The Djamu: Keharmonisan Manusia & Alam

529
Liz McClean in the waste yard, Cirendeu, South Jakarta
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail
Dirty bottle caps sourced by waste workers for DJAMU
DJAMU bicycle baskets made from 500 bottle caps
A bag or a basket made from shredded bottle caps for DJAMU
Orange Bike Basket – Floridina


Mimpi Anak Desa
Tumbuh dikelilingi pegunungan dan hewan ternak di rural farm di New South Wales, Elizabeth McClean kecil bermimpi seperti apa kehidupan di balik gunung. “What life would be on the other side of the mountain?” pertanyaan yang selalu ia gumamkan dalam hatinya.

Dibesarkan oleh orang tua pekerja keras dan memiliki etos kerja yang baik membentuk Liz, nama panggilannya, menjadi wanita tangguh dalam setiap pekerjaan dan aktivitas. Tidak hanya itu, orang tuanya memberi contoh yang baik kepada Liz dan kakak beradik untuk mengedepankan pendidikan dan untuk berkontribusi pada komunitas di sekitar tempat mereka tinggal. Dari situlah Liz tumbuh menjadi wanita yang mencintai alam; dengan menjadi aktivis lingkungan dan bermimpi untuk menjelajahi dunia.

Cinta pada Pandangan Pertama
Pada akhir 2012, Liz dan keluarga kecilnya pindah ke Jakarta karena mengikuti sang suami yang ditugaskan selama dua tahun, kemudian diperpanjang hingga delapan tahun. Pekerjaannya sebagai guru di Kensington Sydney terpaksa ditinggalkan. Wanita berzodiak Scorpio ini telah jatuh cinta pada bumi pertiwi sejak hari pertama menginjakkan kaki di Jakarta.

Keramahan dan kehangatan orang Indonesia membuatnya betah. Ia bahkan memutuskan untuk tidak hanya bergaul dengan sesama istri para expat, tapi ingin lebih mengenal keramahan orang Indonesia dan budayanya.  “I want to learn real Indonesia, eat Indonesian food, meet Indonesian people, and learn Indonesian’s perspective.” ungkapnya dengan semangat.

Kecintaannya pada Indonesia mendorong ia untuk berbagi pengalamannya di blog www.ajourneybespoke.com, bersama dengan Joanna Stevens, teman yang ia temui di Jakarta. Liz dan Joanna menulis tentang where to buy best coffee, where to find jajanan pasar, what you can learn from Indonesian traditions, religions, dan sisi kehidupan Jakarta lainnya. Namun sayangnya blog tersebut terhenti di akhir tahun 2019 karena keluarga Joanna harus pindah tugas.

The Djamu: Bukan Sekedar Bisnis

DJAMU partners and beneficiaries Pak Sarnan and Ibu Onih
DJAMU partner Pak Iwan learning how to make yarn from plastic bottlle cap waste

Selama tinggal di Indonesia, Liz mengamati pemulung yang berkontribusi dalam masalah sampah plastik. Pemulung mengambil sampah plastik ke dalam gerobak atau keranjangnya sambil berkeliling dari rumah ke rumah. Belum lagi banyaknya sampah tutup botol yang ia temui di jalan, sungai kecil, hingga di pantai.

Ia pun melakukan research di tahun 2018-2019 dan menemukan fakta bahwa terdapat     8 miliar tutup botol yang diproduksi di Indonesia tiap tahunnya, dan ada sekitar 350.000 pemulung di Jakarta, kemudian belum adanya skema manajemen sampah tutup botol,  saat itu hanya ada manajemen sampah botol.

Shredded bottle caps

Dari situ ia mendapatkan ‘aha moment’ tentang perlunya mengatasi masalah sampah, khususnya sampah plastik di Jakarta. Ia termotivasi untuk bekerja sama dengan para pemulung dan product designers untuk mencari solusi.

Pada akhir tahun 2019, berbekal ilmu vokasional yang dimiliki, Liz memulai projeknya yaitu dengan memberi pelatihan kepada para pemulung bagaimana mengolah sampah tutup botol menjadi barang bermanfaat dan bernilai ekonomis. Sampah tutup botol bisa bertransformasi menjadi keranjang, tas, lampu hingga kursi.

 

Ibu Parmi, “gendong jamu” merchant in Jakarta

Jamu Gendong: Female Social Entrepreneurs
Kenapa bisnis ini dinamai The Djamu? Apa kaitan sampah tutup plastik dengan jamu? “Terinspirasi oleh Ibu Parmi dan keranjang jamu gendongnya, she’s like a good role model, a hero, because she’s active in her role: providing income for family, demonstrating the philosophy of harmony between people and the environment. Maka itu projek ini dinamai The Djamu karena konsep dan filosofis yang saya pelajari dari para penjual jamu gendong.” ujar ibu bersahaja ini.

Apa yang dilihat Liz dari penjaja jamu gendong adalah keseimbangan, keharmonisan hubungan manusia dan alam. Jamu adalah minuman herbal hasil produk bumi. 

Ibu jamu gendong menunjukkan betapa bumi baik untuk kesehatan manusia, betapa wanita bisa berperan penting sebagai penggerak ekonomi keluarga, dan betapa berjualan jamu bisa menjadi community builder, menyambungkan satu tetangga dengan tetangga lainnya.

Konsep penjual jamu gendong baginya adalah contoh murni female founders and social entrepreneurs. Filosofi yang sangat tepat bagi Liz untuk mewakili contoh terbaik sebagai wanita yang mendirikan bisnis di bidang sosial.

Mengapa IBC Australia?
Liz merasa perlunya komunitas bisnis antara Indonesia dan Australia sebagai wadah untuk bertukar ide dan inovasi. Ia menggarisbawahi “The Australia-Indonesia relationship is very important to me and to DJAMU. Plastic waste pollution is a global problem. Australia and Indonesia are well placed to work together on this challenge. IBC has an engaged and highly active community in Australia and Indonesia, and has been of great support to DJAMU. 

Being connected with IBC Australia is the best way for me to cultivate connections and business relationships with Indonesia.” Keinginan kuatnya untuk terlibat dalam komunitas bisnis membawanya ke website IBC Australia, kemudian tanpa pikir panjang, ia mendaftar. 

Sejak itu ia makin aktif berkontribusi dalam manajemen sampah tutup botol yang melibatkan dua negara yaitu Australia dan Indonesia. Bahkan di tahun 2022, The Djamu terlibat dalam Australia-Indonesia Plastic Hub, di bawah CSIRO. Dan hingga kini terus berkiprah bersama para start-ups baru bekerja sama dalam menanggulangi sampah plastik. [IM]

Oleh Sari Puspita Dewi

 

Untuk membership, silahkan mendaftar ke situs web IBC Australia dan lengkapi formulirnya: www.ibcaustralia.com.au/membership-form/

 

Previous articlePendaftaran DPTB Untuk Pemilu 2024 Resmi Ditutup PPLN Sydney
Next articleHarapan Dan Kenyataan: Benarkah berharap malah mengurangi kebahagiaan?