Nasionalisme di bulan Agustus terasa sedikit berbeda. Karena bulan Kemerdekaan. Dua hari sebelum hari kemerdekaan, tepatnya tanggal 15 Agutus 2023 lalu, saya menghadiri acara peluncuran buku “The Decline and Fall of Republican Afghanistan”. Acara dihelat oleh Whitlam Institute. Buku anyar ini hasil kolaborasi seorang akademisi muda Afghan dengan seorang professor senior Australia.
Acara ini dihadiri oleh komunitas Afghan di Sydney. Ada seorang wanita belia, mahasiswa hukum, dahulunya dia seorang polisi wanita di Afghanistan. Dia terpaksa mengungsi ke Australia karena alasan keamanan. Sambutan singkatnya sangat menyentuh.
Hadir pula Duta Besar Afghanistan untuk Australia, yang tidak tunduk pada Pemerintahan Taliban yang saat ini berkuasa.
Isi buku menceritakan kejatuhan Republik Afghanistan ke tangan Taliban, tepat dua tahun berselang. Rezim ini sangat tidak menghargai hak-hak perempuan dan menindas minoritas. Anak-anak perempuan hanya bisa bersekolah sampai tamat sekolah dasar. Kesempatan perempuan untuk bekerja di luar rumah juga sangat dikekang.
Nuansa kelabu sangat terasa di acara peluncuran buku tersebut. Hadirin didominasi oleh mereka yang terusir dari negerinya, umumnya dari suku Hazara.
Hazara termasuk kelompok empat besar suku di Afghanistan, tetapi minoritas. Jumlahnya sekitar 10%. Tiga suku lainnya adalah Pashtun, suku mayoritas, sekitar separuh penduduk Afghan.
Diikuti oleh suku Tajik, sekitar seperempat. Lalu, ada suku Uzbek, yang berjumlah sekitar 10%.
Tetapi, Hazara adalah minoritas yang mengalami persekusi dan diskriminasi sepanjang sejarah. Umumnya mereka pengikut Syiah. Ini menjadikan mereka menjadi minoritas ganda di negara asalnya. Minoritas secara suku, dan minoritas secara aliran agama di tengah mayoritas pengikut Sunni Islam.
Mayoritas migran asal Afghan di Australia adalah dari suku Hazara. Tampilan fisik orang Hazara mirip dengan Asia Timur. Sedangkan Pastun lebih mirip orang Asia Selatan.
Empat suku besar di Afghanistan ini sulit bersatu. Rasa sebagai orang Afghan atau spirit nasionalisme Afghanistan yang seharusnya bisa mengatasi perbedaan suku dan agama ternyata tidak kuat. Sentimen kesukuan melebihi semangat kebangsaan.
Ini yang membedakan Indonesia dari Afghanistan. Kita memiliki bangunan nasionalisme yang jauh lebih kuat. Nasionalisme bisa mengatasi perbedaan suku dan agama. Nasionalisme menyatukan. Ketika melihat Afghanistan yang terkoyak, saya semakin menghargai nasionalisme kita.
Sebenarnya, banyak persamaan antara Afghanistan dan Indonesia. Sama-sama negara paska kolonial. Batas negarapun merupakan legasi kolonialisme.
Di zaman kolonial, wilayah Afghanistan adalah “buffer-zone” antara Kekaisaran Russia di utara dan Koloni Britania di selatan. Wilayah kekuasaan empire memang sebaiknya jangan berbatasan langsung. Wilayah Indonesia merupakan bekas koloni Belanda di Asia Tenggara. Sesederhana itu. Sama-sama mayoritas Muslim, tetapi kedua negara itu juga sama-sama heterogen.
Bedanya, Indonesia relatif berhasil mengelola keberagaman. Ada Bhinneka Tunggal Ika. Semangat nasionalisme Indonesia menyatukan suku, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda-beda. Kita memiliki konsensus nasional yang bernama Pancasila. Penderitaan bersama dijajah tiga setengah abad ikut berkontribusi menyatukan mereka yang beragam.
Persatuan seperti ini yang tidak ada di Afghanistan. Mereka boleh bangga sebagai petempur tangguh. Mengalahkan Britania di abad ke 19, yang saat itu merupakan empire terkuat seantero jagat. Mereka mengusir Uni Soviet di abad ke 20. Dan terakhir, mereka memulangkan Amerika di abad ke 21.
Sejak lama, Afghanistan disebut sebagai “graveyard of empires”, “unconquered land”. Bangsa yang tidak bisa ditaklukkan oleh kekuatan asing.
Tetapi, setelah berhasil mengalahkan musuh, merekapun saling berperang. Itu yang terjadi setelah mereka berhasil mengusir Soviet di tahun 1989. Sampai saat ini, Afghanistan belum berhasil membangun semangat persatuan. Relatif belum terbentuk yang namanya nasionalisme Afghanistan. Mereka tidak bisa bersatu, tidak bisa berbagi. Tidak bisa menyepakati sesuatu sebagai konsensus bersama.
Melihat dan membaca Afghanistan, saya semakin menghargai Indonesia. Walau kita tak sehebat mereka soal bertempur. Dengan persatuan, Indonesia telah bergerak maju. Kita diperhitungkan.
Afghanistan jalan di tempat, bahkan mundur. Hampir 100% penduduk Afghanistan adalah Muslim, tepatnya 99.7%. Tetapi faktor Islam-pun tidak berhasil menyatukan mereka.
Sama-sama Sunni, suku Pashtun berperang dengan suku Tajik. Sesama Sunni-pun ternyata tidak mampu menyatukan.
Di pagi hari Kamis tanggal 17 Agustus lalu, saya bergegas menembus kemacetan menuju Wisma Indonesia di daerah elit Rose Bay, yang berada di wilayah timur metropolitan Sydney. Hari itu saya mengikuti upacara peringatan kemerdekaan Indonesia. “Hiduplah Indonesia Raya”.
Nasionalisme, atau rasa ke-Indonesian, harus dirawat. “Rasa” itu adalah sebuah imajinasi yang dibangun dan dipelihara bersama-sama. Dan nasionalisme Indonesia adalah salah satu contoh terbaik di negara-negara paska kolonial.
Salah satu buku terbaik soal nasionalisme, Imagined Communities-nya Ben Anderson, menggunakan foto bangsawan Jawa sebagai cover buku. Ini seperti menyiratkan kerelaan suku Jawa, sebagai suku mayoritas, sebagaimana hal-nya Pashtun di Afghanistan, menerima konsep dan imajinasi “Indonesia” sebagai identitas yang menyatukan.
Berselang tiga hari setelah hari kemerdekaan, sengaja saya mengajak keluarga untuk makan malam di “Royal Afghan Restaurant” di pinggiran Sydney. Yang mengantarkan makanan ke meja kami adalah seorang gadis belia Hazara berkerudung hitam.
Sambil menikmati Kabuli Palaw Rice yang otentik dengan ayam tandoori, cerita dan bacaan soal kenestapaan Afghanistan menari-nari di pikiran saya. Dan, saya semakin menghargai nasionalisme Indonesia kita. Sehingga, setiap upaya yang berusaha melemahkan ke-Indonesia-an kita, harus kita lawan.
Tarikh Agustus sudah lewat beberapa hari, namun tidak berarti nasionalisme berhenti. Memasuki bulan September, mari kita lihat apakah “hantu” yang sering dimunculkan, akan kembali bergentayangan di bulan ini. [IM]
Ditulis oleh:
Zulfan Tadjoeddin
Associate Professor in Development Studies,
Western Sydney University