kerja, aku nggak bisa fokus karena karena pikiran ini berada di rumah, memikirkan setumpuk tugas yang belum terpegang. Saat waktunya istirahat, aku nggak bisa bersantai lagi-lagi pikiranku ini memikirkan pekerjaan dan masalah teman-teman.

Ketika semuanya berputar-putar di tempat, aku bertekad untuk memberi waktu pada diriku sendiri! Jadi, mengapa tidak? Mengapa tidak coba menyisihkan waktu untuk diri sendiri dulu sebelum hal-hal yang lain? Aku berhenti sejenak. Aku belum pernah memikirkan itu. 

Selama ini aku melihat badanku mirip seperti sebuah mesin yang bisa diperintah, yang dipaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan. Namun, setelah mendapat “kekuatan” dari sebuah tekad, aku mulai mengingat kata-kata dari orang-orang bijak yang menasihati: manusia diciptakan untuk berfungsi dari keadaan istirahat. Kita seharusnya memulai hari dari malam dengan istirahat, lalu melakukan segala aktivitas dari keadaan yang segar, bukan dari keadaan yang lelah dan terkuras. 

Aku suka konsep itu. Sangat berbeda, dan sedikit menakutkan karena jauh sekali dengan segala hal yang kupelajari. Tetapi, aku mau mencobanya. 

Pertama, memprioritaskan waktu untuk beristirahat. Sulit! Saat pesan masuk di malam hari, bertekad untuk membalasnya keesokan hari. Aneh, sih, rasanya. Dan, sejujurnya, masih terasa sedikit bersalah juga. Tetapi aku terus mencoba. Aku juga berusaha untuk mengerjakan hobi-hobiku di malam hari, sesuatu yang sudah lama tak tersentuh. Aku sampai lupa rasanya kangen membaca, menulis, mendengarkan lagu, menonton…
Bahkan, bertemu dengan komunitas-komunitas yang memiliki minat yang mirip denganku. 

Pada saat yang bersamaan pekerjaan rumah memanggil. Aku melihatnya dan tiba-tiba tidak merasa kesal. Aku mulai melakukannya, dan sepertinya aku memiliki waktu yang cukup! Pekerjaan kantor pun terasa lebih ringan, dan walaupun aku masih cenderung berusaha memecahkan masalah teman-temanku, tiba-tiba mereka tidak memiliki kuasa yang begitu kuat atas kehidupanku. 

Tiba-tiba, rasanya bebas.
Namun, kebebasan itu tidak lama. Di minggu-minggu berikutnya, aku mulai lagi jatuh ke dalam pola-pola sebelumnya: tidur telat, bangun telat, capek berusaha memaksakan badanku untuk bisa berfungsi seperti badan superman yang sepertinya tidak pernah perlu istirahat dan sanggup menghadapi apa pun. 

Aku mulai frustrasi lagi. Sampai akhirnya aku kembali ingat rasanya bebas dari beban ini. Aku menghirup udara dalam-dalam, dan berusaha memilih untuk memprioritaskan diriku sendiri. Berusaha memprioritaskan badanku yang sangat berharga. Aku ingin memilih untuk merawat badanku sebagai hadiah yang perlu perawatan dan yang perlu didengar, bukan sebagai mesin yang harus diperintah dan dipaksa. 

Tidak gampang memilih ini setiap hari. Tidak gampang memecahkan pola-pola pikiran dan gerakan yang sudah dua puluh tahun lebih dilatih oleh badanku.
But, it’s worth it. [IM] 

Previous articleSebutir Pasir
Next articleGetting Warmer And Hotter In November