Berpesta Demokrasi Untuk Negeri RI

260
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Tanggal 10 Februari 2024 menjadi hari sangat penting bagi diaspora Indonesia di Australia, khususnya di NSW, tepatnya di Sydney. Selain hari selebrasi Chinese Lunar Year, kami juga berpesta demokrasi dengan memilih pasangan capres-cawapres dan anggota legislatif. Seperti apa suasananya?

Hari masih pagi ketika aku dan suamiku bergegas ke Maroubra Junction Public School, tempat diselenggarakannya pemilu 2024 di negara bagian NSW. Tak jauh dari rumah sewaan kami, yang berjarak 15-20 menit saja. Meski pemilu Tanah Air baru akan dilakukan tepat di Hari Kasih Sayang, 14 Februari, yang jatuh di hari Rabu, kami, para diaspora sudah menikmati pengalaman mencelupkan jari di tinta biru, tanda tunai mencoblos, empat hari sebelumnya, 10 Februari 2024.

Jam sembilan pagi, mobil kami menepi untuk parkir di sekolah umum yang ternyata luas sekali. Meski hari terasa malas beranjak siang, spot-spot parkir di sekitar sekolah sudah ‘ada yang punya’. Beruntung, kami mendapatkan parkir sekitar 300 meter dari pintu masuk. Meski masih pagi, ternyata, barisan-barisan calon pencoblos sudah tercipta di bawah aba-aba para relawan yang berpakaian kaus hitam bertanda volunteer.

Barisan ini mengikuti nomor TPS. Kami mencari barisan TPS 11, yang sesuai dengan undangan yang diterima. Jam 9 pagi-12 siang, begitu durasi pencoblosan buat kami. Dan, barisan pun semakin lama semakin panjang. Pertanda, masyarakat Indonesia di NSW masih berminat untuk memberikan suaranya di Pemilu yang sarat drama ini.

Perlahan, barisan kami bergerak maju. Panjang barisan sudah berkelok mengikuti lekuk denah sekolah. Saya melihat Pak Endi Dharma, bos pabrik ayam potong di Mascot, tengah sibuk tapi santun menyambut tamu penting. Beliau adalah ketua Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) Sydney 2024. Gerak geriknya terbaca sangat sigap. Bukan hanya Pak Endi yang sigap dan tampak ramah menyambut para voters. Para sepuh dan disabilitas tentu diberi prioritas.

Seorang relawan berkacamata dan rambut kriwil mencoba menjelaskan dengan hati-hati kepada seorang bapak tua mengapa tidak bisa begitu saja datang mencoblos kalau belum mengisi formulir (online) pindah wilayah pencoblosan. Ah, masak, sih? Tanya saya dalam hati setelah menguping pembicaraan itu. Segeralah jemari ini mencari tahu di Google, dan eh, benar, lho. Ternyata butuh 10 hari memproses pindah tempat pencoblosan, dan itu pun dikasih rentang waktunya. Bapak tua itu pun terlihat kecewa… saya juga, meski aturannya demikian. Kenapa, sih, nggak dibuat simpel?

Pemilu jelas bukan kegiatan yang mudah. Perlu banyak konsolidasi yang sangat kompleks mengingat begitu kritisnya hasil yang diperoleh. Hmm, bagaimana membuatnya lebih ringkas? Mari kita serahkan saja ke KPU. Sekarang, kembali fokus mengantri nomor urut. Oh, karena itulah kami harus mengantri dengan tertib.

Seorang perempuan panitia sibuk memencet-mencet sebuah mesin yang mirip ATM agar bisa mencetak nomor urut. Sebelumnya, paspor dan undangan via suret dicek lalu diarahkanlah ke si ‘mbak’ manis untuk mendapatkan nomor urut. Saya kebagian nomor 19, suami 18. Beluuum, barisan belum bubar jalan dulu karena harus melalui pengecekan tas bawan.

Selepas itu, orang-orang mulai celingak-celinguk mencari nomor TPS yang dituju. TPS saya adalah sebuah aula serba guna yang berada paling ujung, dekat lapangan terbuka. Beberapa TPS yang saya lalui sudah diantri calon pemilih. Wajah-wajah familiar satu persatu mulai berpapasan, menanyakan lokasi TPS dan nomor urut, disertai “Eh, apa kabar?” Meski sudah ramai, tapi tertib karena calon pemilih duduk manis di sana-sini dan panitia tengah sibuk bersiap, TPS 19 masih belum dibuka. Katanya, para saksi harus mencoblos duluan di TPS lain agar bisa bertugas. Iya, deh. Saya jadi punya waktu untuk berkeliling memerhatikan suasana.

Masyarakarat Indonesia di NSW yang terpantau mengikuti jalannya pemilu cukup ramai. Dilansir dari SBS Australia, Juliati Maria Umboh, Ketua Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Sydney – yang juga meliputi wilayah Queensland dan Australia Selatan selain New South Wales – secara tertulis menyampaikan bahwa jumlah total Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai 14.126 orang, dengan tambahan surat suara cadangan sebesar 2% dari total DPT yang tersebar di tiga negara bagian tersebut.

Selain itu, terdapat 1.279 pemilih dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK). Menurutnya lagi, di luar perhitungan suara melalui pos, tingkat partisipasi DPT di NSW diperkirakan mencapai sekitar 40%, Queensland mencapai 93% dan Australia Selatan mencapai 100% dengan seluruh kertas suara terpakai.

Yang unik, pemilu kali ini bertepatan dengan perayaan Imlek, sehingga warna merah menyala cukup mendominasi keramaian. Tak sedikit pula masyarakat yang datang dengan pakaian cheongsam yang sangat menarik. 

Selain itu, yang menarik perhatian saya juga, ada juga yang datang dengan kostum batik modern, pakaian Jawa lengkap dengan blangkonnya, seperti ingin menunjukkan bahwa identitasnya tetap Merah Putih meski puluhan tahun sudah menetap di Australia.

Tuti Putra dan suaminya, salah satunya. Pasangan yang bermukim di Glebe ini sudah 40 tahun tinggal menjadi diaspora, dan mereka sangat semangat mengikuti pemilu dan berharap Indonesia semakin sukses dan makmur. Saya cukup termenung setelah melihat kenyataan bahwa angka pemilih turun drastis dan berandai-andai akan sebuah sistem denda yang diterapkan pemerintah Australia jika warganya golput.

Kembali ke TPS, saya bertemu dengan another super important person! Bapak Agus Abdul Majid adalah Atase Imigrasi yang berkantor di KJRI Maroubra. Pak Agus datang ke TPS yang sama dengan saya bersama istrinya yang cantik beserta putrinya. Mereka pun menunggu antrian bersama saya, lho.

Selang menunggu kurang lebih 30 menit, saya dan suami bersiap mencoblos. Seperti biasa, setelah diperiksa kelengkapan data dan identitas, tanda tangan ini itu sejenak, kami dipersilakan masuk ke kotak suara. Blos! Done! Celupkan kelingking ke botol tinta pemilu tanda sudah berpartisipasi. Kami pun bersiap pulang.

Tak lupa juga untuk melihat-lihat bazaar yang berlokasi di lapangan rumput, tepat di sebelah aula TPS saya. Berbagai tenda makanan Indonesia yang telihat enyak-enyak membuatnya sudah diantri mereka yang sudah mencoblos. Meski jam sudah bergeser ke angka 10.30, tapi banyak tenda yang belum berdiri. Heummm, saya membatin sedikit bertanya, “Apakah dapat diskon kalau menunjukkan kelingking biru ini?” [IM]

Previous articleThomas & Fenie: Belajar Menjadi Global Co-Preneur
Next articleAisha Goodman: Generasi Muda Yang Pantang Menyerah Meraih Impiannya