Seperti apa kehidupan seorang Duta Besar? Yang Mulia Duta Besar Kristiarto Legowo membuka kehidupan kecilnya, kehidupan pribadinya dengan keluarganya yang hangat, juga suka duka menjadi pengayom seluruh warga +62 di Benua Kangguru.
Si Bungsu dalam Keluarga Besar
Pak Kris lahir di Magelang, 27 Desember 1962. Dua hari setelah Natal dan empat hari menjelang pergantian tahun. Beliau diberi nama lengkap Yohanes Kristiarto Soeryo Legowo. Orang tuanya membesarkan beliau dan kesembilan saudaranya dalam keluarga sederhana. Pak Kris adalah si bungsu di tengah keluarga besarnya.
Apakah Pak Kris nakal semasa kecil? “Saya tidak bisa mengatakan nakal atau tidak.
Kalau pun nakal, saya kira kenakalan itu masih dalam koridor kenakalan yang sehat,
dan hal itu merupakan bagian pertumbuhan yang sehat pula. Seperti anak-anak lain saya juga main sepak bola atau permainan apa yang dilakukan teman-teman pada masa itu.”
Mengenang ayahnya, Pak Kris menuliskannya dengan penuh hormat dan kagum yang mendalam. ‘Ayah saya seorang guru, yang berkomitmen besar dalam mendidik anak bangsa. Saya sangat mengagumi beliau, khususnya dalam mempersiapkan para muridnya guna menyambut masa depan. Beliau tidak saja memperkaya para murid dengan ilmu pengetahuan, tetapi yang lebih utama lagi, mempersiapkan mereka to become a better person.”
Nilai-nilai luhur itulah yang kemudian Pak Kris hidupkan kembali saat dewasa.
Ia menjadikannya sebagai pegangan, yaitu bahwa kehadiran kita harus bisa menjadi berkat atau rahmat bagi orang sekitar kita. “Itulah yang senantiasa saya pasti lakukan ketika tumbuh bersama orang-orang di lingkungan saya.”
Menjadi Sahabat Anak
Pak Kris Legowo menikah dengan Maria Caecilia Soeharli di bulan Februari 1994.
Keduanya menjadi orang tua bagi ketiga putra-putri mereka yang sehat dan manis. Ketiganya, Dileta Legowo, Alba Legowo, dan Prabu Legowo, kini telah beranjak dewasa.
Sebagai seorang ayah, Pak Kris memiliki tugas “parenting” mempersiapkan ketiga anaknya menjadi pribadi yang mandiri. Tak hanya itu, “Saya juga menempatkan diri sebagai sahabat bagi mereka, sehingga saya dapat menjalin hubungan terbuka dengan mereka. Dengan demikian tidak ada gap atau jarak yang terkait dengan gaya hidup, pandangan, dan pemahaman akan sebuah masalah. Hasilnya, hal-hal yang dapat menimbulkan ketegangan orang tua-anak dapat diatasi.”
Bagi keluarga Legowo, waktu berkualitas biasanya dilewatkan pada saat makan bersama, seperti makan siang atau makan malam, beribadah bersama, dan bermain musik bersama. Kebetulan, Alba dan Prabu mempunyai hobi bermain musik, sama seperti ayahnya. Buat Pak Kris, “Momen-momen seperti inilah yang bisa mendekatkan saya dan istri, termasuk dengan anak-anak semua.”
Bagi ketiga putra-putrinya, Pak Kris dan Ibu Maria Caecilia adalah orang tua yang sangat dihormati. Namun demikian, dalam banyak situasi, mereka tidak segan meminta pendapat dan nasihat. Pasangan Legowo ini sukses membuat anak-anak mereka melihat sosok orang tua sebagai sahabat. “Sehingga mereka tanpa segan dapat mengutarakan apa saja termasuk unek-unek yang lazim dimiliki anak muda.”
Gaya Hidup Aktif, Film Asia, dan Musik Jadul
Saya sangat menyukai olah raga; jalan pagi, tenis, dan golf. Untuk jalan kaki dan tenis, sedapat mungkin saya lakukan tiga kali seminggu. Di masa normal, sebelum pandemik, saya main golf sekali seminggu.
Selain gemar hidup aktif, Pak Kris ternyata penyuka film Asia, khususnya Indonesia, China, Korea dan India. Menurut beliau, film-film dari negara tetangga tersebut banyak membawa ajaran/filosofi yang dapat dijadikan referensi. Selain itu, Pak Kris juga sangat menyukai dengan musik jadul (jaman dulu) seperti Elvis Presley, Tom Jones, Bee Gees, dll. “Saya juga termasuk penyuka musik jadul Indonesia, seperti Koes Plus, Pambers, Trio Bimbo, Broery Marantika, dll.
INDOMEDIA dapat “bocoran” kalau Pak Kris ini tak hanya suka menikmati musik, lho, tapi, beliau juga jago bermain berbagai alat musik! Sejak kapan, nih, belajarnya? “Saya sangat suka bermain gitar, yang saya sudah pelajari sejak SD. Saya juga senang bermain piano dan keyboard. Musik bagi saya tidak saja menjadi sarana hiburan, tetapi lebih dari itu dapat menjadi terapi dari ketegangan dan kepenatan setelah pulang dari kerja.” Selain menjadi sarana hiburan dan pelepas penat, buat Pak Kris, musik juga menjadi sarana
yang baik untuk dapat mendekatkan diri pada Tuhan YME. “Khususnya, ketika saya menyanyikan lagu-lagu rohani untuk memuliakan nama Tuhan.”
Menjadi Garda Depan Negara
Tugas utama Dubes Indonesia di mana pun berada adalah memajukan dan mengamankan apa saja yang menjadi kepentingan nasional Indonesia. Menurut Pak Kris, saat ini paling tidak ada tiga hal yang diamanatkan bagi setiap Dutar Besar Republik Indonesia: yaitu upaya memperkuat Kesatuan dan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Diplomasi Ekonomi, dan Perlindungan dan pelayanan bagi masyarakat Indonesia yang ada di wilayah kerja. “Hal ini merupakan tantangan dan tanggung jawab besar yang saya emban sebagai Dubes RI di Filipina (2010-2014) dan Dubes RI untuk Australia (2017-2021).
Bagaimana rasanya menjadi garda depan negara? “Mewakili negara Indonesia merupakan privilege dan penghormatan besar bagi saya. Saya merasa sangat beruntung mempunyai tim yang kuat, dan berdedikasi di KBRI Canberra dalam mengamankan tiga prioritas tersebut di atas. Saya juga mendapatkan dukungan penuh dari seluruh Perwakilan RI di Australia yaitu KJRI Sydney, KJRI Melbourne, KJRI Perth, dan KRI Darwin.
Menjadi seorang diplomat ternyata bukan cita-cita awal Pak Kris. Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), ia bercita-cita menjadi seorang pilot. Sayang, Pak Kris harus merelakan cita-cita itu karena gagal dalam proses seleksi. “Pasalnya, saya telah menggunakan kaca mata pada waktu itu,” ceritanya.
Keinginan untuk menjadi diplomat baru muncul ketika Pak Kris kuliah di Jurusan Hubungan Internasional, FISIPOL UGM pada tahun 1981. “Saya beruntung. Satu tahun menjelang saya menyelesaikan S1, saya mendapat beasiswa ikatan dinas Kementerian Luar Negeri (waktu itu bernama Departemen Luar Negeri). Saya memulai kedinasan di Kementerian Luar Negeri tahun 1986, dan mendapatkan kepercayaan mengemban amanah penugasan diplomatik, yaitu di KBRI Vatikan (1990-1994), PTRI New York (1996-2000), sebagai Wakil Duta Besar di KBRI Canberra (2004-2007), Duta Besar RI untuk Filipina (2010-2014), dan Duta Besar RI untuk Australia (2017-sekarang).
Saya juga beruntung pernah mendapatkan kepercayaan sebagai juru bicara Kemlu dari tahun 2007-2009, serta Sekretaris Jenderal Kemlu dari 2014-2017.”
Bagi Pak Kris, kunci keberhasilan seorang diplomat adalah cinta terhadap negara, terus mengasah kemampuan sesuai dengan perkembangan diplomasi, punya sikap terbuka, termasuk dalam menghormati perbedaan-perbedaan yang dimiliki, baik yang didasarkan pada aspek agama, etnis, budaya, dan latar belakang lainnya.
Seorang diplomat, bagi Pak Kris, ibaratnya adalah seorang prajurit yang siap jalankan tugas negara. “Layaknya prajurit, dalam sepanjang karier diplomatik, saya senantiasa siap menerima tanggung jawab, mengemban amanah serta kepercayaan yang diberikan negara.”
Pengayom Warga Indonesia
Apakah fungsi seorang Duta Besar bisa dianggap sebagai ayah dalam keluarga? Begini jawaban Pak Kris: “Sebagai Duta Besar memang harus menjadi pengayom dari masyarakat dan diaspora Indonesia di Australia. Saya paham, sering terdapat dinamika di kalangan masyarakat Indonesia di Australia. Oleh karena itu saya sering dan senantiasa menekankan pentingnya persatuan di kalangan masyarakat Indonesia dan pentingnya mereka menjunjung tinggi nama, harkat, dan martabat bangsa Indonesia di Australia.”
Beliau juga mengungkapkan betapa beruntungnya dirinya mengenal diaspora Indonesia yang memiliki komitmen tinggi, bahkan banyak dari mereka mampu berkontribusi untuk memajukan diplomasi ekonomi dan budaya Indonesia.
Lalu, bagaimana Pak Kris melihat Australia? “Merupakan kehormatan bagi saya mewakili Indonesia di Australia, yang merupakan salah satu negara terpenting bagi Indonesia. Australia merupakan tetangga dekat yang berbatasan langsung dengan Indonesia, sehingga kita tidak punya pilihan lain selain terus memperkuat hubungan kemitraan RI-Australia demi kepentingan bersama yang diwujudkan melalui kerja sama di semua bidang baik politik, ekonomi, dan sosial budaya.”
Menurut Pak Kris, perbedaan-perbedaan yang ada di antara RI-Australia justru dapat membuat hubungan kedua negara saling melengkapi sehingga kemitraan tersebut tidak hanya membawa kemanfaatan bagi RI-Australia tetapi juga bagi negara-negara di kawasan.
“Saya beruntung dapat melakukan kunjungan ke semua States dan Territory di Australia. Dalam setiap kunjungan ini, tujuan utamanya adalah untuk memperkuat hubungan RI-Australia termasuk setiap States yang ada, serta menjalin silaturahim dengan masyarakat Indonesia. Tentu pada saat setiap kunjungan saya, ketika situasi memungkinkan, saya selalu memanfaatkan kesempatan menikmati keindahan dan keunikan tiap-tiap daerah yang terdapat di wilayah tersebut.”
Saat ini, jumlah masyarakat WNI di Australia sekitar 60.000-70.000 orang. Menurut Pak Kris Jumlah itu sangat kecil jika kita melihat kedekatan geografis antara RI-Australia. “Meskipun demikian, saya merasa bangga karena pada umumnya masyarakat Indonesia di Australia, sukses dan patut jadi teladan. Banyak di antara mereka menjadi wiraswasta sukses di Australia, sebagai contoh: Iwan Sunito (Crown Group), Ivan Paulus (Livingstone), Antonius Auwyang (Sony Trading), Suliyanti Sunaryo (Ozimex International), Inge Sutanto (Uni Cargo), dll. Saya juga mengenal masyarakat Indonesia yang sukses di bidang kuliner. Mereka telah membantu mempromosikan kekayaan masakan dan budaya Indonesia.
Never Been Better!
Melihat hubungan RI-Australia saat ini, dengan antusias Pak Kris mengatakan, “(It) Has never been better than before. Kemitraan kedua negara sangat kokoh, khususnya setelah 8 Agustus 2018, ketika Presiden Jokowi dan PM Scott Morrison mendeklarasikan peningkatan hubungan bilateral kedua negara dari Comprehensive Partnership ditingkatkan menjadi Comprehensive Strategic Partnership.”
Hubungan antara kedua negara makin bermakna bagi keduanya ketika Indonesia Australia-Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) mulai berlaku efektif per 5 Juli 2020.
“Saya yakin hubungan kedua negara ini makin kuat, di masa depan. Indonesia dan Australia selalu saling membantu di saat kebutuhan muncul. Australia membantu Indonesia pada saat terjadinya tsunami di Aceh pada tahun 2004 dan global pandemic Covid-19 yang terjadi saat ini. Sementara itu, Indonesia juga membantu Australia ketika dilanda kebakaran hutan (bush fire) di Victoria dengan mengirimkan Tim Disaster Victim Identification (DVI) pada tahun 2009. Pada saat itu, saya mendapatkan kehormatan memimpin langsung tim ini. Kemudian, pada bulan Januari 2020, Indonesia mengirimkan bantuan pasukan TNI yang terdiri dari Satgas Zeni dan medis untuk membantu pembersihan dan pemulihan lahan akibat kebakaran hutan di NSW.”
Hal ini merupakan refleksi nyata dari pidato Presiden Joko Widodo di Parlemen Australia pada saat kunjungan kenegaraan pada bulan Februari 2020 yang menyebut “friends in need are the friends indeed”.
“Di tengah global pandemic saat ini banyak sekali keterbatasan kunjungan WNI ke Australia dan sebaliknya WN Australia ke Indonesia. Hal ini dapat kita pahami, karena kedua negara telah menerapkan aturan dan protokol kesehatan untuk menghadapi pandemi ini.
The silver lining dari global pandemic ini adalah hubungan RI-Australia justru semakin erat. Global pandemic ini tidak menghalangi hubungan kedua negara. Bahkan di tengah global pandemic ini Menlu Marise Payne dan Menhan Australia Peter Dutton telah melakukan kunjungan resmi ke Jakarta, pada tanggal 9 September 2021 untuk melakukan Pertemuan 2+2 dengan Menlu Retno Marsudi dan Menhan Prabowo Subianto untuk memperkuat kemitraan kedua negara,” lanjut Pak Kris.
Pengabdian Tak Selesai Pada Penugasan
Diaspora Indonesia, bulan depan, tepatnya Oktober 2021, Pak Kris akan menuntaskan penugasannya di Australia. Tapi, hal itu tidak membuatnya berhenti mengabdi bagi negara. “Memberikan pengabdian ke negara adalah sesuatu yang tak akan selesai sampai kapan pun, bahkan setelah saya purna tugas sebagai Pengawai Negeri Sipil (PNS). Pada akhir Oktober 2021 ini, saya akan kembali ke Indonesia. Melalui media ini saya menyampaikan terima kasih atas dukungan dan bantuan semua pihak terutama masyarakat dan diaspora di NSW dalam saya menjalankan amanah bangsa dan negara. Sebagai orang Indonesia, secara pribadi saya juga kangen dengan Tanah Air Indonesia, makanan Indonesia, dan tentunya kampung halaman saya di Magelang. Terima kasih,” demikian beliau menutup pembicaraan.
Pak Kris, masyarakat Indonesia di Australia tentu akan sangat merindukan sosok Bapak Duta Besar yang memiliki senyuman hangat, sapaan ramah, dan tentunya gaya diplomasi yang sangat, sangat elegan. Terima kasih, Pak Kris dan Ibu Maria Caecilia untuk pengabdiannya. Sukses selalu di penugasan berikutnya. [IM]