Kendaraan saya perlahan memasuki wilayah Singkawang. Kiri kanan jalan sudah dihiasi dengan lampion merah yang semakin mempertegas Singkawang sebagai pecinan terbesar di Indonesia. Etnis Tionghoa yang mendiami Singkawang menyebut kota ini dengan nama San Keuw Jong, sementara julukan yang diberikan untuk kota ini adalah Kota Seribu Kelenteng karena hampir di setiap sudut dan sepanjang jalan berdiri kokoh bangunan tempat persembahyangan berbagai ukuran. Semuanya bersolek menyambut perayaan Cap Go Meh yang akan berlangsung. Semuanya berhias dengan dominasi warna merah di seluruh penjuru negeri.
Cap Go Meh sendiri adalah perayaan lima belas hari setelah Imlek. Hari puncak rasa syukur atas segala rejeki yang didapat setelah tahun baru, seperti perayaan keagamaan lainnya, Imlek dan Cap Go Meh dirayakan besar-besaran bagi sebagian besar suku Hakka yang mendiami kota ini. Tahun ini Singkawang mempersiapkan Cap Go Meh dengan memecahkan tiga rekor MURI. Ada Pemasangan lampion terbanyak (20.607 lampion), Pawai Tatung Terbanyak (1.129), dan Gerbang Cap Go Meh Terbesar (Tinggi 6 meter, lebar 16,20 Meter).
Tatung, eksotisme mistis ala Singkawang
Dari berbagai sumber yang saya baca, Tatung sendiri merupakan akulturasi asli budaya Tionghoa Indonesia khususnya Singkawang yang justru tidak ditemui di negeri nenek moyang. Tatung dalam bahasa Hakka berarti orang yang dirasuki roh, dewa, leluhur, atau kekuatan supranatural. Pawai tatung di Singkawang ini merupakan yang terbesar di dunia. Saya sempat mengintip persiapan para tatung ini di sebuah Vihara, pinggiran kota Singkawang. Perbincangan saya dengan Pak Abuy, salah satu anggota yayasan yang menaungi kelenteng Hiap Thian Kiong mengatakan “Nanti ada pendeta yang akan panggil roh orang baik yang akan masuk ke dalam tatung. Tunggu selesai mereka pakai baju dan dibawa kesini”. Saya juga baru memahami kalau tatung harus berpuasa selama tiga hari sebelum acara berlangsung dan mereka juga harus vegetarian. Pak Abuy juga menyampaikan bahwa sebelum acara ini berlangsung sudah ada ritual pembersihan kota agar semua yang jahat pergi dan acara pawai berlangsung meriah.
Dari kejauhan saya melihat arakan tatung mulai bergerak menuju kelenteng untuk memulai ritual pemanggilan roh. Arakan panji berbagai warna dan bentuk berada paling depan lalu diikuti oleh barisan anggota pawai berseragam merah hitam baru kemudian tatung beserta asistennya dan pembawa tandu. Mereka setengah berlari menuju kelenteng dan mulai melakukan ritual. Seorang pendeta mulai membunyikan lonceng kecil, menaburkan uang kertas, membakar dupa dan uang kertas. Mulutnya komat kamit seraya memutar-mutarkan dupa ke tubuh dan wajah tatung. Beberapa kali asisten tatung menyipratkan air menggunakan seikat daun. Beberapa kali tatung bergerak mulai tidak wajar, badannya seperti bergetar, bola mata hitamnya menghilang keatas sementara tangannya seperti melakukan gerakan-gerakan doa. Aura mistis mulai terasa, sayangnya saya tidak bisa bertahan lama karena harus menuju jantung kota Singkawang agar bisa berada di tribun yang sudah saya pesan tiketnya.
Selama perjalanan saya melihat sudah banyak truk berisi kelompok tatung yang bergerak menuju arena pawai. Beberapa tatung berada dalam bak terbuka dan dipegang oleh asisten. Terlihat mereka terus mendupai tatung sembari memberikan makanan yang saya duga adalah beras kuning. Aroma dupa memenuhi jalanan Singkawang, uang kertas berserakan dimana-mana sementara jalanan mulai macet karena para peserta mulai berkumpul di satu titik, didepan Kantor walikota. Orang-orang yang menontonpun sudah mulai menyemut di jalanan. Sudah banyak jalan utama yang ditutup dan tidak bisa dilewati lagi. Banyak orang berusaha mencari jalan untuk masuk dan memarkir kendaraan, saya satu diantaranya yang ikut menyelip kesana kemari.
Sembilan Naga Pembuka Jalan
Saya sampai dan duduk manis di area tribun B dengan kursi berwarna hijau. Di kiri kanan saya duduk Bapak Ibu yang menggunakan pakaian seragam, sepertinya banyak yang berasal dari kelompok wisatawan yang dikelola tur dan travel. Penonton sudah riuh rendah menunggu acara segera dimulai. Semuanya sudah tidak sabar melihat tatung beratraksi di jalan, ada yang berdiri sambal bertepuk tangan ada pula yang bersorak sorai. Tak berapa lama terdengar bunyi gendang ditabuh, tambur dan sambal ikut memecah suasana. Dari kejauhan tampak bola api naga meliuk-liuk dan kepala naga mengejar dengan cepat, tubuhnya merah bercampur emas ikut menari dan meliuk dihadapan penonton yang riuh rendah di tribun. Masing-masing naga menunjukkan atraksi terhebatnya di beberapa tempat sekaligus.
Naga pertama hingga ke enam panjangnya bukan kepalang. Lebih dari 10 meter dengan 15 hingga 20 orang pemain yang memegang bambu penopang badan naga. Seperti hidup, naga ini terus berputar dan menari dengan indahnya dihadapan wisatawan. Beberapa kali kepala naga melewati kepala penonton bahkan hampir menyentuh penonton. Atraksi ini sengaja dibuat agar wisatawan puas. Semakin kencang sorak-sorai penonton semakin heboh atraksi naga. Adrenalin para pemain naga semakin terpacu dan membakar semangat untuk memberikan liukan terbaik.
Tidak hanya pria dewasa, ada pula naga jambon yang dimainkan oleh para ibu-ibu untuk menyemarakkan Cap Go Meh Singkawang 2018 ini. Permainannya tidak kalah dengan pria. Walaupun terengah-engah ibu-ibu ini mampu meliukkan naga dengan indah. Terasa sekali sentuhan permainan wanita di tiap gerakan naga ini. Dibelakangnya ada pula naga lain yang dimainkan remaja dan anak-anak. Sedari kecil sudah dikenalkan kepada budaya nenek moyang. Tidak ada keraguan di wajah mereka saat memainkan tongkat bambu yang tersambung dengan tubuh naga.
9 Naga membuat semua penonton puas karena mampu membuka parade tatung dengan berkesan. Liukannya membuka jalan bagi roh leluhur untuk mengusir roh jahat. Hari semakin siang dan panas matahari mulai menyengat. Penonton di tribun makin tidak sabar untuk melihat atraksi yang lebih menantang.
Tatung, Penghalau Roh Jahat
Santo, seorang warga lokal yang ditemui mengatakan “tidak ada yang bisa nolak untuk jadi tatung, dia orang dipilih oleh dewa dan nenek moyang, biasenye masih ada turunan”. dialek Tionghoa terdengar kental saat ia menjelaskan. Tatung sendiri merupakan media untuk mengusir roh-roh jahat, tatung sebagai simbol dan penanda dimana roh-roh baik akan membuang pengaruh roh jahat. Inilah media utama yang digunakan dalam pagelaran budaya Cap Go Meh. Tatung sendiri adalah orang terpilih yang hanya dipilih oleh leluhur, tidak bisa sembarangan orang dan tidak bisa dipelajari. Kemampuan ini lahir dengan sendirinya dan biasanya akan menurun dalam satu garis keturunan tapi bisa juga tidak.
Perlahan-lahan panji kebesaran dan bendera dari berbagai tepekong muncul. Dibelakangnya terdapat tandu-tandu yang berisi patung dewa yang dipuja, tidak lupa aroma dupa menyeruak dengan kencang di empat sudut rumah tandu yang dipanggul oleh 12 orang. Dibelakangnya ada jelangkung yang terbuat dari anyaman rotan dan diberi pakaian seperti panglima perang dengan 4 kain yang dipegang oleh 4 orang sekaligus. Memegangnya bukan perkaran mudah, harus saling bergantian memeganginya karena patung kayu ini seperti hidup dan terlempar kesana kemari tak terkendali. Saya bisa melihat tiap 10 menit harus bertukar, dengan cuaca Singkawang yang panas seperti ini, pastilah keringat tak berhenti mengucur.
Tidak semua tatung berada di singgasana yang penuh dengan mata pisau, tombak dan paku yang jadi alas duduk, alas kaki dan pegangan. Ada pula yang berjalan tanpa alas kaki di jalan aspal panas. Dibuka dengan seorang tatung berwajah hitam dengan beberapa lidi tajam yang tertembus dipipinya. Beberapa asisten membantu menyiprati air dengan seikat daun, tak lupa membunyikan lonceng dan memberikan dupa supaya roh yang merasuk tetap senang dan bertahan. Dibelakangnya terdapat panglima perang yang gagah dengan baju megah penuh bendera di belakangnya. Tak lupa topi kebesaran dan pipi yang tertembusi macam-macam benda tajam.
Masing masing tatung menunjukkan hebatnya kesaktian yang dimiliki dengan pakaian yang bermacam ragam menyesuaikan roh yang merasuki. Wajah pongah yang terkadang dengan tatapan mata tajam namun tiba-tiba nanar. Berada di atas tandu kemuliaan yang penuh dengan benda tajam. Mereka bertarung menunjukkan kekuatan supranatural.
Tidak hanya itu atraksi wajib dengan memotong tangan, lidah atau menusuk perut dengan senjata tajam tanpa terluka, tatung juga melakukan gerakan akrobatik di atas tandu tanpa takut jatuh, kaki dan tangan mereka dengan santainya beradu dengan senjata tajam tanpa terluka. Pertunjukan khas lainnya adalah memasukkan jarum besi panjang dengan bagian ujung yang dihias bunga teratai, ada pula yang ditusuk dengan buah jeruk, yang lebih berani biasanya menusukkan pedang atau batang besi yang lebih besar dari pipi kiri ke pipi kanan. Sekali lagi tidak ada darah yang keluar. Atraksi ekstrim ini cukup membuat wisatawan lokal dan mancanegara terperangah.
Tubuh mereka bukan milik mereka. Roh dewa dan leluhur menggantikan jiwa dan raga. Mereka bukan lagi manusia. Besi tajam menembus pipi namun tak merasakan apa apa.
Namun bagian lain tubuh mereka tak mampu tertembus tajamnya pisau. Gemuruh manusia menyambut tatung saat mereka beratraksi bak dewa dewi turun ke bumi.
Tidak hanya atraksi ini. Tatung yang lapar juga tetap harus diberi makan, ada yang menggigit-gigit buah, ada yang memakan bunga sampai menggigit leher ayam. Tapi tidak semua atraksi yang membuat bergidik saja. Ada juga deretan tatung wanita cantik yang kerasukan roh Dewi Kwan Im yang duduk manis dengan sikap doa teratai namun tetap menduduki dan menginjak tandu yang penuh senjata tajam. Anak-anak pun tak mau kalah. Tatung-tatung muda sebagai penerus ini juga menunjukkan kebolehan yang sama. Jelas mereka tak punya rasa takut karena semua dilakukan tanpa sadar. Lautan manusia sungguh luar biasa, semua orang berebut untuk mengabadikan foto dengan smartphone dan kamera. Beberapa fotografer profesional dengan lensa tele bahkan drone silih berganti mengambil gambar. Semua orang berusaha mengabadikan momen spesial satu tahun sekali ini sebagai sebuah tradisi bangsa yang mampu dijadikan magnet pariwisata. Tak sia-sia persiapan yang sudah mereka lakukan sejak pukul 6 pagi.
Singkawang Menjaga Pluralisme
Tidak semua penduduk kota ini Tionghoa, populasinya sekitar 250 ribuan orang dan 42 persennya adalah suku Hakka namun boleh dibilang kota ini damai dan saling menghormati antar suku dan umat beragama. Terlihat antara Masjid Raya Singkawang bersebelahan dengan Vihara Tri Dharma Bumi Raya. Semuanya tampak rukun dan damai terasuk dalam perayaan Cap Go Meh di tahun ini yang jatuh pada hari Jumat. Pawai Tatung disepakati berlangsung dari pukul 07.00 pagi dan berakhir pada saat sholat Jumat berlangsung. Semuanya berlangsung aman dan tertib.
Acara yang dibuka oleh menteri agama, Lukman Syaifuddin ini berlangsung sukses. Singkawang menjadi kota multi entis yang mampu memberikan suguhan internasional yang mampu menarik wisatawan setiap tahunnya. Singkawang punya banyak potensi karena banyaknya suku bangsa yang mendiaminya. Semoga tahun depan acara ini berlangsung lebih spektakuler.
Oleh Eko Dony Prayudi