Mukhamad Najib

1192
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


“Saat Ini Pemerintah Sedang Mengerjakan PR-nya Di Bidang Pendidikan Nasional”

Pernah ragu ingin menjadi guru karena bayang-bayang tidak sejahtera, Najib muda mendapat nasihat bijaksana dari sang ibunda. Nasihat inilah yang mengantarnya menjadi seorang pendidik. Kini, pengabdiannya sebagai pendidik kemudian membawanya ke benua Kangguru sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI yang baru. Hmm, tak heranlah beliau menjadi orang yang tepat untuk ditanya kapan siswa internasional asal Indonesia bisa kembali ke Australia. 

Bertemu langsung dengan atase yang belum lama menjabat ini terkesan adem. Tutur bicaranya santai, teratur, dan tidak meledak-ledak. Namun demikian, beliau bisa bercanda juga, meski tertawanya juga tidak membahana. Diakrabi dengan panggilan Pak Najib, atase yang satu ini terhitung masih muda. Beliau lahir di Jakarta, 23 Juni 1976. Menikah di tahun 2002 dengan Farah Fahma, Pak Najib memiliki tiga anak. Meski pembawaannya tenang, beliau mengaku pribadi yang passionate, sederhana, dan terbuka. Nah, untuk mengenal atase pendidikan dan kebudayaan kita yang baru, Indomedia berbincang santai dengan penggemar sayur asem dan tempe penyet ini.

Pak Najib, bagaimana Anda bisa menduduki posisi Atase Pendidikan & Kebudayaan RI di Australia ini? Jadi, pada pertengahan tahun 2020 di kementerian pendidikan dan kebudayaan ada lelang jabatan sebagai atase pendidikan dan kebudayaan (Atdikbud). Waktu itu saya diminta ikut seleksi oleh Rektor saya. Tahapan seleksi cukup panjang, dari mulai seleksi berkas, tes bahasa inggris, tes psikologi, tes kepemimpinan, presentasi program sampai terakhir wawancara.

Alhamdulillah, saya lolos pada setiap tahapan seleksi sampai terakhir wawancara. Saat itu ada beberapa posisi Atdikbud yang kosong, di antaranya Atdikbud di Canberra, Moscow, Seoul, Manila, dan Dilli. Kita sebelumnya sudah menulis surat pernyataan yang isinya jika terpilih maka harus bersedia ditempatkan di mana saja sesuai dengan yang ditentukan oleh kemendikbud. Berdasarkan hasil seleksi dari semua peserta sampai terakhir itu lalu Kemendikbud menempatkan saya ke Canberra. Jadilah sekarang saya sebagai Atdikbud RI di Canberra

Buat Anda, penunjukan sebagai Atase lebih ke profesi atau dedikasi pada Negara? Dan mengapa? Latar belakang saya dosen, Mbak. Profesi saya sebagai pendidik dan peneliti sepenuhnya merupakan bagian dari pengabdian saya pada negara. Jadi, saat saya ditunjuk menjadi Atase Pendidikan di Canberra ini pun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pengabdian saya pada Negara.

Setelah hampir setahun bekerja sebagai Atase, menurut Anda, bagaimana Anda melihat keunggulan sistem Pendidikan di Tanah Air dan sebaliknya? Setiap Negara punya tujuan dan sistem pendidikannya sendiri sendiri, dan masing-masing tentunya memiliki kelebihan dan kekurangannya. Yang terpenting adalah apakah sistem dan proses pendidikan yang dikembangkan itu sesuai dengan tujuan pendidikan nasionalnya.

Sebagai negara maju, tentu Australia memiliki keunggulan dalam sistem pendidikannya. Bahkan, Australia merupakan salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Salah satu keunggulan Australia, sistem pendidikannya memiliki struktur yang dinamis, progresif, di mana lebih mengutamakan partisipasi dan interaksi aktif siswanya dalam proses belajar.

Anak saya yang kedua kebetulan masuk kelas 11 di Canberra. Saya terkejut karena siswa kelas sebelas boleh bebas memilih mata pelajarannya sendiri, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan siswa SMA di Indonesia. Mungkin karena terbiasa mendiri ini, pelajar lulusan sekolah Australia berkembang menjadi individu yang kreatif dan kritis. Kualifikasi seperti inilah mungkin yang membuat lulusan sekolah Australia lebih unggul dalam dunia kerja.

Apakah keunggulan sistem Pendidikan di Australia dapat diterapkan di Indonesia? Jika ya, bagaimana mengimplementasikannya? Saat ini kita mengembangkan kebijakan yang kita sebut Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. Salah satu esensi dari kebijakan ini adalah memberi kebebasan kepada siswa untuk belajar apa saja yang mereka inginkan di luar kompetensi mayor mereka. Jadi, misalnya, mahasiswa program studi Teknik Elektro boleh mengambil sebanyak 20 SKS mata kuliah lain yang sama sekali tidak terkait dengan keteknikan, seperti Humaniora atau ilmu-ilmu sosial. Dengan begitu seorang mahasiwa bisa memiliki kompetensi yang lebih beragam dan komprehensif. Karena memang sekarang jamannya multidisiplin, kita tidak hanya cukup mengetahui bidang kita saja tanpa memahami keterkaitannya dengan bidang-bidang lain.

Dengan kebijakan Merdeka Belajar ini kita mendorong mahasiswa untuk lebih mandiri, kreatif, dan kritis. Saya yakin, di masa yang akan datang kualitas sumber daya manusia kita tidak kalah dengan Australia atau negara maju lainnya.

Apa sajakah tantangan nyata dari sistem Pendidikan di Indonesia saat ini? Tantangan dari pendidikan kita masih cukup banyak. Dari masalah guru hingga infrastruktur. Saat ini masih banyak guru di Indonesia yang hidup di bawah sejahtera. Dari sisi kompetensi juga banyak yang masih perlu ditingkatkan. Dari infrastuktur, kita bisa melihat masih banyak sekolah yang tidak layak baik dari sisi bangunan maupun ketersediaan fasilitas pembelajaran. Tantangan yang tidak kalah penting juga masalah akses pendidikan yang sampai saat ini belum merata, sebagian masyarakat juga masih ada yang menganggap pendidikan tidak terlalu penting sehingga enggan menyekolahkan anaknya. Tapi, bagaimana pun itu bagian dari pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, dan saat ini pemerintah sedang menyelesaikan hal itu.

Bicara tentang tantangan, bagaimana mengatasi tantangan transisi dari profesi dosen menjadi seorang “diplomat”? Salah satu tugas penting saya adalah mengembangkan kerjasama pendidikan dan penelitian dengan lembaga pendidikan dan penelitian di Australia. Sebelum menjadi atase pendidikan, saya pernah menjadi Wakil Dekan bidang kerjasama, sehingga sedikit banyak saya sudah memiliki pengalaman mengenai hal itu, meski dalam konteks yang sedikit berbeda.

Oh ya, ngomong-ngomong, apa saja tugas seorang Atase Pendidikan dan Kebudayaan?
Tugas Atdikbud lumayan banyak, Mbak. Secara umum, Atdikbud bertugas membantu Duta Besar RI di Canberra dalam melaksanakan diplomasi di bidang pendidikan dan kebudayaan sesuai kebijakan umum pemerintah RI. Sementara tugas khusus dari Atdikbud antara lain mengembangkan kerjasama pendidikan dan penelitian dengan sekolah, universitas, dan lembaga penelitian di Australia, mempromosikan budaya dan bahasa Indonesia di masyarakat Australia, melakukan pembinaan kepada karya siswa yang sedang belajar di Australia, dan lain-lain.

Apakah menjadi seorang pendidik sebuah panggilan jiwa? Dan, apa yang menginspirasi Anda menjadi seorang pendidik? Sejak kecil saya sudah tertarik menjadi guru. Saya selalu merasa senang, bahkan antusias, kalau bisa berbagi pengetahuan kepada lebih banyak orang. Saat SMA saya ngajar adik-adik kelas. Tidak dibayar. Tapi, senang rasanya kalau mereka jadi lebih mengerti.

Saya pernah bertekad kuliah di IKIP selepas SMA. Saat kelas 3, ada beberapa tawaran PMDK; dari IKIP Jakarta, dari IPB, dan beberapa perguruan tinggi lain. Setelah berkonsultasi dengan guru-guru di SMA dan orang tua, akhirnya saya putuskan kuliah ke IPB. Dan, perjalanan waktu tidak merubah niatan saya menjadi guru. Jadi, meski saya kuliah di IPB, saya tetap mengajar, saya menjadi asisten dosen untuk beberapa mata kuliah. Saya juga mengajar di beberapa bimbingan belajar.

Tapi, terus terang, waktu itu saya sempat bimbang karena melihat kenyataan menjadi guru waktu itu merupakan profesi yang kurang menjanjikan dari sisi kesejahteraan. Lalu, saya konsultasi dengan orang tua saya. Waktu itu ibu saya bilang, ”Kalau kita melakukan yang terbaik, apa pun itu, menjadi guru atau yang lainnya, kita pasti mendapatkan yang terbaik juga. Lakukan saja yang terbaik yang kamu suka, nggak usah takut nggak punya uang. Rejeki serahkan sama Allah.”

Setelah tamat S1, saya dapat tawaran beasiswa S2. Lalu, saya melanjutkan kuliah di UI. Di UI, saya mendapat tawaran mengajar. Saya pun mengajar di UI sampai tahun 2006. Selain mengajar di UI saya juga mengajar di beberapa kampus swasta di Jakarta. Dari proses itu semua akhirnya saya mantap memilih jalur pendidikan sebagai ruang pengabdian. Saya pun memilih menjadi dosen.

Banyak aspirasi dari pelajar internasional tentang kapan mereka bisa kembali bersekolah di Australia. Pak Najib kira-kira bisa membagikan skema ini, Pak? Lebih-lebih, Indonesia kini dinyatakan level 1 alias sangat terkendali.

Tentang ini memang situasinya masih belum stabil, ya, Mbak, karena memang perkembangan Covid-19 ini juga masih terus terjadi. Munculnya varian-varian baru yang menyebabkan terjadinya gelombang lonjakan baru juga menjadi pertimbangan yang sangat serius dari masing-masing Negara untuk menjaga perbatasannya. Termasuk Australia. 

Mereka sangat ketat menjaga perbatasan untuk menyelamatkan masyarakatnya dari serbuan Covid-19 yang datangnya dari luar, yang dibawa oleh orang-orang asing yang masuk. Oleh karenanya mereka menutup perbatasannya rapat-rapat hampir dua tahun ini.

Beberapa waktu lalu pemerintah Australia sudah melakukan pelonggaran dan sudah mulai membuka kembali perbatasannya. Kewajiban karantina sudah dicabut, dan mahasiswa sudah diperkenankan untuk masuk Australia pada tanggal 1 Desember 2021. Tapi, kemarin terdeteksi adanya varian baru Omicron, sehingga pemerintah Australia menunda pembukaan pintu masuk dari tanggal 1 ke tanggal 15 Desember.

Di sini kita bisa melihat betapa situasinya masih penuh ketidakpastian, sehingga kita juga tidak bisa memastikan kapan mahasiswa akan benar-benar dapat kembali ke Australia. Saran saya agar mahasiswa selalu update dengan perkembangan, sering-seringlah kontak international office di kampus masing-masing untuk mendapatkan informasi-informasi terbaru berkaitan dengan pengaturan kedatangan mahasiswa ke Australia.

Selama hampir dua tahun pandemi, banyak guru dan mahasiswa/pelajar yang “burnt-out” belajar sistem daring. Apakah kualitas belajar-mengajar menjadi turun, dan pada akhirnya berimbas pada kualitas pelajar/mahasiswa Indonesia? Setiap perubahan situasi tentu melahirkan tantangannya sendiri-sendiri. Tapi, saya selalu yakin kita ini manusia yang cepat belajar, cepat menyesuaikan diri dengan keadaan. Guru dan pelajar di Indonesia cukup cepat beradaptasi dengan keadaan, malah dengan Covid-19 ini terjadi banyak sekali percepatan. 

Contohnya, kampus-kampus di Indonesia sudah lama merencanakan pembelajaran daring, terlebih dengan hadirnya revolusi industri 4.0., tapi sulit sekali terealisasi. Namun, dengan adanya Covid-19, rencana itu mengalami percepatan. Yang tadinya kampus masih berpikir “nanti”, tiba-tiba dipaksa harus hari ini juga bertransformasi. Saya perhatikan, ternyata kita mampu melakukan transformasi digital yang cukup cepat.

Memang harus diakui bahwa infrastruktur teknologi dan jaringan di Indonesia belumlah merata secara sempurna, sehingga masih banyak sekolah yang kesulitan beradaptasi dengan pembelajaran daring. Sehingga ada sekolah-sekolah yang siswanya tidak bisa belajar secara optimal karena gurunya hanya memberikan tugas mandiri tanpa adanya interaksi daring secara synchronous.

Tidak adanya interaksi daring secara synchronous ini umumnya disebabkan karena keterbatasan sarana prasarana yang dimiliki baik oleh guru maupun siswa. Situasi yang seperti ini tentu akan berpotensi mengurangi kualitas hasil pembelajaran karena memang kualitas prosesnya tidak terpenuhi.

Kalau ada, bisakah Bapak membagikan kesan dan pengalaman Bapak sendiri dalam mengajar secara daring? Buat saya, mengajar secara daring ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya, saya bisa menjangkau mahasiswa saya di mana pun ia berada; kelas saya menjadi lebih besar karena tidak terbatas oleh kuota ruangan. Bahkan, pernah saya mengajar, mahasiswanya dari berbagai wilayah di Indonesia. Seakan teknologi ini telah mengubur jarak, kita bisa belajar dan mengajar di mana saja.

Kekurangannya tentu ada. Salah satunya kita tidak bisa sepenuhnya mengetahui keadaan kelas dan mahasiswa secara langsung. Saat mereka tutup kamera dengan alasan jaringan yang tidak stabil, maka kita sudah tidak bisa lagi mengetahui apakah mereka bisa sepenuhnya menangkap dan memahami apa yang sedang dijelaskan. Selain itu, bagaimanapun kita ini masih manusia yang membutuhkan interaksi langsung tanpa screen. 

Di ruang kelas, kita bisa sharing energy dengan lebih baik. Melalui screen, rasanya seperti ada yang kurang. Mungkin, itu karena saya termasuk dalam generasi digital migrant yang masih harus terus beradaptasi dengan dunia digital. Tapi, bagi mereka generasi digital native mungkin akan lain lagi ceritanya. Mereka mungkin justru lebih menikmati proses pembelajaran secara daring.

Terakhir, kegiatan budaya apa sajakah yang dimiliki Atase Pendidikan & Kebudayaan Indonesia di Australia yang melibatkan komunitas Indonesia di Australia? Banyak sekali kegiatan budaya yang melibatkan masyarakat. Kita punya grup gamelan Jawa & gamelan Bali yang melibatkan masyarakat. Ada juga berbagai event kebudayaan rutin, seperti penampilan-penampilan seni dan budaya pada berbagai festival yang ada di masing-masing state di Australia. 

Di Canberra juga ada grup tari-tarian daerah yang ke depannya akan kita ciptakan panggung-panggungnya di KBRI secara berkala. Tentu kita sangat mendorong partisipasi seluruh masyarakat Indonesia dan pencinta Indonesia untuk sama-sama mempromosikan budaya Indonesia di Australia. Kita yakin melalui budaya ini kita bisa menciptakan hubungan persahabatan yang baik antara Indonesia dan Australia, karena budaya sesungguhnya bahasa universal yang dapat dinikmati bersama. [IM]

Previous articleAnnual General Meeting IBC Australia
Next articlePesan Dari Menteri Multikulturalisme NSW