FIDI SJAMSOEDIN: Arsitektur Inovasi Sababay

782
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Sababay adalah merek wine Indonesia yang diproduksi di Teluk Saba, Bali, dan berusia hampir satu dekade. Sababay menjadi pilihan terbaik kaum muda karena konsisten
dengan cita rasa kelas dunia. Di balik merek ini ada seorang arsitektur inovasi merek
yang mampu merancang dan mengeksekusi strategi masa depan. Dia adalah Fidi Sjamsoedin, seorang praktisi pemasaran dunia yang sangat inspiratif, kreatif,
dan solutif. Aldo Sianturi menggali sepak terjangnya.

Sejak kapan Anda bergabung dengan Sababay Winery?

Saya bergabung sejak tahun 2017 dan memutuskan untuk menjadi konsultan terlebih dahulu. Pada saat diminta bergabung, sebenarnya saya sudah punya rencana untuk career-break. Ketika kembali ke Indonesia pada akhir tahun 2016, rasanya saya membutuhkan sedikit jeda setelah sepuluh tahun melanglang buana cukup lama di luar negeri. Sebelumnya saya bekerja di Diageo, global brand leader minuman beralkohol. Posisi terakhir saya di sana adalah sebagai Consumer, Shopper, & Market Planning Manager yang mengelola proyek penting untuk distribusi Duty Free serta pasar
domestik Timur Tengah & Afrika Utara, seperti UEA dan Lebanon.

Posisi Anda di Sababay terdengar asing bagi saya, kenapa inovasi dipertegas
di posisi itu?

Di sana, saya bekerja sebagai Marketing and Innovation Director. Innovation adalah
salah satu growth driver dari perusahaan. Brand tidak boleh dibiarkan pasif dan stagnan, karena akan mengakibatkan segalanya menjadi tidak dinamis. Yang membuat brand itu selalu hidup, selalu engaged, adalah melalui inovasi, bisa dari segi produk, komunikasi, packaging, dan aplikasi marketing. So that’s the innovation is all about. Basically,
role saya adalah sebagai director. Ke mana arah Sababay lima tahun ke depan,
tentunya, strateginya datang dari tanggung jawab saya.

Berapa lama Anda menjadi konsultan Sababay dan apa saja yang Anda lakukan?

Tidak lama, hanya 2 bulan. Saya mencoba untuk memahami segala aspek brand tersebut, dari hulu ke hilir. Of course, I have to know everything; siapa target market-nya, apa brand purpose-nya, bagaimana perceived quality, dan brand personalities-nya di mata konsumen, seperti apa produknya, dan apa saja ekspektasi yang ingin dijangkau.
I always do that.

Saya langsung bergerak dengan melakukan wawancara dengan semua key people
di Sababay. Saya juga mencoba produknya versus semua paparan yang disampaikan sebelumnya. Saya melakukan hal tersebut untuk menggali fakta yang detail, kemudian menganalisanya untuk mengetahui potensi ke depan. Karena pada awalnya, Sababay menargetkan produknya untuk wine drinker, orang yang sudah terbiasa mengonsumsi wine, pretty much connossieur, yang sudah tahu betul seluk beluk wine.

Seperti apa kesimpulan Anda atas arah pasar yang dituju oleh
Sababay pada saat Anda baru bergabung?

Sababay memberi saya kesempatan untuk merealisasikan banyak temuan yang saya seriusi. The way of doing it adalah dengan membangun brand-nya. Sababay membangun winery pada tahun 2010. Produknya mulai dijual pada tahun 2014 dan 2017 mulai booming. Sejujurnya, saya telah memberikan seluruh jiwa dan inovasi baru kepada produknya yang jauh terlihat lebih menarik. Saya telah merubah target marketnya seradikal mungkin.

When you look at innovation, you have to see the market size. Target kompetisi yang
saya tetapkan adalah bukan hanya kepada pasar wine drinker yang sudah ada, tetapi kepada siapa pun yang bukan peminum alkohol. Saya paham untuk menjangkau target itu tentunya harus bertahap. Saya melihat market opportunity, di mana pada saat itu ceruk pasar milenial sedang dibicarakan secara luas. Pada masa silam, target utama penjualan Sababay adalah kepada pasar turis di Bali di mana dua pemain lain juga berasal dari sana. Kami berpikir keras untuk mengantisipasi hal-hal di luar kemampuan, seperti bencana alam dan pandemi yang kita sedang hadapi bersama.

Analisa saya menyanggah argumentasi internal dengan mempertimbangkan banyak faktor penting lainnya yang terlewatkan. Kemudian kami memutuskan terlebih dahulu untuk melebarkan konsentrasi pengembangan ke pasar Indonesia dengan prinsip yang sederhana dari COO Yonathan Handoyo, yaitu “Local Wine, Local Taste, and Local Wallet”. Saya merasa sangat sejalan dengan target tersebut dan berusaha untuk langsung melakukan testing pada sebuah event anak muda Blibli Fun Festival (BFF) di Eco Park, Ancol,
Jakarta, 8-9 April 2017, di mana ada dua brand minuman alkohol besar yang bersanding berdampingan.

Ketika menerima laporan penjualan setelah festivalnya usai, Sababay memiliki angka penjualan tertinggi selama event berjalan. Pencapaian ini lantas kami sikapi sebagai parameter awal yang tepat untuk lebih serius menggarap ceruk pasar milenial.
BOD kami pun memberikan keleluasaan untuk berbagai perubahan. Titik tersebut kami mulai dari penggarapan packaging, menciptakan korelasi antar semua varian yang ada. Kenapa brand ini lahir adalah sebuah hal yang menjadi begitu penting untuk diangkat
ke dalam semangat perubahan. What is the brand purpose?

Selanjutnya, langkah apa saja yang Anda lakukan dalam mencari
brand purpose dari Sababay?

Saat itu saya belum memiliki kompas yang jernih untuk mengetahuinya. Saya berinisiatif untuk melakukan wawancara dengan Ibu Mulyati Gozali (Founder Sababay) di sebuah
akhir pekan di Bali. Pertemuan itu sangat penting karena saya harus segera memastikan brand purpose yang relate dengan target market. Akhirnya, saya bisa menyimpulkan bahwa beliau ingin menginspirasi kaum muda melalui passion-nya untuk meningkatkan agrobisnis sehingga dikenal dan diapresiasi di mata dunia. Intinya adalah untuk membangun Indonesia dan ambisi kami adalah menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Maka, saya mulai menciptakan debut strategi komunikasi melalui kampanye bertajuk
“WE-Indonesia” dalam mewujudkan tujuan merek Sababay. Melalui kampanye bertagar #WEIndonesia ini, kesadaran, persepsi dan relevansi konsumen atas merek Sababay meningkat secara signifikan. Untuk menunjang movement, kami pernah membuat film pendek secara in-house yang tidak berbicara tentang wine sama sekali, tetapi Indonesia. Kami boost konten itu sebagai advertisement di Instagram dengan target 20,000 viewers. Dalam 10 hari, sempat viral dan dilihat sebanyak 14,000 kali, tapi karena sesuatu hal,
film itu tidak menjadi permanen di medium tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, kami juga bekerjasama dengan Adhika Prakoso, seorang tuna rungu yang mengejar passion-nya dan berhasil meraih gelar sarjana Desain Grafis. Kami memproduksi karya desain Adhika melalui notebooksederhana yang menjadi GWP (Goods With Product) pada setiap pembelian sebotol Sababay. Mungkin notebook ITU dianggap tidak ada value-nya, tetapi melalui strategi komunikasi online di Instagram, narasi tersebut direspon positif bahkan jauh di luar ekspektasi. Kaum muda merasa penting untuk memiliki buku tersebut.

Situasi tersebut menunjukkan bahwa “authenticity” dinilai begitu sakral oleh kaum milenial. Poin itu lantas menjadi key insight bagi kami dalam mencari relevansi lain yang lebih luas atas kampanye #WEIndonesia. Kami pun bersinergi dengan beberapa Chef Muda untuk masakan Indonesia melalui event Gastronomi Indonesia. Sababay sangat cocok untuk
food pairing dan diakui banyak konsumer. Kegiatan ini terus kami jalani karena punya kontribusi besar kepada brand story Sababay.

Selama 2 tahun terakhir, banyak sekali anak muda yang mulai menunjukkan kedekatan mereka dengan produk Sababay di medium media sosial.
Apakah ada skenario komunikasi yang dilakukan Sababay?

The key is bringing brand to live. Itu artinya kami telah memperkenalkan produk, mengedukasi pasar, menetapkan harga, mempromosikan semuanya dengan benar.
Setelah menemukan brand purpose, saya mulai mengolah sisi packagingdengan mengimprovisasi label. Terus terang, labelnya unik karena memilki 3 key brand
assets,
yaitu Burung Jalak Bali, Sababay, dan Batik Corak Bali.

Apakah pengalaman kerja sebelumnya memudahkan Anda untuk memahami Sababay?

Benar sekali, pengalaman sebelumnya sangat berguna untuk menjawab begitu banyak pertanyaan dalam mengenali produk wine. Is it easy to drink? Is it easy for conosieur
to accept
? Karena kita harus melihat dari persepsi konsumer sendiri. Kita paham produk wine impor pada dasarnya selalu lebih baik mutunya di mata konsumer daripada brand winelokal. Dari aspek ini, artinya kita harus sudah bisa mengelola ekspektasi semua
narasi yang dirancang. Apakah mimpinya terlalu tinggi atau realistis?

Saya selalu membaca hasil riset yang ada, melihat tren dari semua paparan yang terkumpul setiap hari. Something not matched to me. Pada saat saya mempresentasikan analisa saya, sepertinya mereka, menangkap semua poin yang disampaikan ditambah dengan mempertimbangkan pengalaman. Pengalaman adalah nilai tersendiri dan bekerja
di luar negeri telah membentuk saya memiliki cara berpikir yang struktural. Saya mengarahkan untuk menghindari keputusan yang bersifat subjektif, like or dislike.
Kita harus memahami analisa dan implikasi yang akan terjadi dan di-drive ke insight.

Elemennya lalu apa? Nah, setelah itu saya menciptakan Brand Architect-nya melalui seri produk yang dikenal dengan Velvet, Reserve, Sparkling, Premium. Velvet series adalah entry level, yang paling ringan untuk dikonsumsi dan dengan harga paling murah serta dibubuhkan personality, seperti adventourer dan casual. Kemudian, hubungannya dengan occasion diterjemahkan dalam komunikasinya mulai dari warna dan aspek yang lain. Selanjutnya, perubahan juga harus terjadi pada Reserve series yang harus dipertahankan simple.

Labelnya menjadi sangat menarik setelah sidik jari Founder Sababay disematkan secara samar pada gambar burung Jalak Bali. Hal itu dilakukan untuk mengedepankan “Passion” yang berada di atas segalanya, karena brand ini lahir atas ketetapan hati dan komitmen dari beliau. Perubahan pada label adalah starting point dan secara paralel, kami juga mengimprovisasi kualitas rasa. Setelah kami melansir label baru di tahun 2017, animo konsumer terhadap Sababay mendadak sangat tinggi sehingga pernah di suatu waktu
kami mengalami out-of-stock. Di tahun 2018, kami pun merubah banyak hal mulai dari botol dan menambah jenis baru.

Sababay telah memiliki kekuatan dari sisi Portfolio, Segmentasi, dan Occasion. What’s next?

Sekarang kami sedang membangun Sababay Distilery. Keputusan ini berhubungan
erat dengan volume produksi yang meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, kami hanya membina 17 petani anggur dan sekarang berlipat ganda
menjadi 80 petani. Jika produksi anggur membesar dan kualitas pasar semakin bagus, yang terjadi adalah volume anggur akan banyak. Itulah kenapa kami di awal tahun 2020 masuk ke pasar spirit dengan merilis line baru, yaitu Grappa.

Setiap generasi menjadi saksi melihat produk minuman alkohol dunia tidak pernah berubah label dari awal. Bagaimana dengan Sababay? Apakah dalam jangka tertentu kalian akan berulang kali melakukan perubahan pada label?

Good question! Tidak, as much as possible, kami akan konsisten dengan label terkini. Inovasi yang selalu akan kami lakukan bukan pada label melainkan pada produk.
Kami sedang berusaha untuk menciptakan produk-produk atraktif yang mengikuti
tren konsumer, tren industri, tren retail, dan sebagainya.

Bagaimana Anda menyikapi antusiasme pebisnis baru yang juga
ingin masuk ke pasar wine lokal?

Tertutupnya lisensi produksi baru minuman beralkohol secara tidak langsung menguntungkan posisi kami. Namun, ada data menarik yang sebenarnya selalu
terbuka untuk kesempatan bekerjasama dengan Sababay. Waktu kami belum lahir,
95% market share diambil oleh imported wine. Namun, berdasarkan data dari IWSR (International Wine Spirit Report), pada 2 tahun lalu, 28% sudah menjadi volume share-nya produk lokal dari statistik sebelumnya yang hanya sebesar 5%.

Artinya, setelah kami lahir, kami drive quality perception, teman-teman kami juga meningkatkan kualitas mereka dan kami bisa juga menjadi tuan rumah. Apakah kami akan berhenti di angka 28% itu? No, we are not happy. Kita mau menjadi raja di negara sendiri. Kami bercita-cita meraih angka 60% atas produk lokal. How? Tergantung siapa saja yang tertarik. Kami bisa buatkan brand-nya dan diproduksi oleh Sababay. We don’t mind. [IM]

@2020/AldoSianturi/Photo: @gungarya

(Aldo Sianturi adalah seorang entrepreneur, consultant dan business leader dengan pengalaman lebih dari 25 tahun di industri musik dan entertainment)

Artikel ini telah diubah dan dikurangi dari artikel aslinya untuk kepentingan pemuatan
di Indomedia.

Previous articleApresiasi Kepada Para Guru, Konjen Ri Sydney Dorong Penguatan Promosi Bahasa Indonesia
Next articleSnoppa Atom 2