Dua pasangan ini berhasil melangsungkan pernikahan mereka meski harus mengubah banyak rencana. Meski demikian, pernikahan ini tak kurang sakral dan syahdu. Selamat kepada para pengantin!
Heri Prabowo/Balon (33) dan Joanna Meijer (27)
Kapan dan di mana pertama kali bertemu?
Tahun 2011 di Universitas Indonesia sebagai senior dan junior di fakultas yang sama. Hari (Balon) pertama kali melihat Joan di kantin, namun perkenalan pertama terjadi setelah itu.
Kapan merasa “dialah orangnya” dan mengapa “dia”?
Balon: Ketika kesempatan untuk terhubung kembali dan berkomunikasi dengan Joan muncul untuk yang kedua kalinya di awal tahun 2018. Alasannya, karena saya yakin Joan dapat membantu saya untuk mengenal kebenaran Firman Tuhan dan akan selalu bahagia bila bersama dengannya.
Joan: Awal tahun 2019, ketika saya menyadari bahwa saya tetap mengasihi dia sekalipun saya telah mengetahui kelemahan dan kesalahannya. Alasannya, karena Balon adalah pribadi yang lemah lembut dan mau dibentuk menjadi lebih baik, kami juga punya karakter yang berbeda, sehingga akan saling melengkapi.
Kapan mulai merancang pernikahan?
Joan: Setelah meninggalnya papa angkatku, sekitar bulan Juni atau Juli 2019. Awalnya, Balon berencana kami menikah sekitar akhir tahun 2019, tapi karena waktu persiapan yang dirasakan singkat dan proses di gereja yang pasti akan membutuhkan waktu, aku mengusulkan untuk diadakan di tahun 2020. Kami menentukan tanggalnya, yaitu 4 April 2020. Kami mempersiapkan pernikahan bersama-sama, mulai dari acara lamaran dan segalanya. Semua vendor kami hubungi dan tentukan bersama, tanpa ada bantuan dari wedding organizer, keluarga, dan kerabat.
Awalnya, bagaimana bayangan kalian tentang pernikahan kalian?
Kami memiliki selera yang cukup unik dan pernikahan yang kami persiapkan sangat berbeda dibandingkan dengan konsep pernikahan lain pada umumnya. Kami membayangkan pernikahan yang penuh warna dan tawa, namun tetap intim. Kami memilih tema festival, sehingga memilih lokasi pernikahan outdoor. Kami juga memikirkan hashtag yang akan kami gunakan, maka lahirlah #BaJojadiBojo.
Bagaimana perasaan kalian begitu tahu rencana itu tidak bisa berjalan seperti yang diinginkan? Apa respons kalian dan keluarga? Apakah ada tentangan atau ide untuk malah menunda sampai kondisi memungkinkan?
Sempat terlintas juga untuk menunda waktu pernikahan, namun ide itu ditolak Balon. Sehingga, pilihan untuk menjalankan prosesi sakral terlebih dulu menjadi pilihan yang tepat untuk kami, dan kami pada akhirnya bisa menerimanya dengan lapang dada dan sukacita.
Bagaimana menyesuaikan tempat, bujet, undangan, dan emosi kalian saat itu? Bagaimana kalian berdiskusi (bertemu) dan mengatur rencana yang baru ini?
Pastinya keadaan ini cukup mengejutkan sekaligus melelahkan. Tidak pernah terpikir bahwa H-1 minggu pernikahan, kami masih harus mencari lokasi untuk melangsungkan pemberkatan. Pasalnya, tempat awal kami melangsungkan pemberkatan tutup, padahal kami sudah membuat dan menyebarkan undangan digital.
Secara umum, tidak terlalu banyak konflik teknis yang terjadi di antara kami. Diskusi mengenai tempat, undangan, dan budget tidak terlalu menjadi persoalan. Kami saling mengerti satu sama lain. Balon sangat mengerti bahwa aku sangat detil. Aku juga mencoba untuk mendiskusikan segalanya dengan Balon supaya tidak ada miskomunikasi. Kami hanya mau semuanya berjalan lancar di hari H. Yang terpenting untuk kami adalah prosesi sakral yang dapat berjalan di hari H. Ini menjadi pengalaman yang tidak terlupakan untuk kami berdua.
Di hari H, bagaimana kondisinya? Di mana kalian menikah? Berapa orang yang datang (selain kalian dan pendeta yang menikahkan)?
Akhirnya, setelah proses yang cukup panjang, kami mendapat sebuah kedai kopi untuk melangsungkan pemberkatan. Sebenarnya, tempat itu juga tutup sementara waktu, namun pihak manajemennya ingin menolong kami berdua, sehingga tanggal reservasi untuk melangsungkan pemberkatan kami tetap diizinkan, dengan syarat mematuhi protokoler kesehatan dan keamanan.
Sekalipun intim dan dilakukan saat pandemi corona, kami mencoba untuk menarik perhatian orang-orang yang masih terhubung dengan kami melalui media sosial, dengan memberikan informasi mengenai undangan online ibadah pemberkatan kami berdua. Yang hadir secara fisik di hari H memang hanya kami berdua, pendeta, orangtua, keluarga inti, maid of honor, best man, dan tim photographer kami, namun kami memiliki ratusan tamu virtual yang menyaksikan prosesi sakral kami lewat intagram live yang sudah kami informasikan sebelumnya (respon yang kami terima luar biasa dan di luar ekspektasi). Pernikahan kami berjalan dengan lancar dan sangat menyenangkan.
Bagaimana dengan proses catatan sipilnya?
Kami telah melengkapi dokumen ke catatan sipil H-1 bulan sebelum pernikahan, namun karena pandemi corona, catatan sipil memutuskan untuk tidak melayani pernikahan di kantor maupun secara langsung ke lokasi pernikahan sampai isu pandemi usai. Kami akan mengurus catatan sipil langsung ke kantor catatan sipil setelah mereka membuka kembali layanannya.
Setelah menikah, bagaimana perasaan kalian?
Kami berbahagia dan menikmati keluarga baru kami, ditambah dengan isu pandemi corona ini maka kami lebih memiliki waktu berkualitas, karena pekerjaan kami dapat dilakukan di rumah.
Pelajaran apa yang bisa kalian tarik dari momentum ini?
Melalui situasi ini, kami berdua sangat belajar untuk menjadi tenang, tidak terbawa suasana dan menjadi negatif. Kami menjaga semangat dan pikiran positif kami. Bagi kami kondisi yang kelihatannya buruk, tidak dapat menjadi halangan untuk kami. Sekalipun prosesi sakral sudah dilaksanakan, kami tetap memiliki harapan untuk merayakan moment bahagia ini bersama dengan keluarga dan tamu-tamu kami di waktu yang lebih tenang dan tepat.
=================================
Gorgina Turangan (27) dan Emir Hamdan (28)
Kapan dan di mana pertama kali bertemu?
Teman SD, ketemu saat sekolah, sebangku saat kelas 5 SD
Kapan merasa “dialah orangnya” dan mengapa “dia”?
Karena kami merasa nyaman satu sama lain, sama-sama mau berjuang untuk hubungan kami dan memiliki komunikasi, keterbukaan dan percaya satu dengan yang lain.
Kapan mulai merancang pernikahan?
Kami merencanakan untuk menikah sejak awal masa pacaran, karena kami berpikir bahwa kami tidak ingin membangun hubungan yang tanpa tujuan. Namun, untuk pengurusan dan rencana acara waktu persiapan kami cukup singkat. Kami mulai dengan memberitahu orang tua, lalu mengajukan untuk pemberkatan dari gereja dimana kami berjemaat. Selagi masa konseling pranikah, kami mulai merencanakan acara, mencari tempat, membeli cincin pernikahan, fitting baju, membuat dan menyebarkan undangan dan lain sebagainya.
Awalnya, bagaimana bayangan kalian tentang pernikahan kalian?
Kami merencanakan pernikahan yang dihadiri keluarga dan para sahabat, baik sahabat kami maupun sahabat-sahabat dari orang tua kami dikarenakan kami berdua adalah anak tunggal, tentunya kami ingin acara kami menjadi perayaan sederhana yang intim namun berkesan bagi kami dan keluarga. Kami membayangkan akan melaksanakan acara di tempat yang cukup luas, strategis dan penuh dengan dekorasi.
Bagaimana perasaan kalian begitu tahu rencana itu tidak bisa berjalan seperti yang diinginkan? Apa respons kalian dan keluarga? Apakah ada tentangan atau ide untuk malah menunda sampai kondisi memungkinkan?
Perasaan kami tentunya kecewa dan bingung, undangan sudah disebar dan beberapa sudah dibayar. Wabah ini membuat kami tidak bisa melakukan pernikahan yang sesuai dengan ekspektasi kami di awal. Namun demikian kami berusaha tetap tenang dan memikirkan plan berikutnya. Keluarga cukup panik dan takut, dengan terus updatenya berita dan jumlah korban Covid-19 tentunya juga menambah kepanikan keluarga. Akan tetapi kami memutuskan untuk tetap menjalani pernikahan kami walaupun hanya bisa pemberkatan singkat dan dihadiri keluarga inti saja. Kami berpikir bahwa untuk perayaan lebih besar/ resepsi dapat dilakukan dikemudian hari. Percaya dan tetap mempersiapkan yang terbaik untuk pemberkatan sederhana kami agar tetap berjalan adalah hal yang kami lakukan.
Bagaimana menyesuaikan tempat, bujet, undangan, dan emosi kalian saat itu? Bagaimana kalian berdiskusi (bertemu) dan mengatur rencana yang baru ini?
Tempat terpaksa membatalkan dan meminta maaf kepada kami karena tidak bisa menyelenggarakan pernikahan kami. Dalam waktu yang sangat amat singkat kami harus mencari tempat baru saat memutuskan untuk tetap menjalankan pemberkatan pernikahan kami. Kami sangat bersyukur karena kami mendapatkan tempat yang bertempat cukup strategis dan mendapatkan izin untuk pemberkatan kami. Untuk budget tentunya berkurang dari perkiraan kami dikarenakan penurunan jumlah tamu undangan. Dikarenakan situasi dan pembatalan pihak vendor kami tetap mendapatkan pengembalian dana kami. Untuk undangan pun kami terpaksa harus menginformasikan bahwa adanya pembatalan acara terkait situasi saat ini. Hampir setiap hari kami berkomunikasi dan bertemu untuk mengatur rencana baru kami. Kami tetap mempersiapkan yang terbaik dan terus berdoa agar acara pemberkatan tetap bisa berjalan. Kami juga sangat bersyukur karena baik keluarga besar maupun teman dekat kami sangat mendukung keputusan kami dan dengan adanya perkembangan teknologi saat ini, hal tersebut memudahkan kami dalam pengurusan persiapan pemberkatan kami.
Di hari H, bagaimana kondisinya? Di mana kalian menikah? Berapa orang yang datang (selain kalian dan pendeta yang menikahkan)?
Di hari H, acara dihadiri keluarga inti, perwakilan keluarga dan sahabat yang membantu prosesi (WL, MC, Pemain musik, dan fotografer). Total yang hadir diluar mempelai dan pendeta adalah 13 orang. Kami menikah di ruko dengan dekor dan sound system sederhana.
Bagaimana dengan proses catatan sipilnya?
Catatan sipil menyusul, belum kami urus karena situasi ini banyak kantor yang tutup dan ruang gerak kami terbatas untuk pergi.
Setelah menikah, bagaimana perasaan kalian?
Sangat lega dan bahagia karena acara dapat berjalan dan disaksikan keluarga inti dan sahabat kami. Walaupun kami tahu setelah ini banyak “PR” yang masih harus kami kerjakan untuk pengurusan akte nikah dan lainnya.
Pelajaran apa yang bisa kalian tarik dari momentum ini?
Dengan situasi ini kami jadi lebih belajar untuk berserah dan lebih mengerti soal pengurusan pernikahan karena kami mempersiapkan hampir semuanya sendiri. Di awal, kami memang mengimpikan pernikahan dan perayaan sederahana, namun yang terjadi adalah pernikahan hanya dilakukan dengan pemberkatan yang dilakukan cepat dan sangat sederhana. Tentunya, kami juga belajar mengambil keputusan di saat mepet, lebih tenang, dan mengerti bahwa esensi pernikahan itu sendiri bukan sekadar perayaan dan seseruan saja, tapi bagaimana kami merayakan sesuatu yang sakral, singkat, namun sangat bermakna dan berkesan bagi kami. [IM]