Morgan Theodore Boen: A Story of Passion & the Power of Family

429
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Apa yang dipelajarinya sebagai orang muda keturunan Indonesia dari budayanya? Dan, apa pula give back yang ingin ia berikan kepada keluarga Indonesianya?
Baru menapaki usia 26, Morgan telah menggapai banyak pengalaman yang bervariasi; pertukaran pelajar di Amerika, mengikuti bible college, bekerja di gerejanya sebagai salah satu intern, dan memiliki sebuah kafe bernama  Envoy bersama orang tuanya.

Keluarga Morgan pindah ke Australia saat dia baru berusia dua tahun untuk mencari kualitas kehidupan yang lebih baik. Kini, walaupun Morgan berkewarganegaraan Australia, hubungan dengan keluarganya di Indonesia tak pupus. Bagi Morgan, Indonesia adalah bagian yang besar dan penting dari kepribadiannya yang tidak akan bisa dihapus. Kenalan, yuk, dengan Morgan.

Hi Morgan! Aku sudah sering banget mengunjungi kafe Envoy yang terletak di tengah kota Sydney, dan kelihatannya sukses banget! Apa yang membuat keluargamu terjun ke dalam dunia ini?
Ketika kami pertama kali pindah ke Sydney, papaku mencari-cari peluang kerja. Namun, waktu itu lumayan susah untuk dapat pekerjaan. Sedangkan setelah mengasuhku selama beberapa tahun, mama juga kesulitan memasuki dunia kerja lagi. Setelah bekerja di bidang lain, tahun 2006, mereka membeli franchise Michel’s Patisserie di Eastwood, dan mulailah bisnis mereka di hospitality industry. Pada saat itu, Michel’s Patisserie memang sedang berkembang banget dan orang tuaku ingin mengirimku ke Sydney Grammar, sebuah sekolah swasta yang nggak murah juga. Jadi, it was a good opportunity for them.

Walaupun kamu dibesarkan di Sydney, apakah kamu mengetahui banyak hal tentang Indonesia? Apakah ada hal-hal yang you wish you had known more about?
Kebanyakan, kenanganku masa kecilku adalah tentang Australia. Tapi, kami sekeluarga masih sering balik ke Indo, biasanya setahun sekali. Setiap kali kami stay di sana cukup lama, setidaknya satu bulan dan paling lama dua bulan. Jadi, rasanya, sih, masih connected banget sama Indo. Kayaknya aku mengenal Indo dari sisi pandang keluargaku daripada seorang anak yang masih kecil. Dari sisi budaya, aku masih mengenal Indo. Tapi, mungkin dari sisi politik atau sejarahnya, I wish dulu bisa mengetahui lebih banyak lagi.

Apa yang paling unik mengenai budaya Indonesia?
Kayaknya, salah satunya adalah orang Indonesia sangat emosional, dan ini bukan hal yang buruk. Kayak, ketika merasakan sesuatu, kita merasakannya sangat kuat, we feel things very deeply.
Dan, perasaan adalah salah satu elemen yang penting ketika membuat keputusan. Sepertinya, semua orang Indo yang aku pernah ketemu, termasuk yang lahir dan besar di Australia, memiliki sisi emosional yang dalam, dan aku related banget dengan sisi ini.

Selain itu, menurutku, orang Indo juga sangat entrepreneurial, memiliki sisi kewirausahaan yang kuat banget. Keluargaku di Indo, kayak kakek-nenekku dari kedua sisi mama papa, semuanya memiliki bisnis sendiri, dan ini juga sesuatu yang aku bisa relate to banget.

Menurutku, orang Indo kreatif banget dan berani. Dalam suasana ekonomi yang masih berkembang dan belum sestabil, contohnya Amerika atau Australia, banyak dari mereka berani untuk membuka bisnis sendiri dan belajar sambil bekerja, walaupun mungkin tingkat edukasinya nggak setinggi tempat-tempat lain. Menurutku, itu keren banget, sih.

Entrepreneurial tenacity atau kayak kegigihan kewirausahaan yang dimiliki orang Indo itu beda banget, sih. Mungkin karena dari awalnya hidup di Indo nggak segampang di Australia, dan ketika membangun bisnis baru, kita benar-benar kerja keras biar bisnisnya berhasil.

I love the way you described it: entrepreneurial tenacity. Menurutmu, apa yang paling menonjol dalam perkembangan Indonesia selama tahun-tahun terakhir ini?
Dalam 8 tahun terakhir ini, menurutku, Indonesia berkembang banyak banget, sampai bisa dianggap sebagai salah satu pemimpin dalam ekonomi di wilayah Southeast Asia. Ketika balik Jakarta bulan Maret kemarin, banyak banget yang berubah; gedung-gedung baru, jumlah skyscrapers telah meningkat, dan bahkan sedang bangun MRT juga.

And, I feel proud of that, that our people are starting to move in that direction. Dulu, aku sempat merasa agak kecewa kenapa Indo belum berkembang secepat negara-negara di sekitar kita. Kayak banyak temen-temenku di Australia atau di Sydney kalau berpikir tentang Southeast Asia, ingatnya langsung Malaysia, Singapura, Thailand atau Vietnam dulu sebelum Indonesia. Dan, aku selalu berpikir aneh banget, soalnya Indonesia adalah negara yang paling besar di kawasan ini.

Jadi, ya, walaupun I wish Indonesia telah berkembang lebih cepat sebelumnya, aku tetap bangga banget sekarang bahwa Indonesia sudah berkembang begitu banyak, dan aku merasa cautiously optimistic tentang masa depan Indonesia yang tergantung oleh kepemimpinan kita.

Iya, setuju, aku inget pas aku baru mulai kuliah di Sydney, seringkali orang-orang tebak aku dari Malaysia atau Singapura dulu, dan jarang yang sampai terpikir Indonesia. Tetapi, bangga banget sekarang Indonesia layak banget dipanggil sebagai salah satu pemimpin dalam ekonomi Southeast Asia. Nah, kita kan udah diskusi panjang lebar tentang Indonesia, tetapi yang paling penting belum ditanya… Apa makanan Indonesia favoritmu?
Martabak! Yang pasti martabak, pakai coklat dan wijen. OMG! Menurutku, martabak adalah invention paling hebat oleh orang Indonesia. Aku nggak terlalu suka keju dalam martabakku (mungkin aku udah terlalu westernized kali, ya?). Coklat dan wijen. The best.

Hahaha setuju banget martabak. Hanya saja aku sukanya yang pakai keju. Dari sisi pribadi, kamu pernah mention bahwa pada tahun-tahun terakhir ini, kamu banyak berjuang dalam perkembangan karakter diri sendiri. Bisakah ceritakan sedikit tentang itu?
Ya, tentunya. Belakangan ini, aku menyadari sekali bahwa emotional maturity-ku, sejujurnya, nggak terlalu mature. Aku awalnya start on the backfoot karena orang tuaku juga start on the backfoot, dan itu bukan salah mereka, karena di Indonesia memang nggak banyak edukasi tentang sisi emosional kita. Jadi, walaupun mereka mengajarkanku segala yang mereka tahu, inilah satu hal yang aku perlu belajar sendiri dan grow out of those things untuk membantu keluargaku.

Aku berharap banget bisa membawa mereka ikut denganku. Bahkan, seperti keluargaku di Indo yang nggak dapet edukasi tentang hal-hal seperti itu, semoga aku bisa give back to them dan memberikan mereka skill dalam personal leadership dan emotional maturity yang bisa sangat membantu kita semua. 

It’s so cool mendengarkan bagaimana ayahmu membawa kalian sekeluarga ke Australia untuk memberikan kalian kehidupan yang lebih baik, dan akibatnya, kamu dapat belajar banyak hal yang mereka nggak bisa dapet di Indo, dan menggunakannya untuk menghargai dan mengembangkan kehidupan mereka juga! Dari semua hal yang orang tuamu ajarkan padamu, apa satu hal yang paling kamu appreciate dari semuanya?
The strength that family provides. Orang tuaku selalu mengajarkanku bahwa keluarga adalah suatu kekuatan bukan kelemahan. We’re stronger together than we are alone. Seperti bisnis kafe ini saja, jauh lebih gampang ketika kita kerjasama sebagai satu keluarga. Jujur, di budaya Barat, indepence antar-anggota keluarga itu umum banget, yang menurutku hal itu nggak bermanfaat and I don’t even think it’s the right way to go.

Menurutku, dalam hal itu, Indonesia melakukannya jauh lebih baik daripada Australia. Aku grateful banget bisa mengalami bagaimana anak-anak pun dibesarkan oleh satu keluarga besar termasuk kakek, nenek, om, tante. Ketika aku balik ke Indo, nggak ada yang dipanggil extended family. Semuanya adalah keluarga dan kami semua dekat.

Wow, that’s so inspiring. Morgan, pada saat ini, selain menjalani Envoy bersama orang tuamu, kamu juga sedang melakukan internship bersama gerejamu. Kedua ini terlihat beda banget, apa yang membuatmu memilih kedua bidang ini dan apakah ada sesuatu yang menghubungkan keduanya?
Ya, jadi dari dulu aku memang ingin bekerja dalam ministry di gereja. Setelah lulus kuliah, aku mengambil jurusan di Hillsong College. Pada waktu itu alasannya sebenarnya setengah karena masih ingin punya social life di luar dunia kerja, setengahnya lagi karena musik adalah bagian besar di hidupku.

Pengalaman itu membuatku belajar bagaimana bekerjasama dengan orang-orang atau sistem dan menjadi seorang yang berkontribusi baik walaupun aku nggak selalu setuju atau sependapat dengan cara kerja mereka. Juga, belajar untuk tetap menjadi diriku yang autentik. Aku belajar banyak banget tentang kepemimpinan dan organisasi. Jadi, aku sekarang kerja dengan gerejaku, Wesley International Congregation. Tepatnya di Young Adults Ministry (YAM), yang memang sesuatu yang aku ingin lakukan. Demikian juga dengan kafe kami, it has also been something I’ve always wanted to do.

Hubungan keduanya apa, ya? Dipikiranku, keduanya adalah hal yang sama, walaupun memang terlihat sangat berbeda. Bagiku, baik YAM maupun Envoy adalah tempat aku bisa memberikan value bagi orang lain. Di YAM, value yang paling berharga adalah membantu membangun hubungan dengan Yesus. Di Envoy, memberkati customer kami dengan hal simpel, sesimpel membuat kopi yang berkualitas tinggi yang bisa dinikmati. Di kedua pekerjaan ini, aku bisa menjalani kreativitas dalam menimbulkan ide-ide baru dan menjalankannya. 

Apa satu hal yang kamu belajar dalam mencari keseimbangan di antara kedua pekerjaanmu?
Istirahat itu penting banget, karena  memprioritaskan waktu untuk recovery dan pentingnya memiliki hari istirahat, hari Sabbath. Aku pernah baca sebuah buku judulnya “Why We Sleep” oleh Matthew Walker, dan dia menjelaskan bahwa ketika kita bergadang, pikirnya kita sangat produktif dan menyelesaikan banyak hal. Tapi, sebenarnya udah nggak efektif. Sebaiknya, kita bisa mengatakan, “Aku akan tidur sekarang” dan ketika bangun lagi, kita menjadi lebih produktif karena otak kita sudah lebih segar.

What has been the biggest teacher dalam kreativitas dan ketangguhan (resilience) dalam hidupmu?
The biggest teacher of creativity has been limitations. Kalau nggak ada batasan, you can’t think outside of the box. Batasan memaksa kita untuk kreatif dalam menggunakan materi yang kita punya.

Dari sisi ketangguhan, the biggest teacher adalah musim-musim yang sulit, yang penuh dengan kegelisahan dan ketidakpastian. Menurutku, musim-musim itu adalah slingshot bukan roadblock di kehidupan kita. Seringkali, hanya persepsi kita yang membuatnya jadi sebuah roadblock walaupun sebenarnya adalah sebuah slingshot untuk mengembangkan karakter dan ketangguhan kita.

Aku belajar selama tahun ini bekerja untuk gereja. Banyak hal yang sulit dan nggak berjalan sesuai dengan rencana, tetapi dalam semua itu Tuhan selalu ada dan kita hanyalah mengikuti rencana-Nya. Jadi, hal itu membuatku merasa lebih tangguh dan ulet karena pressure-nya bukan di aku melainkan di tangan Tuhan. Aku bisa percaya Dia akan selalu memeliharaku. [IM]

Envoy Café

Address: Ground Floor/511 Kent St, Sydney NSW 2000
Website: www.envoycafe.com.au
Instagram: @envoycafe
Previous articleKesempatan Terbuka bagi WNI di NSW, QLD, dan SA untuk Berpartisipasi sebagai Anggota KPPSLN
Next articleAntonius Auwyang: Sang Juara dari Jayapura, Pengusaha Ekspor-Impor di Australia