Sangat biasa kedengarannya, siapa yang tidak kenal istilah yang sudah jadi bagian kehidupan turun temurun bangsa Indonesia… Nasi Kucing, Nasi Jinggo, Nasi Padang, Nasi Begana, Nasi Jamblang dan banyak lagi jenisnya. Sangat merakyat yang sekarang mulai banyak dilupakan karena kemasan nasi dengan lauk dalam bungkusan daun pisang sudah tidak trend lagi, yang lebih digemari adalah kemasan modern yang waaah!
Daun pisang kelihatannya tidak mewah, tetapi warisan leluhur ini sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia dari zaman dahulu, karena daun pisang mempunyai fungsi sebagai disinfektan dan memberikan aroma khas nasi dan lauknya.
Bagi masyarakat seumur saya, nasi bungkus sangat ngangeni… hanya memang daun pisang sudah menjadi pembungkus yang langka karena mulai banyak ditinggali petani daun pisang karena dianggap kurang menguntungkan. Padahal menggunakan daun pisang adalah sejalan dengan apa yang digaungkan tentang hidup dengan “Ramah Lingkungan“.
Back to Basic, negara-negara yang sangat mengagumkan perkembangan kuliner modern, mulai merindukan suatu sajian yang rendah hati dan otentik, meskipun itu dianggap jadoel. Hal inilah yang menggugah sepasang pelaku usaha kuliner Indonesia di kota Melbourne, Corina dan Adrian. Lulusan S2 Monash dengan pengalaman lebih dari 15 tahun ini memutar haluan ke belakang untuk menyajikan citarasa Indonesia dalam kemasan Nasi Bungkus menggunakan daun pisang.
Era Nasi Bungkus secara eksplisit mulai diperkenalkan di Melbourne dan menjadi pembahasan serta digemari tidak hanya oleh masyarakat Indonesia. Tapi, hanya mengandalkan kemasan Nasi Bungkus belum dengan tuntas menyajikan budaya kuliner dengan citarasa yang otentik.
Indonesia Spice Up The World, gerakan yang dikomandoi oleh Menko Marvest, kiat memperkenalkan citarasa Nusantara yang otentik dengan menggunakan bumbu yang sudah diolah di Indonesia, seperti bawang merah, cabe keriting, lengkuas, kunyit, kencur, sereh, daun jeruk dan banyak lagi bahan-bahan bumbu yang ditanam di tanah tercinta Indonesia, dengan rasa yang kompleks tetapi harmoni.
Setiap daerah menghasilkan bahan bumbu yang berbeda karena rasa dan kualitas sesuai dengan kearifan lokal. Gerakan Indonesia Spice Up The World akan meningkatkan gairah ekonomi kerakyatan.
Sejak maraknya sosial media yang didominasi sajian-sajian budaya kuliner manca negara, kini semakin terbentuk minat dan niat untuk mencicipi citarasa lokal yang sangat diminati para wisatawan. Dulunya, setiap sampai di suatu kota negara yang pertama dilakukan adalah mengenal sepintas kota kunjungan lewat city tour, tetapi sekarang di setiap kota kunjungan kita juga dapat mengikuti local food tour.
Di Cabramatta Food Tour (3,5 jam $109), kita dapat menikmati sajian selera kuliner sambil dipandu untuk mengenal budaya Asia Tenggara serta budaya kuliner masing-masing, serta mencicipi sajian kuliner yang terbaik dari masyarakat migran di Australia. Kelompok etnik terbesar adalah Vietnam, selain itu ada China dan Kamboja juga. Sayangnya Indonesia tidak masuk dalam kelompok ini.
Cabramatta sudah menjadi destinasi kuliner South East Asia (SEA) bagi para wisman bila mengunjungi Sydney. Di Cabramatta juga terdapat pasar yang menjual bahan-bahan kebutuhan masakan SEA. Lagi-lagi disini juga tidak ada unsur Indonesianya.
Di Springvale Market Melbourne sebagai Asia Market marak dikunjungi bukan hanya orang Asia tetapi juga masyarakat lokal, serta para migran yang tidak lagi belanja di swalayan makanan besar di kota karena relatif lebih mahal.
Teman baik saya Cherry Ripe food critic and writer yang ternama, pada tahun 1993 pernah menulis sebuah artikel bertajuk Asianisation of Australian Palate yang saat itu sempat mendapat tentangan atas prediksinya. Tetapi apa yang terjadi saat ini, di pusat kota Sydney dan Melbourne kini didominasi oleh restoran-restoran Asia dan Timur Tengah, dan hal ini akan terus berkembang karena banyaknya migran di Australia yang ingin tetap dapat menikmati budaya kuliner aneka suku bangsa.
Hal ini juga dimanfaatkan oleh negara masing-masing untuk mengekspor bahan-bahan makanan terbaik yang otentik ke Australia sehingga selera masyarakat akan lebih terbuka dengan citarasa pendatang. Ini bukti prediksi Cherry Ripe yang sangat tepat.
Nasi Bungkus, istilah ini tidak perlu diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau lainnya, seperti yang disampaikan dalam tulisan Bapak Dahlan Iskan beberapa waktu lalu yang sempat viral, bahwa Sushi, Pho, Pad Thai, Somtam, Mala Hot pot, Bulgogi sudah terkenal tanpa harus dijelaskan lagi. Sayangnya daun pisang yang dipakai untuk Nasi Bungkus datangnya masih dari Thailand dan Vietnam, belum ada yang diimpor dari Indonesia ke Australia.
Karena kangen sajian selera Indonesia yang jadoel, Nasi Bungkus @garammericamelbourne banyak dibawa dalam perjalanan antar kota sebagai oleh-oleh kangen Indonesia. Hal inilah yang kemudian memicu untuk dibukanya @garammericasydney.
Garam Merica Sydney dibuka dan diresmikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Australia Bapak Siswo Pramono dan Konjen Sydney Bapak Vedi Kurnia Buana pada 29 Mei 2023, dan dibuka untuk umum mulai 30 Mei, yang langsung mendapat sambutan baik dari masyarakat Indonesia yang ingin menikmati Nasi Bungkus sesuai pilihan selera.
Ada 15 lebih jenis pilihan menu yang bisa dinikmati seharga $19 (untuk pilihan 2 protein dan 2 sayur) ditambah aneka minuman segar yang disajikan di @garammericasydney. Yang mengejutkan, banyak juga masyarakat Australia atau non-indo yang datang ikut menikmati Nasi Bungkus dengan tantangan memilih tambahan sambal.
Ini suatu pengalaman yang berharga untuk memperkenalkan Budaya Kuliner Indonesia di Australia. Ini hub yang sangat strategis agar Nasi Bungkus bisa mendunia. Salah satu misi yang saya idamkan yaitu saatnya kita bisa memperkenalkan makan Nasi Bungkus dengan tangan kepada masyarakat Australia. Cara yang paling nikmat makan Nasbung!
Mari kita sebarkan budaya kuliner Indonesia ke dunia “Tak Kenal Maka Tak Sayang.“ Kompleksitas citarasa Indonesia ini sangat beragam, setelah mencicipi pasti ketagihan. Dijamin rasa yang otentik apalagi kalau sudah mencoba Rendang ala Sumbar, pasti tak kan lupa selamanya.
Salam Icip-Icip!
William Wongso