Nggak seru kalau ngomongin film horor tapi nggak melibatkan horor Tanah Air yang hampir selalu mencetak sukses. Dan, siapa lagi yang lebih kompeten ngomongin film horor Indonesia kalau bukan pengajar, penulis, kritikus film yang satu ini!
Ekky adalah teman lama saya di dunia kewartawanan. Ia baru pulang studi doktoral kajian film dari University of East Anglia di Norwich, Inggris, pada 2018. Saat ini, ia kembali lagi mengajar di Departemen Film, Binus University, Jakarta.
Di luar kampus, Ekky adalah kritikus film. Saat pandemi, ia memulai beberapa program daring, seperti “Kultum” bersama Hikmat Darmawan (di IG dan YouTube), dan “Nongkrong Bareng” bersama Asmayani Kusrini di kanal YouTube “Ekky Imanjaya”. https://www.youtube.com/user/jayaoh. Sebagai penulis terkait riset soal film, Anda bisa cek juga blog Ekky: http://findingjakasembung.blogspot.com/film)
Tahun lalu, Ekky menjadi kepala redaksi Seri Wacana Sinema dari Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, termasuk “Mencari Film Madani” yang ia tulis sendiri, dan juga “Tilas Kritik” (editor bersama Hikmat Darmawan) yang merupakan kumpulan tulisan di situs RumahFilm (2007-2012). Keenamnya bisa diunduh gratis: https://dkj.or.id/berita/seri-wacana-sinema/ Terakhir, Ekky ikut menulis di kumpulan tulisan Southeast Asia on Screen yang baru beredar ini: https://www.aup.nl/en/book/9789462989344/southeast-asia-on-screen.
Nah, mari kita langsung berbincang dengan Ekky!
Apakah Anda menyukai genre film horor?
Iya.
Menurut Anda sebagai pengamat film, film horor yang bagus seperti apa, sih? Contoh filmnya apa saja?
1. Yang tidak hanya jumpscare atau visual horor yang mengagetkan, tapi benar-benar menakutkan dari segi cerita. Misalnya, The Shining.
2. Ada kedekatan dengan situasi penontonnya. Misalnya, film-film horor lokal terasa lebih menakutkan karena diangkat dari kisah rakyat atau urban legend setempat, seperti pocong, sundel bolong, dan kuntilanak. Misalnya Keramat, atau film-film Suzanna di era orde baru. The Wailing dari Korea Selatan ada pendekatan ritual setempat.
3. Ada semacam kritik sosial dan politik, langsung dan tidak langsung.
4. Walau ini genre yang ada pakem, tapi sebaiknya ada kebaruan dan kesehatan. Misalnya, Midsommar yang justru setting-nya di siang hari bolong. Get Out dan Us (Jordan Peele) yang mengangkat isu warga afro-amerika. Atau, Let The Right One In yang walau film vampir tapi ada kebaruan. Ada juga yang mencoba pendekatan bahasa film lain, misalnya The Witch dan The Lighthouse karya Eggers.
Mengapa ada rasa yang berbeda setelah menonton film horor Barat dan Asia? Dan, benarkah film horor Asia lebih seram?
Penonton itu juga dipengaruhi banyak hal saat menonton, apalagi di bioskop, termasuk di dalamnya latar belakang budaya, pengalaman, dan kedekatan dengan kisah-kisah floklore/cerita rakyat dan konteks sosial. Juga berhubungan dengan filmnya (khususnya topik/tema, cerita, cara bertutur, bahasa audio visual), tentu akan berdampak saat pengalaman menonton.
Kisah-kisah seram juga tidak berada di ruang hampa, tapi ada konteks sosial/budaya/politik/ekonomi.
Indonesia kan tidak langsung terkait dengan kisah, misalnya vampir/drakula, mumi, dll. dan lebih dekat dengan pocong, kuntilanak, sundel bolong, karena itu, hal-hal yang terkait dengan koboi dan drakula kebanyakan berbau komedi.
Jumlah penonton film horor di Indonesia termasuk fantastis. Sebagai akademik film, menurut Anda, fenomena apakah ini? Apakah masih berkaitan erat dengan budaya mistis yang mengakar kuat?
Ada benarnya. Masyarakat masih percaya mistik dan hal-hal supranatural, seperti santet, pelet, susuk, dan pesugihan. Konteks sosial budaya ini juga berdampak bagi pemilihan genre.
Walaupun demikian, penonton juga punya politik seleranya. Misalnya, kalau genre horor hanya berisi epigon (pengikut) dan ceritanya tidak berkembang, tidak ada kebaruan, dan hanya mengulang formula yang sama, maka lama-kelamaan akan ditinggalkan dan produser akan mencari formula lain. Misalnya, di era 2000-an, di mana memasukkan unsur keseksian bahkan menyewa bintang porno asing untuk main.
Misalnya lagi, dalam film horor ada demonic horror, psychological horror, dan apocalyptic horror, tapi hanya demonic horror yang diangkat dan itu pun hanya hantu yang itu-itu saja. Padahal, setan (baik tradisional ataupun urban legend itu banyak macamnya, termasuk Suster Gepeng di Karangmenjangan [Surabaya]).
Menurut Anda, apa karakteristik film horor Indonesia dibandingkan film horor Asia lainnya?
Horor Asia, macam buatan Jepang, Korea, dan Thailand, itu banyak yang visual horor, bukan narrative horror. Kalau kita melihat ada perubahan dalam sound dan gerakan kamera, maka diduga kuat setan akan hadir.
Jumpscare masih mengandalkan hal-hal yang “mengagetkan” dan bukan “menakutkan”. Menakutkannya juga bisa diprediksi. Banyak film Indonesia ikut-ikutan seperti itu, dan juga ditambah bergaya MTV. Sebagian berhasil (seperti Jelangkung). Sebagian, yang epigon, gagal atau hanya mendapatkan sedikit pengikut setianya.
Film Asia tersebut juga banyak yang menafikkan peran orang “saleh” atau pemuka agama. Sekularisasi. Padahal, di Indonesia, banyak masyarakat kalau takut, ya berdoa sesuai agama masing-masing. Peran kyai masih penting.
Tapi, tentu saja, di era Orde Baru, peran kyai jadi kewajiban dan menjadi problem solver begitu saja. Ini juga bermasalah. Karena itu, saya suka dengan film Malaysia, Munafik, karena kembali menggunakan “ruqyah” dan mengangkat isu-isu khas, seperti penyebutan “dajjal” (anti-christ), biang dari segala setan menurut agama samawi.
Apa formula komersial tertentu yang membuat film horor yang satu lebih disukai daripada yang lain?
Tidak ada formula yang pasti. Selama ada kedekatan/relate, ada kebaruan (novelty). Horor adalah genre, formulaik, ada pakemnya. Pasti akan ada elemen/ciri khas/karakteristik yang berulang. Ada ikonografi dan hal-hal yang selalu ada dan diharapkan penonton untuk tetap ada. Tapi, kalau ada hal-hal baru/segar, tentu akan lebih disukai penonton.
Film horor Indonesia belakangan memasukkan unsur seks yang terbilang vulgar sebagai “daya tarik komersial”, menurut Anda, apakah kalau murni horor semata menjadi tidak komersial? Ataukah memang kebanyakan penontonnya mencari unsur esek-eseknya saja (karena kan film porno memang nggak boleh).
Sudah menyusut. Tren jualan wanita seksi sudah tidak happening lagi. Bahkan, walau memasukkan bintang porno Jepang atau Amerika Serikat, tidak menjadi viral. Ini, dugaan saya, karena tidak adanya kebaruan dan penyegaran, penonton lebih cerdas dan kritis dan tidak suka yang monoton dan itu-itu saja.
Memahami genre film horor jaman Suzanna dan masa kini, perbedaan edukasi apa yang bisa diambil?
Jaman Orde Baru, sebagian besar setan itu perempuan dan motifnya balas dendam karena diperkosa atau dizalimi. Orde Baru juga punya kewajiban-kewajiban tertentu, sensor ketat, misalnya Kyai sebagai problem solver.
Di era Reformasi, tidak sama. Filmmaker bebas berkarya, tapi “tuhan”-nya adalah daya tarik yang bikin laris dan laku (dan dalam teve = rating). Marketing-driven. Tidak salah, tapi jangan sampai didikte oleh pasar. Salah satu cirinya adalah banyaknya epigon yang ikut-ikutan tren.
Menurut Anda sebagai edukator, pengamat film, dan penulis kritik film,
apa faedah film horor secara garis besar bagi masyarakat modern
Indonesia saat ini?
Film Horor penting karena beberapa hal:
1. Untuk hiburan. Penonton bisa rollercoaster. Atau, eskapisme dari rutinitas atau problema hidup. Atau, memenuhi standar estetika tertentu.
2. Bisa dibaca sebagai kritik sosial/politik/budaya, langsung/eksplisit atau tidak langsung/implisit.
3. Penonton bisa membacanya sebagai alegori atau metafora atas keadaan di dalam masyarakat.
Ada teori yang bilang kalau zombie adalah perlambang kelas bawah (rutinitas bagai mesin, dll.), dan vampir sebagai kelas atas yang mengisap sekitar. Saya dan rekan pernah presentasi membandingkan film-film zombie dengan kondisi pandemi sekarang. Di film The Dead Don’t Die, Jim Jarmusch menganalogikan zombie dengan konsumerisme.
4. Bisa juga membaca hal lain. Seperti film-film horor Oder Baru melihat perempuan, misalnya sebagian besar hantu adalah perempuan berambut panjang berpakaian serba putih. Padahal, ada banyak variasi hantu di nusantara.
Film-film horor terbaik versi Anda?
Indonesia:
1. Keramat
2. Rumah Dara
3. Bayi Ajaib
4. Pengabdi Setan (1980)
5. Pintu Terlarang
6. Lisa
7. Hantu
8. SundelBolong, Telaga Angker, Ratu Ilmu Hitam (Suzanna)
9. Pocong the Origin
10. Pocong 2
Asing:
1. The Wailing (Korea)
2. Train to Busan (Korea)
3. The Shining (Stanley Kubrick)
4. Midsommar
5. The Lighthouse dan The Witch (Robert Eggers)
6. Get Out dan US (Jordan Peele).
7. Let the Right One In
8. Night of the Living Dead
9. Shutter (Thailand)
10. The Eye (Thailand)
11. Nang Nak (Thailand)
12. Munafik (Malaysia)
13. Ju-On (Jepang)
14. Psycho (Hitchcock)
15. Inside (Prancis)
Aktris/Aktor horor terbaik versi Anda (dan dalam film)?
Kalau horor, ya, Suzanna, dong. Di era sekarang, tidak ada ikon bintang yang sekuat Suzanna. Kalau kita sebut “horor” sudah pasti nama “Suzanna” yang muncul pertama kali di pikiran saya atau sebagian besar generasi saya. Kalau kita sebut “horror” untuk era sekarang, tidak ada nama yang muncul di kepala dengan kuat. [IM]