Dua Peran Seorang Ibu

539
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Working Mom vs Stay-at-Home Mom
Yang mana, nih, yang lebih stres?

Mendapat peran sebagai ibu adalah sebuah kebahagiaan sekaligus tantangan besar di masa modern. Generasi Z (1995-2012) dan Alpha (2013-2025) mungkin nggak tahu kalau dulu, di suatu masa, (umumnya) ibu tidak bekerja. Kantornya, ya, di rumah. Tugasnya, ya, ngurusin anak dan rumah.

Saya jelas bukan dari dua generasi di atas, tapi juga nggak syok mengetahui ibu yang bekerja. Ibu saya nggak punya riyawat bekerja di kantor, tapi beliau sibuk mementor kaum ibu dalam berbagai kegiatan kelurahan dan kecamatan. Bahkan, sampai di tingkat provinsi. Ia pun digaji untuk itu. Saya nggak tau apakah itu termasuk bekerja. Yang saya tahu, itu bukanlah sebuah karier. Pekerjaannya bersifat vokasional, alih-alih profesional. Ibu teman-teman sekolah saya juga banyak yang bekerja kantoran, bahkan tentara. Jadi, ibu bekerja bukanlah suatu hal yang aneh.

Isunya adalah anak-anak terlantar karena ibu tidak 100% memantau dan membimbing mereka. Benarkah demikian? Isu berikutnya, perempuan bekerja lebih stres daripada yang tidak. Masak, sih? Dan, banyak lagi isu yang muncul berkaitan (atau ada yang bilang begitu) dengan ibu yang bekerja. Nanti, kita membahasnya dengan beberapa perempuan bekerja tentang mitos dan faktanya. Saat ini, yuk, kita cari tahu dulu plus minus yang timbul dari ibu yang bekerja.

Ibu Bekerja: Ekonomi bagus. Lainnya?
Sebuah survei yang dilakukan oleh Princeton Survey Research Associates International dengan sumber 1,807 orangtua, berusia 18 tahun ke atas, yang memiliki anak-anak di bawah usia 18 tahun. Survei ini mengungkapkan bahwa secara ekonomi, keluarga yang ayah dan ibunya bekerja jelas lebih baik dari yang tidak (atau hanya satu).

Rumah tangga ekonomi menengah dengan orangtua yang bekerja dan memiliki anak di bawah 18 tahun, memiliki pendapatan 20% lebih tinggi daripada rumah tangga dengan ayah bekerja penuh waktu dan ibu paruh waktu. Presentasi ini lebih besar 50% dari ayah saja yang bekerja. Sementara itu, survey terbaru dari Pew Research Center menunjukkan bahwa upaya menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga memberikan tantangan bagi kedua orangtua. Bahkan, lebih dari setengah responden (56%) dari orangtua bekerja mengatakan upaya ini sulit. Di antara ibu bekerja, secara khusus, 41%-nya melaporkan bahwa menjadi orangtua membuat mereka lebih sulit meniti karier.

Bagi banyak ibu bekerja, menyeimbangkan tugas-tugas pekerjaan dan keluarga adalah tantangan tersendiri. Di antara ibu yang memiliki anak usia di bawah 18 tahun, lebih dari setengah responden (56%) bilang sulit menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan di kantor dan di rumah. Bahkan, 1 dari 5 ibu bekerja mengatakan sangat sulit.

Sementara itu, 4 dari 10 ibu bekerja mengatakan bahwa mereka selalu terburu-buru, bahkan untuk tugas-tugas yang rutin sekalipun. Cuma 10%, nih, yang nggak pernah merasa diburu-buru.

Ibu yang nggak bekerja selalu punya waktu?
Ibu yang bekerja pastinya hanya punya lebih sedikit waktu untuk anak dibandingkan mereka yang bekerja paruh waktu atau tidak bekerja. Kelompok ibu bekerja penuh waktu ini juga nggak punya cukup waktu untuk “main” dengan teman-teman atau mengerjakan hobinya. Di antara ibu bekerja penuh waktu ini juga cenderung hanya punya sedikit waktu “berduaan” dengan pasangannya.

Sebuah laporan dari The Independent mengatakan bahwa di antara ibu bekerja penuh waktu, mereka yang punya satu anak, 18%-nya lebih stres daripada yang tidak punya anak. Tambah satu anak lagi, persentasi naik menjadi 40%.

Di rumah tangga yang kedua orangtuanya bekerja penuh waktu melaporkan bahwa para ibu melakukan tugas lebih banyak daripada ayah dalam hal menangani jadwal dan aktivitas anak-anak. Hanya 6% saja para ayah yang melakukannya, dan 39% lainnya mengatakan mereka melakukannya bersama dan seimbang. Hmm, itu mungkin sebabnya 40% ibu bekerja penuh waktu jadi lebih stres.

Ibu milenial lebih pilih nggak kerja
Menurut The Economist, seperempat ibu yang tidak bekerja memiliki gelar sarjana. Itu artinya, mereka ini memiliki kemampuan dan keahlian untuk bekerja di luar rumah. Nyatanya, banyak millennial moms memilih jadi ibu rumah tangga saja.

Tambahannya, data dari survei Gallup Poll menunjukkan perbedaan yang sangat sedikit dalam hal memilih bekerja versus nggak bekerja. Di antara ibu bekerja, baik yang penuh waktu maupun paruh waktu, 40%-nya mengatakan lebih suka bekerja di luar rumah, dan 54%-nya memilih jadi ibu penuh waktu saja. Perbedaan angka yang tipis terjadi pada ibu yang tidak bekerja: 37%-nya memilih bekerja, sedangkan 57%-nya lebih suka tidak bekerja.

Keinginan Ortu vs Kebutuhan Anak
Pada konferensi “In What About The Children?”, Profesor Sir Denis Pereira Grey (mantan presiden Royal College of Practitioners), ahli usia dini Dr. Carole Ulanowsky, psikotrapis dan konsultan anak Robin Balbernie, dan profesor kerja sosial dan psikologi David Howe berbicara tentang bagaimana masalah-masalah yang bertambah besar di dalam masyarakat, seperti depresi, berhubungan dengan masa kecil/pengasuhan yang buruk dan stres di usia 1-3 tahun.

Lebih lanjut, John Carnochan, seorang polisi senior Skotlandia dan ahli di bidang kekerasan, menghubungkan hal-hal buruk yang ia tangani selama kariernya dengan pengasuhan anak yang didapat.

Studi yang menemukan bahwa anak-anak kecil yang diasuh ibunya sendiri memiliki hasil uji perkembangan yang jauh lebih baik daripada mereka yang tidak, demikian  penelitian Bettinger dan periset lainnya. Hal itu adalah penanda bahwa orangtua bekerja keras agar anak-anak mereka dapat menikmati hidup nyaman, sedangkan, sebetulnya apa yang anak-anak butuhkan adalah kasih sayang dan kehadiran orang tua yang konsisten. [IM]

Previous articleSinta Heru Subolo: Perempuan Di Tengah Keluarga, Teknologi Modern, Dan Keinginan Hati
Next article“Real Teacher” for Multi Million Dollar Property Portfolio