Andres Adiguna Satya

692
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Membawa Kelezatan Cin Yen Jakarta Ke Sydney
Membawa nama besar sebuah restoran ke negara baru memang tidak mudah. Apalagi belum sempat berkembang sudah dihadang pandemik. Bagaimana pria berusia 36 tahun dan istrinya ini membawa keluarga kecil mereka beserta restoran keluarga yang sudah cukup terkenal di Jakarta ke kota besar lainnya, yaitu Sydney?

Bagaimana Anda membawa Cin Yen ke Sydney?
Lulus SMA di Medan, saya kuliah di Curtin University of Technology, Perth, jurusan
Teknik Sipil. Selesai kuliah, saya kerja di pertambangan (di Afrika, Thailand, dan pedalaman Australia). Di Thailand, saya bertemu istri, Koy.

Setelah bekerja selama 3 tahun di engineering, saya diajak teman berbinis ritel, yaitu IGA, di Perth selama 5 tahun. Kami kemudian pecah kongsi. Koy dan saya kembali ke Indonesia untuk libur panjang bersama keluarga.

Sedikit cerita tentang Cin Yen. Restoran ini awalnya dibuka di Medan tahun 2004,
lalu tahun 2010, mami saya buka cabang Cin Yen di Jakarta. Di tahun 2016, Cin Yen
di Medan tutup karena memang lebih fokus ke Jakarta. Beberapa staf yang performanya baik ditarik ke Jakarta. Sampai saat ini, Cin Yen Jakarta masih ada, tepatnya berlokasi
di Pantai Indah Kapuk, seberang Waterbom.

Nah, tahun 2017, kami–istri yang tengah hamil dan mami, berlibur ke Sydney. Sejak awal kuliah sampai selesai dari IGA, saya sendiri belum pernah main ke Eastern Australia,
selalu di Western. Jadi, sama sekali nggak tahu eastern states-nya Australia itu kayak apa, tahunya Perth. Selepas IGA, Koy dan saya memang berniat untuk refreshing karena waktu kerja di ritel, saya nggak berhenti bekerja selama tujuh hari seminggu selama lima tahun.

Di Sydney, selama dua minggu liburan, ke mana pun kami pergi makan, selalu antri.
Jadi, mami kasih ide ke saya untuk buka restoran di Sydney saja, dan tidak usah
kembali ke Perth. Waktu ide itu saya sampaikan ke Koy, dia senang sekali.
Kami matangkan rencana untuk buka usaha restoran dan pulang dulu ke Jakarta.

Setelah tekad kami bulat, saya langsung belajar masak dengan Head Chef di Jakarta dengan resep dari mami selama 2 tahun. Juli 2019, kami pindah ke Sydney. Waktu itu, kami sudah tahu mau buka restorannya di daerah Kingsford. Dan, satu-satunya tempat yang masih tersisa kosong, ya, yang saat ini kami tempati, di lantai dua. Lainnya penuh! Itu sebelum Covid19. Setelah beberapa kali survei dan inspeksi tempat, dan setelah
private certifier bilang bisa direnovasi jadi restoran, kami memulai proses renovasi di bulan Oktober sampai Desember 2019. Izin usaha pun diterbitkan di pertengahan Januari 2020.

Tanggal 24 Januari 2020, Cin Yen Sydney buka. Seperti halnya tempat usaha yang
baru dirintis, waktu itu pelanggan kami belum banyak. Selain karena Covid, tempat kami
di lantai dua juga kurang menarik perhatian orang. Awalnya, promo kami dari teman-teman mami yang datang berkunjung–dari mulut ke mulut.

Secara karier, bagaimana Anda bisa putar haluan, dari dunia engineering ke masak memasak dan bisnis restoran? Apakah Anda mengalami crash culture?
Rasanya persis seperti saya pindah dari dunia engineering ke ritel (IGA). It’s a big challenge. Waktu itu, saya tanya mami dulu. Soalnya, beliaulah yang membiayai kuliah saya. Dulu, status saya masih international student, belum PR. Biaya kuliah mahal.
Saya merasakan pengorbanan mami besar sekali. Tapi, karena kami berasal dari keluarga bisnis, mami merestui. Dan, ya, buat saya pribadi ada perubahan besar di ritel. Untunglah, dulu waktu kuliah, saya pernah bekerja part time juga di supermarket, jadi sedikit banyak tahu dunia ritel ini. It was a big jump career-wise, but work-wise, masih okelah.

Dan, ketika saya pindah lagi ke bisnis restoran, lagi-lagi tantangannya besar sekali. Yang terbesar adalah memastikan bahwa hasil masakan Cin Yen Sydney sama dengan Cin Yen Jakarta karena saya membawa “nama“. Mami saya nggak mau kalau hasil masakan di cabang kalah enak dengan pusatnya. Itu kan yang paling sering diomongin orang. Apalagi di Indonesia. Dan, itu yang sangat saya hindari. Apalagi, latar belakang engineering saya membawa karakter presisi. Saya bukannya bilang diri saya perfeksionis, tapi saya selalu berusaha sebaik mungkin mengarah ke yang terbaik (mungkin lebih tepatnya presisionis)

Itu sebabnya, waktu belajar di Jakarta, semua sayuran, protein, karbo, bumbu sampai airnya saya timbang semua dengan sendok ukur agar cita rasanya sama. I tried my best! Saya punya prinsip pantang mengecewakan mami. Jangan lupa, kami pakai mereknya beliau, modal usaha sebagian dari beliau. She made so much sacrifices for us. If I could not deliverI might as well pack up, go somewhere else and work in my previous industries.

Lalu, apa yang membuat Anda yakin untuk membuka the new Cin Yen di Sydney, setelah sekian waktu belajar?
Dari sisi saya, waktu belajar di dapur Cin Yen Jakarta, every single details that I could
think of, I’ve got it written down. I saw all the processes, I was hands on with them too. But that’s as much as the confidence I had
(sebelum buka). Yang lebih meyakinkan saya adalah dorongan dari mami dan Koy. Mereka bilang just go for it.

Masih ingat resep pertama yang mendapat seal of approval mereka?
Yang pertama adalah Crispy Pork Belly. Di bulan Juli 2019, waktu pertama kami pindah ke sini, sambil lihat tempat dan adaptasi, saya coba beli pork belly dan memasaknya di dapur rumah. Dan, setelah berpuluh-puluh kilo, hasilnya sukses. Koy mencoba, dia senang. Anak saya yang masih kecil pun doyan banget, padahal dia belum bisa ngomong apa-apa waktu itu, just nom nom and thumbs up all the time. Mami saya datang dari Jakarta dua kali dan cicipi, dan beliau bilang oke. Those were my seals of approval. Crispy Pork Belly adalah salah satu menu yang tersulit untuk dibuat karena perlu melalui beberapa proses dan
tiap-tiap prosesnya butuh waktu yang cukup lama. Menu ini saat ini menjadi salah satu favorit pelanggan kami di Sydney, dan juga di Jakarta.

Bisa ceritakan, bagaimana Cin Yen dapat melewati masa lockdown?
Sejak ada pengumuman-pengumuman tentang lockdown di bulan Maret 2020, sebenarnya, sudah terasa sekali sepinya di bisnis restoran. Saya ingin fakta ini direkam dengan baik. Pada saat itu, saya dikenalkan oleh temen saya Nick Molodysky (Indonesian food influencer based in Sydney) ke Ci Margalena dari Mie Kocok Bandung, Maroubra. Oh my God, I still owe them until today. Jadi, Ci Margalena yang membukakan jalan supaya kami tetap bisa menjual makanan. Karena diberlakukan lockout law di Sydney, yaitu customers tidak boleh dine-in, Ci Margalena mengajak saya untuk buka PO bersama dan gabung delivery-nya. Mie Kocok Bandung menggandeng Betawi’s Kitchen, Mirasa, dan Cin Yen. Berempat, kami offered delivery. Kami didukung dua-tiga drivers, yang merupakan teman-temannya atau pelanggannya Mie Kocok Bandung. Satu atau dua di antara mereka terkena dampak
Covid sehingga jam kerja mereka dikurangi or something along those line, jadi kami
ikut membantu mereka juga: win-win solution. Ci Margalena yang punya inisiatif ide,
dia yang nawarin, dia yang organised.

Jadi, kami berempat menentukan jadwal untuk melayani daerah-daerah tertentu, karena Sydney, kan, luas juga. Jadi, ada jadwal kami pergi ke West, Northwest, North, South,
jadi ada pembagian. Kami tinggal terima order dan siapkan makanannya, dan kirimkan
ke Mie Kocok Bandung. Di sana, semua order makanan dibagi-bagi lagi sesuai rute drivermasing-masing. That’s how we survived! Saya nggak tahu nasib Cin Yen hari ini kalau saat itu nggak kenal boss Nick Molodysky dan Ci Margalena. We can never thank them enough. I told my mom about all this. She just said ‘Tuhan YME mengirim utusan-Nya untuk membantu kamu’, karena begitu banyak bisnis yang tutup. Bahkan, beberapa restoran-restoran ternama sekali pun.

Jadi, berkat Ci Margalena lah, Cin Yen Kingsford hari ini masih ada. Dan sampai hari ini, kami masih berteman dan begitu pula harapan kami sampai cicit buyut kelak. Ci Margalena juga membantu promo Cin Yen, karena kami masih baru sekali waktu itu. Caranya, dia menyelipkan selebaran menu Cin Yen di setiap orderan Mie Kocok Bandung! Pause and think about what I just said. Itu adalah tindakan yang sangat, sangat, tidak mementingkan diri sendiri, terlebih di dunia saat ini. Saya sangat terharu dengan kebaikannya. Bahkan, sampai beberapa minggu yang lalu, kalau dia ada orderan dari suatu daerah, Cin Yen diminta buka PO juga ke situ. Nanti, orderan kami dibawa sekaligus dengan orderannya. Kami merasa kami semua seperti keluarga. She must have taken us as a family too.
Her great philosophy
: if Mie Kocok Bandung survives, everyone must survive.

Luar biasa, ya. Baiklah, sekarang kita bicara menu. Berapa banyak menu yang Anda bawa dari Jakarta ke Sydney?
Cin Yen Jakarta punya lebih kurang 180 sajian, sedangkan Cin Yen Sydney, yang tercetak baru 22 menu. Jadi, sejak Februari, bulan kedua kami buka, setiap bulan, kami tambahkan satu menu baru sampai bulan 12, barulah berhenti. So far, menu kami sudah ada 30 lebih di Sydney.

Bagaimana Anda memilih menu untuk Cin Yen Sydney? Apakah lewat diskusi atau feeling Anda sendiri?
I would say all them combined together. Yang pertama, tentu saja, menu-menu bestsellers di Jakarta, kita harus jual di sini, misalnya Udang Telur Asin, Crispy Pork Belly, Ayam Tangkap, Assam Curry, Kwetiaunya juga juara satu. Garlic Spinach, for some reasons,
juga menjadi one of the bestsellers di Jakarta. I think people just need veggies to go
with their main. Secondly, the rest of the menu
adalah hasil diskusi antara saya dengan istri dan mami. Yang ketiga adalah kami melihat juga menu restoran-restoran lainnya
di Sydney, apa saja yang laris. Semua yang saya sebut barusan memengaruhi
menu-menu yang kami sediakan di Sydney.

Terakhir, apa tip-tip Anda dalam menjalankan bisnis restoran?
Put your heart in every plate of food that comes out of the kitchen and smile
to your customer as they walk in. It can be hard at times when you’re having
a rough day in the kitchen, but try your best. Wong
senyum masih gratis, kok [IM]

Previous article“Music for Sleeping: Lelap”
Next articleAkselerasi Pemanfaatan IA CEPA Bagi Industri Otomotif, Pemerintah RI Fasilitasi MoU Senilai AUD 6 juta