Merdi Sihombing

940
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Kepala Lokomotif Produk Budaya Fashion Indonesia

Dunia mengapresiasi Merdi melalui disain tenun yang elok, detail, dan mahal.
Meski dikenal sebagai pemberontak, tapi karyanya selalu menarik perhatian khalayak luas. Di luar itu, ternyata belum banyak yang tahu kalau Merdi aktif memberdayakan pengrajin tenun di pedesaan. Kini, mereka lebih siap dan cekatan merampungkan berbagai pesanan dalam jumlah besar. Masker tenun adalah rezeki dadakan yang membawa untung segar
di masa pandemi.

Siapakah Merdi Sihombing?
Merdi Sihombing adalah seorang pekerja kreatif yang sangat concern terhadap budaya, lingkungan dan program sosial. Merdi bukan hanya dikenal sebagai seorang fashion designer, tapi track-record-nya dalam membangun pemberdayaan masyarakat sudah dikerjakan sejak tahun 2001 sampai sekarang.

Dalam memberdayakan masyarakat, program apa yang Anda terapkan?
Saya melakukan program padat karya dan mengajarkan para pengrajin agar dapat menghitung harga dasar dan menciptakan manajemen rantai pasok yang dinamis.
Program padat karya merupakan suatu program kegiatan pembangunan yang
didominasi oleh tenaga manusia dibandingkan dengan tenaga mesin.

Tujuan dari program itu adalah langkah dalam menciptakan lapangan kerja bagi
setiap masyarakat, khususnya yang tidak memiliki penghasilan dan pekerjaan tetap. Program ini juga ditujukan dalam menekan angka pengangguran dan mengurangi kemiskinan. Alasan dari pembangunan ekonomi secara merata adalah untuk
mengurangi kesenjangan yang dapat terjadi antara perkotaan dan pedesaan.

Seperti apa dampak pandemik Covid-19 terhadap bisnis Anda di tahun 2020?
Bagi saya sendiri, pandemik Covid-19 malah mendatangkan keajaiban. Mungkin ini jawaban dari perjalanan. Saya selalu bekerja memberikan dulu, pasti kamu akan menerima. Ini adalah ketiga kalinya saya menerima rezeki ketika orang kesusahan
— di masa krisis 1998, 2008, dan sekarang. Terus terang saya malah kebanjiran
rezeki yang luar biasa.

Dapatkah disampaikan bisnis apa yang membuat Anda kebanjiran rezeki?
Saya memroduksi masker bersama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan
tema laku hidup lestari atau sustainable lifestyle. Gerakan penanganan sampah dan pembuatan masker sebanyak 2,3 juta buah yang dikerjakan oleh timnya (total ada
27 juta masker), melibatkan 9 Agregator dan UMKM serta dibantu oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Koperasi.

Melalui program pengadaan masker, bukan hanya bagaimana kita memutus mata
rantai virus Covid-19, tapi di dalam ini banyak sekali problem yang harus kita bawa,
salah satunya adalah Program Sosial Ekonomi. Kita, kan, sedang resesi, dan uang itu
harus sampai ke pengrajin-pengrajin. Dari satu masker saja, banyak keterlibatan manusia — pengrajin batik atau kain tenun, itu sudah berapa orang? Waktu dijahit, ada tukang jahit, tukang potong, tukang pola, tukang bersihkan benang… Tantangannya luar biasa. Namun, untuk Merdi Sihombing, nggak ada cerita. Semua delivered.

Siapa saja yang mengerjakan masker?
Untuk membuat masker, kami melibatkan 20 orang tunadaksa di DI Yogyakarta,
yang sebagian besar adalah para atlet paralympik. Secara total, dihasilkan 1.279.905
buah masker yang melibatkan para pengrajin batik dan tenun di DI Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Saya juga merasa senang dan bersyukur karena bisa turut membantu
roda perekonomian UMKM dan kaum difabel kembali bergerak.

Bagaimana Anda membawa diri secara luwes di belantara bisnis dunia?
Kalau kita mau berada di tatanan premium, kita harus sadar diri kita ini siapa.
Saya selalu mempergunakan Analisis SWOT untuk pengembangan pribadi.
Poin Strength-ku adalah punya banyak teman artis top, itu sudah modal yang
sangat kuat. Saya punya latar belakang sebagai disainer busana yang dulu cukup
dikenal membuat kebaya dan beragam karya lainnya.

Lalu apa saja “Weaknesses” seorang Merdi Sihombing?
Kelemahan saya adalah tidak punya duit. Saya bukan orang kaya, dan untuk menjadi disainer di Indonesia memang harus kaya. Karena untuk menjaga eksistensi dan pengakuan pasar, jelas membutuhkan amunisi yang amat besar. Yang harus dimiliki bukan hanya modal kerja. Sebagai disainer, kita harus punya kegiatan tahunan yang disebut Annual Show (Show Tunggal). Kegiatan ini membutuhkan uang dalam bilangan miliar. Sebagai disainer, kita harus cerdas melihat situasi yang terjadi di global dan beradaptasi atas apa yang kita punya di Indonesia. Sehingga dari situ, saya bisa membuat estimasi langkah terbaru yang terukur.

Kenapa Anda selalu memikirkan orang lain, padahal Anda tidak punya banyak uang?
Hidup ini cuma sekali dan kembali ke agama masing-masing. Nomor satu adalah mari berikan dulu apa yang kamu miliki, maka setelahnya pasti kau akan diberikan lebih.
Ketika kita punya kelebihan, misalnya kita lebih pintar dari orang lain, kita harus menjadi guru buat mereka. Saya punya prinsip, harus menerangkan orang, terutama keluarga. Sebagai seorang Kristiani, kami memberikan “perpuluhan”. Bagi saya, kebiasaan ini
bukan hanya perihal materi saja, juga mengedukasi orang banyak dan siapa pun yang membutuhkannya. Saya tidak mau hitung-hitungan dalam hidup ini.

Anda terlahir sebagai Orang Batak yang cukup dekat dengan Ulos. Bagaimana tanggapan Anda atas sentimen negatif yang menilai Anda tidak lentur mengupas kain dari budaya lain?
Saya sudah membuktikan bahwa bekerja bukan hanya dengan kain Batak saja, tapi dengan semua kain di Indonesia. Aku memang beruntung punya darah Batak yang tidak pernah kenal kata menyerah. Spirit orang Batak adalah tidak boleh menjadi orang kedua. Ketika kita keluar dari kampung, kita tidak boleh kembali kalau tidak berhasil. Mungkin kalau saya bukan orang Batak, saya tidak akan seperti ini. Juga, berkaitan dengan idealisme kreatif, kalau ingin maju sebagai trendsetter, kamu harus punya jiwa seperti itu.

Apakah negara hadir di perjalanan panjang Merdi Sihombing?
Di awal-awal, tidak. Saya sangat maklum atas sistem yang terbentuk sudah menjadi baku dan sulit untuk diubah. Saya menyadari atas situasinya dan tetap berjalan sampai pada satu masa, negara minta pendapat dari saya atas eksistensi di tataran global. Contohnya adalah bagaimana orang kreatif dari negara tetangga bisa wara-wiri di pasar global sementara kita tidak. Saya menjelaskan perbedaan karakter diaspora negara tetangga terhadap dunia fashion.

Bagaimana diaspora itu bisa punya Fashion Week di Los Angeles, Las Vegas, dan New York. Negara dan swasta di sana sudah sadar kalau fashion adalah bisnis yang menjanjikan. Kalau kita, kan, nggak. Fashion itu masih sebatas tontonan. Makanya, jujur aja, Fashion Week di sini murni entertainment, bisnisnya malah tidak ada. Makanya, setiap saya diminta, saya langsung bertanya, “How much you pay me for my performance?”. Saya minta uang. Kalau tidak sanggup, ya, tidak apa-apa. Saya bisa bikin show saya sendiri, dan bisa show di luar negeri juga.

Dengan jawaban seperti itu, apakah Anda lantas dinilai sebagai
pemberontak dan lain-lain?

Saya memang dianggap sebagai pemberontak, dan, memang, saya memberontak.
Peran saya dalam dunia fashion ini adalah sebagai tokoh antagonis dan pemberontak.
Tapi, saya tunjukkan kalau saya punya kapasitas.

Perubahan konstruktif apa yang harus diagendakan oleh Pemerintah bersama stakeholder-nya?
Indonesia harus menyadari kalau kekuatan kita untuk bisa bicara industri fashion
di tataran global hanya dengan produk-produk budaya. Ini saja dikemas dulu dan konsisten. Jadi, branding-nya dapat.

Begitu banyak brand fashion dunia hadir di Jakarta. Apakah mereka kalian anggap musuh? Atau, apakah ada kerjasama yang bisa dilakukan bersama?
Tidak ada kata enemy, musuh sekalipun bisa menjadi rekan bisnis sepanjang saling menguntungkan. Mari kembali saat UNESCO, pada 2 Oktober 2009, mengakui Batik sebagai Intangible Cultural Heritage dari Indonesia. Ada beberapa disainer menikmati momen itu dengan menyertakan batik dalam rancangannya, yaitu Dries van Noten (Belgia), Ek Throngprassert (Thailand), dan Milo Milavica (Italia). Apa yang dilakukan mereka keren, “pecah” sejadi-jadinya.

Sayangnya, momentum ini tidak bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah. Pemerintah
yang mana? Ya, orang Kementerian Luar Negeri yang mengurusi diplomasi budaya.
Mereka harus berpikir kalau budaya itu harus menjadi nilai ekonomi. Jangan tari-tarian saja yang berulangkali didemonstrasikan di luar negeri. Ketika mengekspos produk budaya, maka rakyat di pelosok-pelosok akan hidup.

Bagaimana agar kita bisa lebih cepat mengoptimalisasi produk budaya
di dunia fashion?

Terus terang kita kekurangan banyak orang seperti Merdi Sihombing di Indonesia. Makanya, kita harus memulai dari disainer masa depan yang masih bersekolah untuk dibuatkan inkubator. Atau, kita menggandeng para lulusan baru. Kemudian, inkubator yang kita harus miliki formatnya adalah Fashion Institute of Technology. Teknologi itu sangat penting untuk pengembangan dunia fashion. Kita belum punya dan harus punya
di Indonesia. Sekarang adalah waktunya para disainer muda. Yang tua-tua sudah selesailah. Saya pun sangat siap menjadi apprentice. [IM]

Interview & Photo by: AldoSianturi

Previous articleSuara Indonesia Dance Mempersembahkan INDOKIDS Fest 2021
Next articleMaria Stefanie