Kebahagiaan dan Kesehatan Mental

226
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


1 dari 6 orang di Australia mempunyai disabilitas. Selain itu, 1 dari 5 warga Australia
mengalami gangguan jiwa. Penyakit mental dengan kondisi seperti kecemasan, depresi,
dan penyalahgunaan narkoba mempengaruhi banyak orang di Australia.

Penikaman di Bondi Junction baru-baru ini telah menimbulkan kekhawatiran mengenai kondisi dukungan kesehatan mental di Australia. Tragedi ini telah memicu perbincangan tentang dukungan yang tersedia bagi mereka yang menghadapi masalah kesehatan mental dan keluarga mereka.

Saat ini, lebih dari sebelumnya, kita perlu meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan orang dewasa penyandang disabilitas.

Baru-baru ini, saya mengunjungi One&All Hub, klien wirausaha sosial yang melayani mereka yang memiliki disabilitas. One&All melayani penyandang cacat dan penyakit mental melalui program kreatif yang dirancang khusus untuk menumbuhkan komunitas yang tangguh dan dinamis. Saya kagum dengan pendekatan inovatif mereka dalam mempromosikan hasil terapeutik. Pengalaman ini mendorong saya untuk merenungkan pengukuran kebahagiaan dan kesejahteraan mental sebagai hasil sosial untuk layanan sektor publik dan swasta.

Sebagai konsultan, penasihat strategis, dan mentor bagi wirausaha sosial, anggota dewan, dan staf perusahaan rintisan, dan organisasi komunitas, saya mendapat kehormatan untuk menyaksikan komitmen mereka dalam menciptakan dampak sosial.

Saya bersyukur atas kesempatan untuk bekerja dengan individu dan organisasi yang mampu membuat dampak dalam kehidupan komunitas marginal. Tekad dan semangat mereka terhadap dampak sosial terus menginspirasi saya untuk memajukan partisipasi sosial ekonomi kelompok marginal.

Kebahagiaan dan Perencanaan Kota
Perencana kota dan peneliti menggunakan berbagai metrik untuk menilai kesejahteraan kota, termasuk survei kualitas hidup (termasuk keselamatan, akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan peluang rekreasi), indeks kesejahteraan (termasuk pendapatan, kesehatan, pendidikan, kualitas lingkungan, dan hubungan sosial), indikator perencanaan kota (termasuk desain kota, aksesibilitas, ruang hijau, transportasi umum, dan keterlibatan masyarakat), dan analisis media sosial (data media sosial untuk mengukur sentimen dan suasana hati penduduk ). Dengan menggabungkan metrik-metrik ini, pembuat kebijakan dapat memperoleh wawasan berharga mengenai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kebahagiaan di perkotaan. Kebahagiaan lebih dari sekedar perasaan – ini adalah ukuran yang dapat diukur.

Kebahagiaan di Tempat Kerja
Kebahagiaan di tempat kerja sangat penting untuk tenaga kerja yang produktif dan termotivasi. Tapi bagaimana kita bisa mengukurnya? Pertemuan rutin 1:1 (biasanya pertemuan manajer dan karyawan untuk saling memberi informasi, memberikan masukan, menyelesaikan masalah, menetapkan tujuan, dan merayakan pencapaian), survei kepuasan, dan survei keterlibatan adalah metrik umum yang digunakan untuk mengukur kebahagiaan dan kesejahteraan karyawan. Ketidakhadiran, produktivitas, dan kolaborasi juga merupakan cerminan tidak langsung dari kebahagiaan karyawan. Membangun lingkungan kerja yang positif dan mendorong budaya kesejahteraan dapat berkontribusi pada tingkat kebahagiaan dan produktivitas yang lebih tinggi di kalangan karyawan.

Kebahagiaan sebagai Hasil Sosial
Kebahagiaan adalah tujuan universal, dan mengukurnya sebagai hasil sosial telah menjadi bahan perdebatan. Laporan Kebahagiaan Dunia adalah salah satu upaya yang menggunakan faktor-faktor seperti PDB per kapita, dukungan sosial, harapan hidup, kebebasan memilih, kemurahan hati, dan persepsi korupsi untuk menilai kebahagiaan secara global. Temuan laporan ini menunjukkan bahwa negara-negara dengan peringkat indeks kebahagiaan yang tinggi, seperti Finlandia, Denmark, Swiss, Islandia, dan Norwegia, seringkali menunjukkan tingkat kejahatan yang lebih rendah, yang menunjukkan adanya korelasi antara kebahagiaan dan berkurangnya kejahatan. Survei dan data yang dikumpulkan dari masyarakat di seluruh dunia membantu menentukan kesejahteraan subjektif dan kepuasan hidup.

Tingkat Kriminalitas dan Kesehatan Mental
Penyakit mental adalah masalah yang signifikan di Australia, dengan kondisi seperti kecemasan, depresi, dan penyalahgunaan zat yang mempengaruhi banyak orang. Menurut Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Australia, 1 dari 5 warga Australia (berusia 16-85 tahun) (22% atau 4,3 juta) mengalami gangguan mental.

Dalam wawancara baru-baru ini dengan ABC, Philip Morris, Presiden Asosiasi Nasional Psikiater Praktisi, menjelaskan tantangan yang dihadapi oleh individu yang rentan sejak penutupan institusi kesehatan mental 30 tahun lalu. Dr Morris menekankan dampak negatif penutupan ini terhadap penderita penyakit mental, karena banyak yang tidak mendapatkan perawatan dan dukungan yang tepat. Akibatnya, orang-orang ini terpaksa hidup di jalanan, di tempat penampungan tunawisma atau dijemput oleh polisi. Dr Morris menyatakan bahwa “Pengobatan tidak ditindaklanjuti dan mereka menjadi kelompok orang yang sangat dirugikan dan seharusnya mendapatkan perawatan yang tepat.”

Situasi ini telah menyebabkan marginalisasi dan menyoroti perlunya dukungan masyarakat bagi mereka yang menderita penyakit mental. Penting bagi kita untuk memberikan perawatan dan dukungan yang memadai bagi individu dengan penyakit mental untuk memastikan mereka menerima perawatan yang mereka perlukan dan layak dapatkan.

Kesehatan Mental dan Komunitas Marginal
Komunitas marginal seringkali menghadapi tantangan tambahan yang dapat berdampak pada akses mereka terhadap sumber daya, peluang, dan kesejahteraan secara keseluruhan. Menurut Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Australia, statistik menunjukkan bahwa masyarakat Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres (First Nations), kelompok LGBTQ+, dan penyandang disabilitas lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental dibandingkan masyarakat umum.

Pada tahun 2018-19, diperkirakan 24% orang First Nations melaporkan penyakit mental, sementara pada tahun 2020, diperkirakan 61% orang LGBTQ+ melaporkan telah didiagnosis menderita depresi dan 47% melaporkan telah didiagnosis menderita gangguan kecemasan. Selain itu, menurut Survei Kesehatan Nasional tahun 2020–21, orang dewasa penyandang disabilitas umumnya mengalami tekanan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan orang bukan penyandang disabilitas. Diperkirakan 33% orang dewasa penyandang disabilitas mengalami tekanan psikologis yang tinggi atau sangat tinggi, dibandingkan dengan 12% populasi tanpa disabilitas. Statistik ini menyoroti pentingnya memprioritaskan kesehatan mental dan kesejahteraan komunitas yang terpinggirkan, dan berupaya menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan suportif. 

Kebahagiaan adalah Metrik yang Dapat Diukur
Untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, sektor publik dan swasta memainkan peran penting dalam berkontribusi terhadap pengembangan dukungan sosial dan jaringan bagi kelompok marginal. Keterlibatan aktif kaum marginal dalam kehidupan bermasyarakat meningkatkan rasa mempunyai tujuan, rasa memiliki, dan keterhubungan sosial.

Sudah waktunya untuk menerapkan kebahagiaan sebagai hasil sosial dalam pengembangan strategi dan layanan ESG (Sosial Lingkungan dan Tata Kelola) atau dampak yang inklusif di sektor publik atau swasta. Kemitraan dengan sektor publik dan swasta dapat lebih meningkatkan partisipasi sosial ekonomi kelompok marginal dalam pendidikan dan pelatihan, pekerjaan, kehidupan mandiri, serta jalur advokasi dan dukungan.

Bagi masyarakat Indonesia yang mengenal mereka yang berusia 16+ tahun dan memiliki disabilitas atau penyakit mental (peserta NDIS), Anda dapat mengikuti salah satu sesi kreatif One&All di Roseberry (Sydney) secara gratis. Pesan sesi uji coba dan telpon 02 7252 3939. [IM]

(Penulis: Fifi Rashando, konsultan CSR dan ESG)

Previous articleMinuman Berenergi dan Hubungannya dengan Serangan Jantung
Next articleIntrospeksi Diri dengan Meneladani Akhlak Rasulullah SAW & Menjaga Silaturahmi