Sebuah Refleksi tentang Bekerja, Jati Diri dan Dunia khayal
Selama beberapa tahun terakhir, perasaannya hidupku di dominasi oleh kerja. Setiap hari adanya merasa mumet akibat kebanyakan pikiran, akibat terlalu terbebani oleh tekanan-tekanan yang datang dari pekerjaan.
Ketika memikirkannya, aku jadi teringat sebuah cerita yang aku pernah tulis beberapa tahun yang lalu saat bekerja di Jakarta. Saat itu masih dalam pandemi COVID-19 dan pekerjaan juga sangat sibuk dan repot. Kami semua sekantor stres.
Suatu hari, aku terinspirasi oleh sebuah kutipan dari salah satu buku favoritku: “Made up things make up the real world,” tulis Jodi Lynn Anderson dalam Thirteen Witches: The Memory Thief.
Seketika, aku merasakan harapan ketika membacanya. Kalimat ini diucapkan kepada tokoh utama di buku ketika dia sedang merasa putus asa. Tujuannya untuk membantunya melihat bahwa cerita-cerita yang dia karang memiliki sebuah kekuatan yang dia belum sadari.
Pada saat itu, aku ingin membagikan rasa harapan ini kepada teman-teman kerjaku, dan satu-satu hal yang aku bisa lakukan adalah menulis. Ketika aku membacanya ulang kali ini, ada beberapa hal yang aku ingin ubah.
Cerita berikutnya adalah versi baru dari cerita yang aku tulis untuk teman-teman kerjaku di Jakarta. Semoga bisa memberikan a breath of fresh air bagi kita semua yang sedang merasa mumet dengan pekerjaan masing-masing.
Kamboja
A dream is a made up thing. Kamu sudah bukan anak-anak. Grow up.
Suara klakson meraung, membuatku menyentak kaget. Mimpi dari tadi malam mulai mereda, tetapi aku masih bisa mengingatnya. Aku sedang berlari-lari di taman vila bersama sepupu-sepupuku. Karet rambutku mulai menyelip lepas, tetapi aku nggak peduli, aku terlalu bertekad menangkap sepupuku. Di sekitarku, pohon-pohon kamboja yang sedang berbunga menjatuhkan kembang-kembangnya ketika angin bertiup.
Nggak lama kemudian setelah selesai bermain dengan sepupu-sepupuku, aku mengelilingi taman untuk mengumpulkan bunga-bunga kamboja yang terjatuh, mencari yang belum layu, yang belum terinjak oleh kami, yang warnanya cerah dan mentereng untuk mendekorasi kamar orang tuaku. Kumenarik nafas untuk menghirup wangi kamboja dan udara segar gunung… eh, malah dapatnya bau bensin dan bau rokok.
Inilah dunia nyata.
Sesampainya di kantor, lampu-lampu terang, sinar gadget terang, tetapi suasana mendung. Semua orang terlalu sibuk, terlalu capek dengan urusan masing-masing untuk saling bertanya kabar. Lagipula, kabar kita semua sama – kecapekan. Lewati hari ini saja sudah cukup.
Aku baru saja mau mulai kerja, tiba-tiba sadar… kelupaan charger lagi! Aduh! Dalam pekerjaan tertinggal, charger juga ketinggalan, hape semakin lowbat bersamaan dengan mood aku. Nggak tahu lagi bagaimana bisa mencari motivasi untuk mengatasi pekerjaan yang semakin menumpuk. Sudah menjadi kebiasaan, ketika merasa murung aku membuka notes di hape.
Aku melihat dalam tulisanku sendiri:
Made up things make up the real world. Semua hal yang kamu lihat sekarang–gedung-gedung, pesawat, bahkan cerita-cerita yang kamu baca, semua bermula dari sebuah mimpi, sebuah mimpi yang awalnya terdengar mustahil.
Akhirnya jam istirahat tiba. Aku jalan… jalan… jalan… keluar dari ruangan kantor… keluar dari gedung… dan akhirnya berhenti. Sepertinya ada angin kencang yang baru saja lewat, karena aspal abu-abu di depanku diselimuti oleh bunga-bunga kamboja. Kuning, merah muda, oranye, putih. Warna-warna cerah yang berani bertahan menghadapi apapun – hujan, angin, awan.
Aku pungut sebuah kembang yang memiliki pusat yang berapi-api dengan kuning-jingga. Aku pungut kembang disebelahnya, merah muda manis bercorak putih dan kuning yang menyebar seperti ombak-ombak laut. Aku merasa seperti anak kecil lagi, mengikuti jejak bunga kamboja, tiap kembang yang aku pungut seperti menuntunku ke bunga berikutnya.
Tanpa kusadari, tanganku dan kantong bajuku penuh dengan bunga kamboja. Tiba-tiba, aku ingat, aku bukanlah anak kecil lagi. Ngapain mengambil bunga segini banyak? Emangnya bisa ditaruh di kamar orang tua? Sempat terpikir menyebar mereka kembali ke jalanan aspal… yang hanya akan diinjak orang.
Kuingat kembali…
Dreams are made up things… but made up things make up the real world.
Aku berjalan kembali ke kantor. Aku pasti terlihat konyol, tapi pada saat itu aku nggak peduli. Beberapa bunga jatuh dari tanganku dan beberapa orang bergiliran memungutnya untuk mengembalikannya kepadaku, tetapi aku menggeleng. Nggak apa, buat kamu saja. Ada yang bingung, nggak tahu mau mengggunakan bunga untuk apa. Tapi, ada juga yang senang, yang langsung menyelipkannya di rambut mereka, di saku mereka, yang bertanya apakah mereka boleh minta satu lagi untuk teman mereka. Tentunya boleh.
Ketika tiba kembali di kantor, kumelihat kebanyakan meja kerja sedang kosong. Ada baru saja keluar cari makan karena baru sempat istirahat, ada yang sudah terkurung dalam ruang meeting. Satu per satu, aku meletakkan kembang di setiap meja, dan membawa sisanya untuk mendekorasi mejaku sendiri.
Satu per satu, rekan-rekanku keluar dari ruang meeting. Muka mereka terlihat lebih keruh dari sebelumnya, seperti langit yang lekas membadai. Satu per satu, mereka memungut bunga kamboja yang ada di meja mereka. Satu per satu, sambil mereka menyelipnya di rambut, meletakkannya di samping laptop, mengambil secangkir air agar tetap segar, mereka menghirup wangi kamboja yang telah mekar dan menyebar di seluruh kantor. Awan-awan yang tadinya bergumul disekitar mereka satu per satu menyusut.
Sebelum aku kembali ke tugasku, aku mengambil beberapa kembang dari mejaku, memegangnya dekat muka, dan menghirup dalam-dalam. Masa kecilku bukan hanyalah sesuatu dari masa lalu, karena sampai sekarang pun masih bersamaku Dreams are made up things, but made up things make up the real world. Inilah dunia kenyataanku. Kuharap, kubisa terus mewujudkan kenyataan ini… setiap hari. [IM]