Cobalah google restoran ini.
Anda akan dibuat terkejut
oleh jempol, bintang, dan pujian yang diberikan kepadanya.
Oh ya, tentu saja ada yang tidak setuju, meski seakan tenggelam di antara pujian. Namanya juga kan bisnis cita rasa, kalau nggak dicicipi sendiri pasti nggak “sah”. Untuk membuktikannya, INDOMEDIA melipir ke selatan kota Sydney. Penhurst, here we come!
Dari stasiun kereta Penhurst, restoran ini hanya berjarak kurang dari 5 menit saja berjalan kaki. Dari luar, restoran yang buka jam 5 sore sampai 9 malam ini adem ayem saja. Mengintip dari luar–karena belum buka, tidak tampak meja-bangku seperti halnya setting-an restoran. Hmm… Dalam hati saya bertanya-tanya, “Gimana makannya?”
Pertanyaan itu langsung terjawab beberapa saat saya melangkah masuk ke dalam restoran yang ternyata panjang ke belakang itu. Oh, dapurnya di depan dan ruangan makannya di belakang. Meski tidak banyak (banget) menampung pengunjung, ruang makan restoran ini sangat mengobati rasa kangen restoran-restoran di daerah Kota yang tidak banyak pernak-pernik dan sarat rasa “tempo doeloe”. “Banyak pelanggan bule kami yang bilang bahwa makan di restoran kami mengingatkan mereka dengan Jakarta. Mereka senang sekali makan di sini meski tempatnya seperti ini,” jelas Susanti Affandi Lim, pemilik sekaligus koki dan waitress saya saat itu. Ia dan suaminya, Ridwan Layantara,
adalah tuan rumah yang ramah, hangat, dan generous!
Dengan suaranya yang lembut, Susan–begitu beliau diakrabi, bercerita bagaimana restoran kecilnya berdiri. Bermula dari ibunya yang berjualan ayam bakar dengan nama yang sama, lalu ketujuh anaknya juga membuka cabang-cabangnya. “Kami tujuh bersaudara memiliki restoran ini masing-masing. Termasuk saya sekarang di Sydney.
Nah, nama ayam bakar ini sederhananya diambil dari jumlah anak orang tua kami.
“Resto pertamanya dibuka di Teluk Gong, Jakarta Utara, tahun 1978. Pagi ke siang restorannya yang dekat pasar punya menu chinese food–bakmi, cap cay, dll.
Malamnya, kami pindah ke kaki lima, di pinggir jalan raya Teluk Gong, berjualan
ayam bakar. Lalu, pindah ke dalam gang dan dibuatlah rumah makan di situ,
sekaligus tempat tinggal. Sampai hari ini masih ada.”
Setelah menikah dengan Ridwan, Susan diboyong ke Sydney. Saat putranya lahir, Susan bertekad menjadi ibu penuh waktu. Di sisi lain, ia tahu bahwa hidup berkeluarga dengan satu sumber penghasilan susah bukan main. Dengan tekad kuat dan berserah pada Tuhan, ia menggali kembali nilai-nilai hidup yang ditanamkan orang tuanya saat membantu mereka berjualan di pinggir jalan. “Saya nggak pernah malu. Saya bahkan bangga, padahal saat itu saya kuliah. Saya undang teman-teman kampus untuk makan di
warung kami. Ada kebanggan tersendiri bahkan,” kenangnya. Dan, “Luar biasanya,
nggak sekalipun orang tua menyuruh kami melakukannya. Kami semua bergotong royong membantu mereka karena kemauan sendiri.” Tentu saja, hasilnya, Susan dan enam saudaranya punya “modal” yang lebih dari cukup untuk membuka waralaba Ayam Bakar 7 Saudara ini; 1 di Sydney, 6 di Jakarta.
Kisah ayam bakar 7 Saudara di Sydney dirajut perlahan tahun 2003, saat putra Susan berusia 2 tahun dan mulai masuk pre-school. Bermodalkan nekat dan percaya diri, ia membuka usaha “rantangan”. “Tiga hari dia sekolah, saya buka rantangan. Sering juga suami membantu. Pelanggannya juga didapat dari mulut ke mulut. Lumayanlah bisa sampai 20 rantang. Pelanggan suka masakan saya karena nggak pakai MSG dan bercita rasa home-made. Sampai sekarang ini, makanan di restoran juga tidak pakai MSG.
“Singkat cerita, saya menjalani rantangan selama 3 tahun. Lalu, saya mulai jualan ayam bakar. Suami dan keponakan membantu saya bakar ayam dengan bakaran dari batu bata! Sedih, sih, mengingat masa-masa itu. Tapi, harus saya akui ada kebanggaan tersendiri. Hal itu mengajarkan kami untuk tidak sombong.” Ayam bakar mereka mendapat pesanan luar biasa banyak untuk acara-acara khusus. Hal itulah yang mendorong mereka untuk kemudian membuka restoran sendiri.
“Wah, itu tantangannya memang banyak sekali terutama biaya, tentunya. Kami mendapat tempat ini juga luar biasa. Kami memang sudah berencana punya restoran, tapi belum tahu di mana. Maunya, kan, di tempat yang strategis. Suatu hari, suami saya pulang kerja beli fish and chips di tempat ini–sebelumnya “warung fish and chips”. Si pemiliknya bilang mau jual dan akhirnya suami saya memberanikan diri untuk bikin penawaran, dan di sinilah kami sampai enam tahun kemudian,” kenang Susan sambil tertawa. Oh, itulah mengapa di depan restoran saya sempat bingung dengan adanya tulisan tulisan Fish
and Chips bercat biru di atasnya. “Ah, kalau mau dihapus malah lebih besar biayanya.
Ya, sudahlah…” Ah, menurut saya malah unik.
Nah, sekarang, mari kita eksplor menu-menu yang mendapat jempol, bintang, dan komentar-komentar positif dari media dan pelanggan. The biggest star of the menu tentunya adalah ayam bakar. Dan, ternyata benar adanya. Daging lembut, cita rasanya manis dan gurih. Enak sekali. Saya bukan tipe penyuka ayam bakar, baik di Indonesia maupun di sini. Tapi, mencicipi ayam bakar di sini membuat saya harus berpikir lagi.
Teman makan ayam bakarnya ada nasi uduk. Bersiaplah nambah nasi karena rasanya legit banget. Kurang kalau satu! Sate ayam, gado-gado (ini juga juara rasanya, lho), dan soto betawi menjadi hidangan yang harus dipesan kalau ke sini. Dan, sambal… ya, sambalnya bikin banyak pelanggan Indo ketagihan. Dan, beruntung, Susan dan Ridwan sangat berbaik hati memberikan sambal. Kurang, silakan tambah tanpa bayar! How generous! Bakso goreng sebagai pembuka dan es cendolnya sebagai penutup juga jangan lupa untuk dicoba yah. Untuk variasi makanan lainnya, silakan langsung datang dan liat di menunya. [IM]
Ayam Bakar 7 Saudara
34 Penshurst Street, Penshurst
Phone: (02) 9580 2008