Di tengah jadwalnya yang sangat sibuk, Dr. Lesmana memberikan waktunya untuk diwawancarai oleh INDOMEDIA. Dari komunikasi, filosofi, sampai pertanyaan-pertanyaan “berandai-andai” pun beliau ladeni dengan santai tapi serius.
Sosok dokter yang satu ini boleh dibilang “selebritas” di komunitas Indonesia, khususnya
di kota Sydney. Beliau tidak hanya sudah sangat lama berpraktik sehingga memiliki klien-klien yang setia, ia juga hobi mengembangkan diri. Setiap beberapa tahun, ada saja ilmu kedokteran baru yang ia pelajari dan kuasai sehingga ia dapat memberikan layanan medis yang cukup luas bagi para pasiennya. Tak heran, bukan hanya namanya yang terkenal luas, tapi juga keahlian dan gaya komunikasinya yang “satu level” dengan siapa pun
yang berbicara dengannya.
Selepas lulus dari University of New South Wales dengan gelar Bachelor of Medicine and Bachelor of Surgery tahun 1983, beliau berlatih residensinya di Prince of Wales Hospital/Prince Henry Hospital, dan kemudian menyelesaikannya di Westmead Hospital. Beliau adalah anggota Royal Australian College of General Practitioners. Di tahun 1987,
Dr. Lesmana membuka praktik dokternya pertama kali di Belmore Road, Randwick.
Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman medis, Dr. Lesmana terus menerus
mampu memberikan layanan medis berstandar tinggi, dengan pendekatan holistik.
Beliau memiliki kualifikasi dalam kesehatan anak, olahraga, dan estetika.
Kemampuannya berbahasa Inggris, Indonesia, dan Mandarin, membuat Dr. Lesmana seorang penasihat medis yang terpercaya bagi banyak kalangan masyarakat. Beliau berasal dari Jakarta, berkeluarga dengan dua orang anak.
Selebihnya, mari ikuti wawancara yang sangat menggelitik, informatif, sedikit imajinatif, dan pastinya, sangat blak-blakan ini.
Mengapa Anda memilih berprofesi sebagai dokter?
Saya sudah ingin menjadi dokter sejak kelas 5 SD. Sejak itu saya sudah mikir untuk
jadi dokter. Gegaranya, waktu itu, di sekolah, guru minta murid-muridnya menuliskan
cita-citanya di pelajaran mengarang. Saya juga nggak tahu kenapa menuliskan mau
jadi dokter. Inspirasinya dari mana, saya juga nggak tahu.
Oh ya? Apakah di keluarga Anda nggak ada satu pun yang jadi dokter?
Nggak ada. Paman saya hampir jadi dokter, tapi nggak jadi.
Kalau di kelas 5 SD saja sudah tahu mau jadi apa kelak, apa filofosi Anda
di dalam hidup?
Saya ini orangnya sama simpelnya dengan orang lain, kok. Ikuti arus saja dan
jangan banyak berpikir yang macam-macam.
Hal apa yang sangat Anda sukai dan sangat tidak sukai sebagai seorang dokter?
Yang sangat saya sukai adalah bisa berhadapan dengan orang lain; saya bisa berkomunikasi dengan orang dari tingkatan mana saja tanpa halangan apa pun.
Yang paling tidak saya sukai adalah saat harus berurusan dengan regulasi pemerintah.
Di Australia, pemerintah ikut memonitor dan mengontrol praktik seorang dokter,
jadi kalau pasiennya kebanyakan, atau pendapatan lewat satu level, Anda akan ditegur.
Sebagai seorang dokter, pernah nggak merasa semuanya serba rutin: penyakitnya sama, pasiennya bertanya hal yang sama?
Ada masanya memang begitu. Tapi, kan, saya GP yang berurusan dengan banyak
sekali hal. Itu bagusnya. Ada beberapa yang sama dalam satu hari, itu biasa saja.
Tapi, yang lebih membosankan mungkin seorang dokter spesialis, yang harus
berurusan dengan hal yang sama terus menerus. Jika spesialis itu khan di satu
area saja, membosankan. Saya kan mengambil spesialisasi di kedokteran keluarga
atau dokter umum sehingga saya berurusan dengan banyak sekali.
Praktik Anda dikenal luas di komunitas orang Indonesia di Sydney,
boleh dibilang nama Anda sangat populer sebagai dokter yang “bertangan
dingin” dalam menangani pasien. Menurut Anda sendiri bagaimana?
Menurut saya pribadi, saya dapat diajak ngobrol di level yang sama. Saya bisa menjelaskan sesuatu dalam istilah umum kapan saja. Tapi ada juga yang tidak
menyukai cara saya tersebut, karena ada orang yang merasa lebih “tinggi”
dari saya, jadi mereka nggak terima ngobrol di level yang sama.
Kalau saya mau ngomong sama orang, saya harus ngomong dalam satu level.
Kalau yang satu menganggap rendah atau tinggi yang lain, komunikasi kita
nggak bakal jalan. Komunikasi perlu berada dalam tingkatan yang sama
supaya pesannya tersampaikan. Tidak ada cara lain.
Hal apakah yang Anda sangat tidak terima secara pribadi?
Satu-satunya hal yang sulit saya terima adalah ngobrol dengan orang yang
tidak jujur. Kalau kemudian saya dapati bahwa ia tidak jujur, itu membuat
saya marah. Sulit sekali bagi saya untuk menghadapi ketidakjujuran.
Jika Dokter sedang tidak dalam “happy mood”, Anda lebih suka ditinggal sendirian atau justru ditemani?
Saya lebih pilih ditinggal sendirian.
Kami ingin kenal lebih jauh dengan Dokter. Kasih tahu, dong, hal-hal yang sepertinya belum kami tahu tentang diri Anda…
Saya orangnya tidak berbasa-basi. Kalau ngomong langsung katakan maksudnya,
nggak “muter-muter”. Dan, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya suka bekerja dan berkomunikasi di tingkat yang sama. Saya orangnya bersahabat, doyan ngobrol, dan nggak suka memperlakukan orang dengan cara yang tidak ia suka.
Kecuali orangnya suka diperlakukan nggak enak.
Pertanyaan penting seperti apa, sih, yang Dokter harap ditanyakan oleh para pasien, daripada yang begitu-begitu saja?
Setiap pertanyaan penting buat saya. Tiap orang pasti punya pertanyaan yang berbeda-beda. Saya nggak keberatan ditanyai apa saja. Tiap orang punya cara yang berbeda
dalam bertanya.
Dalam hal informasi kesehatan, apakah ada situs atau media sosial yang kontennya bisa dipercaya?
Situs-situs yang terpercaya biasanya hanya bisa diakses oleh kalangan dokter sendiri.
Yang baik, misalnya The Royal Australian College of General Practitioners. Ini situs yang terpercaya bisa Anda cek, tapi kemungkinan diblok dan hanya bisa diakses oleh dokter. Lainnya, yang bisa dilihat adalah Australian Doctor dan Medical Republic. Menurut saya, tiga situs tersebut terpercaya. Jangan google sembarangan karena Anda bisa salah diagnosa.
Tapi, sepertinya anak-anak sekarang melakukan itu, Dok. Mereka cenderung google gejala-gejala (penyakit) yang mereka rasakan dan seterusnya…
Benar. Itu memang sudah kenyataan dunia, ya.
Menurut pengalaman Dokter, apakah ada ada dampak media sosial pada kesehatan orang?
Orang stres pada hal yang bukan-bukan. Misalnya saja tentang vaksin Covid, semuanya sudah ketakutan duluan. Aduh! AstraZaneca efeknya pembekuan darah. Oh, oke…
Kalau iya begitu, harusnya cari tahu, dong seberapa parah. Ini belum apa-apa sudah disebar di Whatsapp dan malah menciptakan masalah baru. Orang-orang jadi khawatir. Saya mau vaksin ini aja, yang itu nggak mau. Padahal, pada akhirnya, mereka akan
ngerti juga kalau vaksin Covid itu pada dasarnya sama saja. Nggak ada bedanya.
Jadi, dari pandangan Dokter sendiri, vaksin cukup aman, dong?
Menurut saya cukup aman, meskipun kita kan maunya vaksin itu lebih aman dari yang sudah ada. Jika kita tidak melakukan sesuatu, virus itu akan cari “tempat tinggal” supaya dia bisa masuk dan menginfeksi. Kalau sudah begitu, akan ada lebih banyak masalah. Harapan saya, orang-orang dapat diimunisasi. Semakin banyak orang yang diimunisasi, semakin kecil kemungkinan si virus mendapatkan “tempat tinggal”. Kalau sudah begitu,
ia nggak dapat “rumah” dan mati dengan sendirinya.
Apakah setelah dua kali divaksin kita nggak akan terinfeksi?
Ya, kemungkinannya 80% tidak. Atau bahkan lebih, 90%.
Apakah injeksi vaksin nggak ada di GP, ya?
Ada yang di GP, ada yang enggak. Yang di GP AstraZaneca, tapi GP nggak punya vaksin Pfizer. Anda harus pergi ke tempat-tempat khusus untuk dapat vaksin Pfizer karena dia harus disimpan secara khusus.
Menurut pengalaman Dokter, ada nggak, sih, orang yang hidupnya sehat, nggak pernah sakit?
Ada saja. Saya punya pasien yang hidupnya sehat dan rajin cek kesehatan ke saya.
Saya juga punya pasien yang sebaliknya. Orang sakit, kan, banyak sebab. Bisa jadi karena gaya hidup, juga keturunan, daya tahan orang. Kalau kamu punya gen diabetes, ya, mau nggak mau, kemungkinan besarnya kamu akan kena diabetes juga. Nggak ada yang sempurna di dunia ini. Menurut kita, situasi yang ideal kan baik-baik saja, tidak sakit,
dan tidak makan obat. Tapi, setiap orang punya gaya hidup, daya tahan, dan keturunan yang berbeda. Cara hidupnya juga beda. Jadi, nggak ada hanya satu alasan untuk sehat.
Jadi, untuk mendapatkan hidup sehat ada cara yang bisa lakukan, Dok?
Oh, tentu saja ada. Tapi, orang-orang mau melakukannya, tidak? Kalau banyak larangan, nanti ada yang berkomentar, mana bagusnya, sih, hidup ini? Memang benar ada bagian
di mana gaya hidup memengaruhi kesehatan. Misalnya, bekerja juga termasuk gaya hidup. Saya suka bekerja; saya suka bangun pagi untuk bekerja. Saya menyukai pekerjaan saya. Pekerjaan nggak bikin saya stres. Tapi, ada orang yang stres tiap kali harus bekerja. Mengingatnya saja sudah menjadi beban pikiran.
Oke, selain GP, ada layanan kesehatan lain yang Dokter berikan?
Di tahun 1994, saya mendapatkan Pediatric Diploma in Child Health. Setiap beberapa tahun, saya memang memelajari hal baru. Tahun 2000, waktu Olimpiade diselenggarakan di Sydney, saya baru menyelesaikan Sport Medicine di UNSW dan terpilih sebagai Medical Officer untuk tim Olimpiade Indonesia. Lima tahun kemudian, saya belajar Skin Medicine, memperdalam sedikit. Dan, mungkin selama lima tahun terlibat dalam Aesthetic Medicine setelah memperdalam Skincare. Di tahun 2015, 2016, dan 2017 saya menekuni Medical Aesthetic. Saya juga belajar hal baru supaya otak ini nggak berhenti.
Sebagai seorang dokter, apa kekuatiran terbesar Anda?
Kalau secara pribadi, saya nggak takut dengan apa pun. Saya siap “pergi” dari dunia ini kapan saja. Satu-satunya yang saya kuatirkan adalah meninggal perlahan-lahan. Itu sama sekali yang saya nggak suka. Kalau harus meninggal, saya ingin yang cepat. Saya nggak mau membebani siapa pun. Meninggal perlahan itu sangat sulit dihadapi oleh keluarga.
Bicara tentang kematian, di profesi Anda, ada nggak kehidupan setelah kematian?
He he he, my friend, kita nggak tahu. Tergantung kepercayaan masing-masing.
Para ilmuwan meneliti hal ini dan tidak ada yang menghasilkan kesimpulan.
Yang saya percayai adalah jika saya meninggal, tubuh saya bakal binasa, tapi jiwa
saya pergi ke tempat lain. Jadi, lakukanlah hal yang baik saat masih hidup di dunia.
Itu jauh lebih penting. Jawabannya filosofis, nggak?
Jika hidup Dokter dijadikan buku atau film, titelnya apa yang kira-kira tepat?
“No Title” kayaknya bagus, tuh.
Tadi, kan, ngomongin slow death, jika Dokter dihadapkan pada kesempatan
untuk hidup selamanya, diambil nggak kira-kira?
Saya pikir orang nggak seharusnya hidup terus karena kita harus bisa menghargai waktu yang kita miliki untuk berbuat sesuatu. Saya nggak percaya kehidupan kekal di dunia karena kita nggak seharusnya hidup abadi. Kalau kita bisa hidup dengan baik selama itu, kalau nggak? Kita bisa menghancurkan dunia ini. Satu hal yang filosofis lagi he he he…
Kalau Dokter bisa jadi presiden sebuah negara, apa yang akan Anda lakukan?
Ah, misalkan saya presiden di Indoensia. Karena saya seorang dokter, tujuan saya yang pertama adalah “membersihkan” sistem medis. Terutama disaat pandemi seperti ini. Yang akan saya lakukan adalah mengumpulkan orang-orang terkaya di Indonesia. Saya undang mereka untuk having a good dinner di Istana Merdeka dan mengatakan pada mereka bahwa mereka harus berkontribusi ke masyarakat karena negeri ini sudah memberikan mereka banyak sekali. Sisihkan kekayaan mereka minimal 10% untuk penanganan krisis kesehatan dalam negeri. Kasih uangnya untuk dikelola orang-orang yang sudah teruji nggak korup untuk membangun layanan-layanan dan manfaat-manfaat kesehatan. Terus, mengumpulkan orang-orang medis dan bilang ke mereka untuk nggak memikirkan uang melulu. Bilang bahwa langkah pertama adalah menolong orang lebih dulu. [IM]