Day 3: Port Stephens
Setelah dua hari “bersantai-santai” di Port Stephens, kami bertekad harus pergi ke sand dunes. Well, ibu dan ayahku bertekad. Aku dan kedua adikku “mager” berat dengan cuacanya yang masih hujan rintik-rintik dan kenyamanan Airbnb yang sudah terasa seperti rumah sendiri. Namun, akhirnya kami berangkat, dan betapa senangnya ketika cuaca menjadi cerah saat kami tiba di Anne Bay. Di sisi-sisi tempat parkirnya sudah ada dua sandboarding tour provider yang ‘nongkrong’ dan sejajar unta dengan tur mereka sendiri.
Kami memilih salah satu tur (“yang warna hijau, aja,” kata ayahku) dan menunggu bus mereka datang. Jadi, bus yang membawa kami ke area sandboarding datang setiap 30 menit sekali dan peserta tur dibebaskan untuk hop-in dan hop-off. Jadi, peserta boleh main di area sandboarding selama yang mereka mau, meski kebanyakan hanya satu sampai dua jam saja.
Sesampainya di sana, kami takjub akan kebesaran padang pasir ini. Sejauh mata memandang hanya pasir, bukit demi bukit pasir. Ada area utama yang digunakan untuk sandboarding, sudah ditandai bagian mana untuk mendaki dan bagian mana untuk meluncur. Seorang tour guide memberitahukan peraturan singkat dan mengarahkan kami ke tumpukan papan seluncur pasir. Kami mengambil dan langsung berjalan ke sisi jauh “bukit luncur pasir”. Tak lama setelah kami tiba segerombolan turis Korea pun tiba dan kami pikir tempat itu akan sangat padat. Tapi, ternyata tidak juga. Entah ke mana mereka…
Sebelum berangkat ke mari, aku sempat tanya-tanya temanku yang pernah sandboarding. Katanya, “Seru! Tapi, paling dua kali luncur.” Alasannya, karena mendakinya capek. Waktu itu aku berpikir dalam diriku sendiri, ah masa segitunya sih, aku harus lebih dari dua kali! Dan, ternyata, segitunya, sih! Bahkan hanya mendaki sekali pun sudah begitu melelahkan. Sepertinya, sih, karena pasirnya amblas kalau diinjak. Jadi, lebih berat untuk mendaki atas (if that makes sense). Aku dan adik-adikku meluncur dari yang paling puncak.
To be honest, it was terrifying for me! Well, awalnya, “serem banget” pas lihat ke bawah, karena begitu terjal dan jauh tampaknya. Lalu, detik-detik pertama meluncur rasanya kayak mau mati. Terlintas di pikiran, why am I doing this to myself? Tapi, di tengah-tengah mulai terasa seru dan sampai bawah kami tertawa senang dengan pasir bertaburan di seluruh tubuh kami. Lalu, ada perasaan ingin lagi. Lalu, kami mendaki lagi, dan merasa kami tak akan sampai ke puncak karena begitu lelahnya. Tapi, lalu semuanya terulang lagi. Tapi, serius deh, capek sekali mendakinya. Paling tidak, aku meluncur 3 kali!
Setelah kembali ke area parkir, aku, adik laki-laki, ibu, dan omaku memutuskan untuk naik unta. Kami berfoto dengan unta sambil menunggu peserta lain berkumpul. Tiga unta yang depan yang suka diajak foto, begitu kata guide-nya. Tak lama kemudian, aku sudah di atas unta. Di depanku, adik laki-lakiku. Di belakangku, oma dan ibuku. Pawangnya membawa kami menyusuri padang gurun dan bahkan ke pantai. Untanya bisa berenang! Well, nggak juga, sih, tapi kaki mereka yang panjang membuat mereka bisa tetap berada di atas permukaan air, meski air sudah setinggi pinggang pawangnya. Ternyata begini rasanya jadi orang Israel yang berkelana di padang gurun selama 40 tahun (well, 20 minutes of it at least).
Sepulangnya dari sana kami ke supermarket dan memasak makan malam lagi di rumah. Tidak terasa perjalanan kami sudah hampir berakhir. Kami memasuki Airbnb dengan perasaan sedih dan mulai berkemas. Besok kami check out.
Day 4: Going Home
Rencananya, rencananya kami akan berangkat awal dan menjelajah kota Newcastle sebelum makan siang di sana. Namun, kami berakhir makan siang di Airbnb. Meski begitu, kami sempat mampir ke Merewater Beach di Newcastle untuk menikmati angin laut sebelum melaju ke…. The Entrance. We’re not giving up on that pelican feeding!
Pelikan feeding-nya tidak sebesar dan sebanyak yang kukira, in a good way. Tidak seperti wisata turis yang begitu banyak orang berdesak-desakan, atraksi ini terasa lebih intim dengan guide yang menjelaskan mengenai acara ini di antara kami dan pelikan-pelikannya begitu dekat dengan tempat kami berdiri. Kami mengelilingi kolam pelikan itu, sementara seorang guide yang lain memberi mereka makan ikan. Ikan tersebut disumbangkan oleh salah satu restoran lokal.
Akhirnya, seluruh tujuan dalam rencana kami terkunjungi. Meski tidak sepenuhnya sesuai dengan daftar, road trip ini begitu berkesan dan menyenangkan. Paling tidak untukku. Jika berpikir kembali, aku tidak akan mengubah apa pun. Gerimis yang membuatku kesal, membuat kami berkumpul di rumah, melihat pelangi, dan bangun pagi-pagi untuk melihat matahari terbit. Kami bertemu kawanan sapi, pelikan, dan bahkan angsa tanpa disengaja. Ayah memelankan mobil setiap beberapa saat karena ibuku ingin memotret rambu jalan yang lucu-lucu. Memang di sinilah esensi road trip, mengganti ‘rencana’ dengan ‘kenangan’.
Thank you for following our trip. Until next time! [IM/Natasha Ingelia]