Mencari pekerjaan yang disukai rupanya sama rumitnya dengan menjalani kehidupan baru di negeri orang. Namun, kesukaan untuk terus belajar dan memiliki cinta yang besar menjadi modal yang paling besar. Yuk, kita belajar tentang hidup dan cinta, dan fashion dari perempuan Indonesia yang bermukim di Bundamba, Ipswich, Queensland, ini.
Purnama Kurnianingsih, dipanggil Purnama, berusia 54 tahun. Dalam usia yang tak lagi muda itu, ia mengantongi jam terbang selama 12 tahun sebagai pramugari di berbagai perusahaan penerbangan di Tanah Air, salah satunya adalah Garuda Indonesia.
Perempuan yang juga jebolan Modeling Academy from Jhon Robert Power Indonesia di tahun 1991 pindah ke Australia dan kembali banyak belajar. Kali ini tidak main-main, tercatat ada tujuh sertifikat dan diploma yang ia dapatkan, dari berbagai disiplin ilmu.
Lalu, apa yang membuatnya jatuh cinta pada dunia fashion dan terjun menggelutinya? Jessica Sutandar dari INDOMEDIA berbincang dengan perempuan inspiratif ini.
Kapan Kak Purnama pertama kali pindah ke Australia dan mengapa memilih untuk pindah? Bagaimana pengalamannya?
Aku pertama kali pindah ke Australia pada tahun 2007, karena menikah dengan suamiku, Norman. Jujur, waktu pertama kali pindah sulit juga rasanya. Soalnya, aku kan, bekerja jadi pramugari, dan ketika pindah ke Australia aku jadi di rumah terus. Kayak syok. Dari biasanya terbang ke mana-mana, sekarang setiap hari diam di rumah. Apalagi aku orangnya like to do things, nggak pernah nggak kerja. Aku waktu itu stres banget dan suamiku bilang, ‘kenapa nggak kamu cari kerja aja?’
Jadi, waktu itu cari kerja, dan bersyukur cepat dapatnya. Aku mendapat pekerjaan sebagai copy editor. Setelah dua tahun, setiap hari, di depan komputer, nggak ke mana-mana — ini bukan aku, aku mencoba sekolah lagi. Kali ini aku ambil jurusan tourism karena pernah bekerja di airline industry. Setelah itu, aku bekerja sebagai travel agent. Eh, kerjanya juga banyak di depan komputer. Aku stres karena beda dengan airline industry, dan skill aku ‘kelebihan’ untuk pekerjaannya.
Akhirnya, salah satu temenku bilang di rumah sakit ada lowongan untuk volunteer dengan anak-anak yang memiliki penyakit berat. Dari situ aku enjoy bekerja untuk anak-anak. Jadi, aku ambil sekolah untuk Early Childhood Education dan sampai sekarang bekerja bidang ini.
Wah, lumayan up and down juga ya Kak, syukurlah akhirnya ketemu kerjaan yang Kak Purnama bisa enjoy. Kedengarannya Kakak lebih banyak pengalaman di industri lainnya, apa yang membuat Kak Purnama ingin masuk ke bidang fashion dan bahkan membangun fashion label sendiri: PN the Label?
Sebenarnya, fashion is my passion. Dari kecil, aku suka banget ikut beauty pageant, dan di tahun 1991 aku juga dapet sertifikat Modeling Academy dari Jhon Robert Power. Setelah itu, seharusnya aku ke Singapura untuk pemilihan Putri Indonesia, tetapi pada saat itu, aku juga melihat kakakku bekerja jadi pramugari, dan aku pikir kayaknya enak juga, ya, jadi pramugari, bisa travel keliling dunia.
Iseng, aku apply jadi pramugari, eh, diterima! Karena itulah aku harus memilih karena perlu training juga kalau mau jadi pramugari. Akhirnya, aku pilih untuk give up the pageant dan ikut training pramugari.
Lalu beberapa tahun yang lalu, sebelum COVID, temanku di Cairns mengajak untuk kolaborasi dengan fashion label-nya. Aku yang mempromosikan, dia yang desain. Setelah itu kami mulai nggak sepaham. Dia mau pakai sistem Indonesia untuk menjalani bisnisnya. Padahal, menurutku, seharusnya kita mengikuti sistem dan aturan Australia karena kita operate di Australia. Jadi, akhirnya kami part ways. Lalu, COVID.
Justru dari situ, aku dan suamiku berpikir, kenapa nggak bikin label sendiri aja? Aku kan nggak ada anak, jadi weekend juga boring. Jadi, aku mulai mendesain baju sendiri, dan lama-lama berjalan juga walaupun COVID. Suamiku yang jadi fotografer dan content creator. Lalu, aku dapet offer untuk mendesain airline uniform. Dari situ, ya, nggak langsung besar, tapi pelan-pelan baru berkembang.
Wow, what an inspiring story! Mengapa Kakak memilih untuk namakan PN the Label? Menurut Kak Purnama, apa yang membuat PN the Label unik dibanding brand desainer lainnya?
Kami namakan PN the Label, singkatan namaku dan nama suamiku, karena bisnis ini hanya dapat berjalan dengan kerja sama kami berdua.
Sejak bertemu pertama kalinya di Brisbane, kami merasa ‘klik’ begitu. Kami berkomunikasi Jakarta-Bali selama dua tahun, lalu akhirnya bertemu lagi di Bali, dan satu bulan kemudian nikah di Jakarta. Jadi, selama ini Norman juga sangat interested dengan budaya Indonesia.
Kami sering belajar tarian Indonesia dan menari bersama. Kami benar-benar ingin desain dan budaya Indonesia untuk diketahui dunia. Pada akhirnya, it leads to PN the Label.
Salah satu hal yang unik adalah PN the Label hanya membuat one-off design. Jadi, desain kami sangat unik, nggak ada duanya di dunia. Karena pernah belajar jadi stylist, aku selalu memberi opsi dan rekomendasi untuk customer-ku.
Walaupun mereka pikir nggak akan suka atau nggak pernah mencoba warna yang direkomendasi, aku selalu kasih mereka kesempatan untuk mencoba dulu. Aku ingin mereka confident dalam apa yang mereka pakai. Kalau sudah dicoba dan masih nggak suka, ya nggak apa-apa. Aku nggak maksa juga. Itu yang membuat customer PN the Label puas, karena sangat customized untuk mereka.
Aku juga selalu berpikir bagaimana membuat fashion lebih sustainable. Dari dulu banyak banget yang beli baju, terus cuma pakai sekali. Jadi, setiap kali kami membuat baju, kalau ada sisa materi, aku selalu meminta untuk dibikin jadi aksesori biar nggak waste. Semua garmen PN the Label terbuat dari katun, silk, dan wool blended.
Sekarang, walaupun tinggal di Australia, apakah Kak Purnama masih memiliki hubungan yang erat dengan komunitas Indonesia?
Yes, masih. PN the Label selalu bekerjasama dengan UMKM di Indonesia. We strongly believe in giving people a voice. PN the Label tidak pernah manufacture sendiri. Biasanya, aku kasih desainku kepada pembuat baju di Indonesia dan minta mereka yang bikin. Lalu, PN the Label juga cover shipping costs untuk mengirim bajunya ke Australia.
Kami juga support UMKM Indonesia dalam kreasi mereka seperti handwoven batik dan desain eco-print, yang aku bawa ke Australia dan promosi ke market di sini. Lalu, kalau ada peminat, aku order dari mereka dan bantu jual di sini.
Desain-desain kami juga bertujuan untuk show off culture Indonesia, dan juga masih wearable. Di Australia ‘kan style-nya kebanyakan lebih plain, jadi, aku suka pakai batik untuk kayak bordirnya, aksennya. It is mixed Western and Indonesian designs. Dan, akhirnya, di sini kami juga bisa jadi ambassador untuk desain Indonesia.
Beberapa bulan yang lalu, PN the Label represented Indonesia di “International Fashion Week” di Gold Coast, yang diikuti oleh dua belas desainer dari tujuh negara. Pada saat ini, aku juga invite salah satu desainer baru dari Indonesia untuk kolaborasi di bawah nama PN the Label, dan kami benar-benar ingin memberi kesempatan bagi Indonesian designers untuk bisa belajar dan expand internationally juga.
What is the most important thing that you want to impart into the next generation of designers?
It’s good to celebrate ideas and designs together. Be brave in working with recycled material, natural fibers, cotton, silk, wool and leather. Try to have fun with fashion garments from opshop and be creative.
There are so many things you can do – you can make a new style or one-off designs, and most importantly make sure that your customers can enjoy wearing your creations with dignity. Make your clients feel in power and confident in our styles, ans they will definitely come back again. [IM]