Charlie Lee, A Journey Of Faith And Freedom

356
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Kebaikan yang kita terima, jika itu mengubahkan kita, tentu takkan berhenti di diri kita saja. Charlie memberikan kebaikan yang ia alami kepada kita semua.
Setelah hidupnya diubah oleh Tuhan, Charlie Lee – atau lebih dikenal sebagai Charly – menemukan sebuah kehidupan yang bebas dari masa lalunya dan penuh pengharapan. Di mana pun pria 45 tahun ini berada, dirinya terus mengulurkan dirinya terhadap orang-orang di sekitarnya, dengan harapan agar mereka juga bisa mengalami kebebasan yang dia telah alami. Ia pun kemudian bercerita pada INDOMEDIA.

Hi Charlie! Can you tell us a bit about yourself? Kapan pertama kali pindah ke Australia dan mengapa? Biasanya sibuk apa?
Aku pertama kali ke Australia tahun 2010 sebagai delegasi dari gereja Kuta International Christian Church Bali ke Uniting Church Adelaide, terus ke Melbourne dan Brisbane dalam rangka visiting churches.

Tahun 2012 aku kuliah di Hillsong, Campus Waterloo, dan lulus Diploma in Ministry lalu pulang ke Bali karena (rasanya) berat tanpa keluarga. Waktu itu anak-anak masih kecil-kecil, jadi aku pikir untuk mencoba usaha di Bali yang penting dekat keluarga.

Kesibukanku kerja sambil kuliah, jadi sehari-hari aku ngerjain tugas kuliah, soalnya kuliahnya juga bukan yang abal-abal.

Oh, I see! Apa yang membuatmu kembali ke Sydney? Dan apakah rencananya untuk kembali ke Indonesia atau bawa keluarga ke Australia?
Anakku yang pertama sekarang kuliah di Jepang, dan yang kedua di Bali. Covid pandemik dampaknya sangat berat terutama buat Bali, tidak ada turis selama 2,5 tahun sebagai sumber devisa, banyak usaha gulung tikar. Itu juga yang membuat aku kembali ke Sydney untuk mencari nafkah. Memang tidak mudah tinggal jauh dari anak istri, tapi ini sudah keputusan kita sekeluarga. Bahkan anak-anak bilang Papa nggak usah pulang. Rencananya, keluarga menyusul setelah anak-anak lulus pendidikannya.

Charlie, kita pertama kali ketemu di Good Friday Drama yang diadakan oleh Wesley Mission. Aku ingat kamu menceritakan pengalamanmu pas masih kecil menjelang Natal. Could you tell us this story?
Kenanganku waktu kecil dulu, orang tuaku berdagang di pasar dari pagi sampai malam dan mereka tidak mengenal Tuhan, hanya sibuk cari uang. Waktu itu, ketika aku lagi bantu-bantu di pasar, aku sayup-sayup mendengar lagu The First Noel dan hanya bisa membayangkan suasana Natal di dalam gereja, dengan banyak lampu-lampu cerah dan bersama keluarga besar.

Di keluargaku, kebersamaan saat Natal itu tidak pernah ada, tidak pernah terjadi. Tidak ada pohon Natal, tidak ada makan bersama. Jadi, aku rindu sekali bisa mengalami hal itu.

So how did you become part of the family of Christ? Bisa ceritakan sedikit tentang perjalananmu mengenal Tuhan?
Setelah menikah, istriku sering mengajakku ke gereja, tapi aku selalu punya 1001 alasan.

Natal 2005 aku diajak teman merayakan Natal di Senayan. Di situ aku merasa seperti pohon kering yang gersang dan haus. Saat orang-orang memuji Tuhan, aku menangis bercucuran airmata. Tuhan memenangkan pertarungan di batinku dan memenangkan hatiku. Sebelumnya, aku merasa nggak butuh Tuhan. Buatku seperti nggak penting, antara ada dan tiada. Tetapi pada saat itu, aku merasa seperti waktu Tuhan berkata kepada Rasul Paulus, sulit bagimu menendang ke galah rangsang. Atau, seperti Yunus yang lari dari panggilan Tuhan. Mungkin itulah jamahan Tuhan.

Setelah itu aku pulang ke Bali dan dibaptis di sana. Setelah dibaptis, aku ikut bible study dalam Bahasa Inggris di gereja KICC yang melayani turis dan expatriate di Bali. Aku juga sempat menjadi majelis di sana. Aku semakin tertarik belajar Firman Tuhan, sampai akhirnya aku memutuskan untuk kuliah pastoral di Hillsong pada tahun 2012.

Menurutmu, apa perubahan paling besar di hidupmu setelah mengenal Tuhan?
Latar belakang keluargaku penuh dengan kekerasan. Papa mamaku sering sekali ribut sampai terjadi kekerasan fisik yang melibatkan polisi bahkan tentara.

Aku ingat, kalau lagi ribut, papa menjambak rambut mama, terus diseret beberapa meter dan dipukuli. Mamaku juga tidak kalah ganas. Papaku pernah dilempar pakai batu timbangan sampai bocor kepalanya.

Orang tuaku bercerai saat aku masih SMP, dan aku berpikir: apa yang membuat keluargaku berantakan sementara orang lain bisa memiliki keluarga yang harmonis, bahkan hubungan orang tua dengan anak yang sangat dekat? Aku menemukan jawabannya, yaitu karena orang tuaku tidak mengenal Tuhan.

Tanpa Tuhan aku tidak akan berbeda dengan orang tuaku, bahkan mungkin lebih parah. Aku tumbuh liar. Sejak remaja aku sering berkelahi dengan gangsters. Mungkin aku bisa jadi kriminal bahkan mungkin jadi pembunuh.

Banyak kekerasan yang terbawa sampai aku menikah dan punya anak dan itu melukai dan merusak istri dan anak-anakku. Tetapi Tuhan begitu lembut dan dengan kasih-Nya membawaku pada pertobatan. Aku seperti diangkat dari lumpur dan dibersihkan dan ditempatkan pada tempat yang berbeda. Looking back, aku bukan lagi orang yang dulu.

Oh wow… Dan, sejak diubahkan oleh Tuhan, kamu telah aktif menyembah-Nya dalam berbagai area. Apa yang membuatmu khusus tertarik terhadap drama Good Friday dan ingin ikut serta dalamnya?
Aku tertarik ikut drama di Good Friday karena aku membayangkan seperti berada dalam film Passion of the Christ. Epik banget. Dan, buat aku, peristiwa penyaliban Yesus itu bagian terpenting dari hidup seorang Kristen. Kalau Yesus tidak menggantikan kita di kayu salib, tidak ada keselamatan bagi kita
(1 Korintus 15). Apa yang bisa kita lakukan untuk sebagai rasa syukur kita? Aku mau ada di sana untuk Kristus.

If you could describe your experience being in the drama, how would you describe it?
Being part of a miracle, I was just a tiny little piece of the puzzle. Semua yang kita lakukan di drama itu cuma menjadi diri kita sendiri dan bagaimana Tuhan menyatukan semua bagian tersebut menjadi suatu karya yang indah dan Tuhan mengijinkan semuanya terjadi untuk kemuliaan nama-Nya. Even on that day when we performed, the weather forecasted that it was supposed to be raining but the sun was shining.

Setelah mengikuti drama ini, apa hal-hal yang sangat berkesan bagimu atau mengubahmu?
Aku sangat terkesan dengan cast members lainnya. Raphael (yang memainkan karakter Yesus) orangnya sangat humble, tidak sombong, mungkin malah agak introver, tapi dia represents Jesus banget. Sophia, gadis kecil yang sangat luar biasa talented, yang menyanyikan Turn Your Eyes Upon Jesus suaranya bagus banget. Semuanya melakukan bukan untuk kepentingan sendiri, dan karena rasa syukur akan keselamatan yang Tuhan berikan dan kita mau orang lain juga diselamatkan. Thanks to direktur kami Bethany dan idenya merangkai ceritanya jadi drama yang luar biasa.

Pada masa-masa ketika kita berlatih untuk Good Friday Drama, aku lihat kamu sering ngobrol dengan salah satu cast member yang sering kesulitan untuk connect dengan orang lain. How did you do it? Apa yang kamu pikirkan setiap kali berinteraksi dengan dia?
Di Australia, aku sering melihat orang-orang yang berbicara sendiri, teriak-teriak, swearing, dan lainnya karena mereka terperangkap dalam pikiran mereka sendiri, medan perang dalam benak mereka sendiri. Mental health is a big issue here in Sydney.

Jadi, ketika aku ngobrol dengan fellow cast member itu, dia curhat, katanya sering hearing voices like the demon. Mungkin dia butuh perhatian. Mungkin nggak ada yang peduli dengan ceritanya. Tapi, menurutku orang-orang sepertinya jangan dibiarkan menghadapi pergumulannya sendiri. Dia perlu dikuatkan. Church is where the F word means Friendly, Family and Faith. [IM]

Previous articleHati-Hati, Selfie Di Bandara Dapat Merusak Liburan Anda
Next articleWarga Indonesia Gondol Kemenangan Pada Kompetisi Peragaan Busana Di Darwin Cup 2023