Tulisan ini bukan tentang ayah yang tidak berdampak; ayah yang absen. Tulisan ini adalah sebuah penghormatan “a tribute” buat orang yang kita panggil ayah dan kita belajar banyak darinya saat kita dewasa.
Jika Anda tidak mengenal nama August Turak, mungkin sekali karena Anda bukan pemerhati dunia kewiraswastaan, enterprenuership, kepemimpinan, dan kehidupan biara yang senyap. Saya menemukan namanya karena sedang berselancar di Forbes.com. Turak adalah kontributor tetap di situs terpercaya itu, dan juga di BBC. Turak adalah seorang penulis dengan segambreng penghargaan, pembicara, konsultan, dan kontributor. Ia menulis Brother John, yang memenangkan Templeton Prize.
Ayah Turak meninggal dunia di usia 86 tahun. Dan, apa yang ia tuliskan tentang ayahnya 14 tahun kemudian, dalam perayaan ulang tahun ke-100, sungguh menggugah saya. Turak menggelar doa untuk mengenang ayahnya. Mirip, ya, dengan apa yang kita lakukan sebagai orang Indonesia.
Sebagai anak dari imigran Slovakia, ayah Turak selamat dari cekikan era Great Depression, mengabdi di Perang Dunia II, melanjutkan sekolah, berhasil membesarkan delapan anaknya meski dengan gaji pas-pasan. Yang mengejutkan, sang ayah mampu mewariskan selembar saham bernilai tujuh digit. Terkejut dan penasaran, Turak bertanya pada ayahnya bagaimana ia dapat melakukannya? “Receh demi receh, Aug. Receh, juga atensi dan kosistensi yang tidak bisa dinilai dengan uang,” jawab sang ayah dengan senyuman bijaksana.
Turak membagikan pelajaran dari sang ayah untuk kita semua.
1. Komitmen Belajar
Ayahku sangat berkomitmen untuk terus belajar. Ia memiliki gelar Master dan melanjutkan PhD-nya di waktu malam, sepulang kerja. Ia tak bertanya sekalipun pada anak-anaknya apakah akan melanjutkan studi sampai ke tingkat universitas.
2. Berharganya Bekerja Keras
Seperti halnya kakek, ayah percaya bahwa dedikasi dan kerja keras dapat menghindari ketidaksejahteraan, baik sosial maupun fisik, yang menimpa dirinya. Di saat dewasa, saya paham kebenaran ini. Sejak kecil dan di usia remaja, saya sudah bekerja. Dalam kehidupan dewasa, saya bertemu banyak orang yang jauh lebih cerdas dari saya. Hanya sedikit dari mereka yang bisa bekerja.
3. Menjadi yang Terbaik
Ayah selalu mengharapkan yang terbaik dari kami anak-anaknya. Di kelas 5 SD, saya bisa membentuk tim sepak bola. Suatu hari, saya pulang ke rumah nyaris menangis karena pelatih sepak bola “berteriak padaku.” Ayah hanya tersenyum dan berkata, “Dia berteriak karena dia peduli padamu. Dia ingin kamu melakukan yang terbaik. Jika dia berhenti berteriak, kita harus khawatir!”
4. Belajar Berkorban
Ayah, dengan hati gembira, bekerja dua, bahkan kadang-kadang, tiga pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Dia sendiri tidak pernah mengharapkan apa-apa dari penghasilannya, kecuali segelas air dingin dari tempat minum yang ia sebut “icebox” selepas pulang kerja. Hanya saja, ia selalu mengisinya penuh karena anak-anaknya juga meminum air dingin tapi tak pernah diisi ulang.
5. Hemat dan Investasi
Ayah mengajari kami menabung dan menanam saham sewaktu saya masih berusia 9 tahun dan bekerja sebagai pengantar koran. Seperti dirinya, saya adalah orang yang hemat, dan jarang menghamburkan uang untuk hal yang tak perlu. Hasilnya, ayah tak pernah meminjam uang. Saya pun tak pernah meminjam uang.
6. Tidak Ada Jalan Pintas
Ayah tak pernah memotong jalan. Beliau bahkan mengajari kami untuk “berjalan lebih jauh”. “Jadilah yang pertama dan terakhir karena selalu ada orang yang melihat. Orang sukses tak pernah menghindari pekerjaan”. Kalimat ‘Itu bukan pekerjaanku’ tidak ada dalam kamus hidupku.
7. Tidak Khawatir dengan “Pesaing”
Ayahku tidak pernah iri. Dia tidak pernah santai karena “pesaingnya” santai, dan dia tidak kuatir berapa banyak hasil yang didapat “pesaingnya”. “Jangan khawatir dengan apa yang orang lain buat,” begitu katanya. “Buat si pesaing khawatir dengan apa yang kamu lakukan.”
8. Berani
Ayah mengajariku hidup dengan berani. Apakah itu keberhasilan besar atau kecil, semuanya dihasilkan karena keberanianku mengambil risiko “lakukan saja.” Banyak orang berpikir, “Nggak mungkin terjadi padaku.” Ayah mengajariku berpikir, “Mengapa tidak?”
9. Berteman dengan Semua Orang
Jika kita memiliki hubungan baik dan tulus dengan semua orang, hidup dengan sendirinya akan lebih mudah. Ayah selalu mendapatkan harga termurah saat berbisnis dan, demikian juga dia selalu bermurah hati pada teman-temannya. Hidup akan selalu lebih baik jika berteman dengan orang yang tepat.
10. Jadi Petarung
Ayah bukan orang kasar atau agresif, tapi dia mengajariku untuk tidak mundur dari pertarungan yang harus dilakukan. Waktu aku mengeluh tentang bullying semasa kecil, ia menyarankan untuk melawan balik. Kuturuti nasihatnya, dan berhasil! Takut adalah hambatan terbesar menuju kesuksesan. Jangan biarkan rasa takut menahanmu.
11. Bergulat dalam Situasi Tak Nyaman
Membantu anak-anak menjadi sukses tidak sulit. Tapi, tahu kapan mereka bergulat untuk keluar dalam kesulitan yang susah. Sebagai anak tertua, ayah begitu ingin aku sukses. Di sisi lain, ia juga paham betapa pentingnya untuk menahan diri tidak selalu terlibat.
Di usia 14 tahun, aku mendapatkan beasiswa sekolah asrama terbaik di Connecticut. Dua tahun pertama adalah masa tersulit. Rasanya menderita sekali. Meskipun ikut bersimpati, ayah tak ingin aku berhenti, dan di tahun terakhirku, aku justru merasa sangat nyaman. Melihat ke belakang, bertahan dalam masa-masa yang tidak nyaman menjadi pelajaran terbaik bagiku.
Dan, aku kagum betapa ayah tidak berusaha campur tangan dalam setiap kesulitanku meskipun dia ada di situ, bersamaku. Sebagai seorang pemimpin, kapan melakukan campur tangan dan kapan membiarkan masa-masa tak nyaman untuk dilalui seorang diri juga perlu keterampilan khusus.
12. Jangan Abaikan Jiwamu
Ayahku sangat relijius. Kami sekeluarga sering berdoa bersama di dalam mobil. Aku masih ingat, Ia memaksaku untuk bangun jam 6 pagi setiap hari dalam hari-hari menjelang Paskah agar dapat beribadah. Menjadi dewasa, saya selalu menaruh kesehatan jiwaku di tempat pertama. Hal itu berkat didikan ayah yang kuat berkomitmen.
13. Keluarga adalah Segalanya
Ayahku adalah seorang “family man” sejati. Dia mendedikasikan hidupnya pada istri dan anak-anaknya. Suatu hari, saat dia bergabung ke sebuah perkumpulan golf di tempat kerja, dia membawa kami semua, sampai yang terkecil usia 8 tahun menjadi caddie-nya. Melihat “gerombolan” ayah ini, ibu biasanya tertawa dan berkata, “Ayah kalian bahkan nggak bisa belanja sendirian, dia harus bawa tiga atau empat dari kalian untuk menyertainya!” Ayah tidak minum alkohol, merokok, atau “doyan nongkrong dengan teman-teman.” Yang dia inginkan adalah bersama keluarganya.
Nah, tampaknya August Turak memiliki ayah yang luarbiasa ideal, ya. Tapi, kita semua tahu sekali bahwa tidak ada yang ideal dalam diri seseorang. Pun ayahnya Turak. Dan ayah kita. Kita percaya, apa yang Turak ungkapkan adalah semua kebaikan-kebaikan ayahnya, yang pasti dimiliki juga, sedikit banyak oleh ayah kita. Sedikit nilai yang baik saja sudah cukup untuk mewarisi inspirasi tiada akhir. Terima kasih, Ayah! [IM]