Memuaskan Naga Mimpiku

146
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


New Year, New Chance To Make The Dream Come True

Mimpi seakan seekor naga yang hidup di dalamku, imajiner namun memiliki suara,
belum nyata tetapi memiliki pemikiran, tidak memiliki badan tetapi merasakan lapar.

Aku suka banget memeliharanya, tetapi nggak gampang juga memelihara seekor naga mimpi. Kadang bentuknya bisa berubah. Kadang hanya warna sisiknya berubah tanpa kusadari. Tahu-tahunya sudah terlihat berbeda. Namun, mau berubah sebagaimana pun, ada satu hal yang nggak pernah berubah: dia selalu lapar. Dia lapar akan perhatianku; agar kumendengarkan permintaannya dan mengabulkannya setiap tahun. Tetapi setiap tahun, selalu ada aja yang menghalangiku, yang menghalanginya.

“Aku juga mau memberikanmu perhatian,” sering kunyatakan kepadanya. Tapi, kadang, kata-kataku terdengar nyaring kosong di telingaku sendiri.

Dia cemburu. Di bawah sisik-sisiknya yang kadang emas, kadang hijau, kadang warna yang tak pernah kulihat, mulai ada bau yang nggak sedap. Bau gosong. Bau kesal dan kesepian. Ia melilit dirinya di sekitar hatiku. Apinya yang tadinya mengapi-apikan motivasiku menjadi kepanasan dengan bau-bau pahit. Pahit terhadap hidup. Pahit terhadap pekerjaan yang nggak ada habisnya. Pahit terhadap diriku sendiri yang nggak sanggup bertindak.

Hatiku sakit. Tapi, aku tahu dia hanya ingin dilepaskan. Nggak ada gunanya pahit, tapi sejujuranya… aku juga takut.

Aku takut apinya kemungkinan menelanku. Tetapi melebihi itu, aku takut, paling takut kalau — ketika — dia bebas. Apakah di mata orang lain dia sungguh-sungguh seindah di mataku? Apakah apinya cukup kuat untuk menelan kritik orang lain? Apakah dia akan terbang? Atau apakah dia akan jatuh rendah, seperti yang dinyatakan dalam peringatan-peringatan orang lain?

Aku nggak mau dia mati.

Tapi apakah dia hidup? Hidup sebagai seekor naga imajiner bukanlah hidup; dia hanyalah sebuah bayangan masa depan, sebuah harapan yang belum tentu terkabul, sebuah hasrat yang memakanku dari dalam. Semakin dikurung, bukan semakin indah, malah semakin pahit.

Tiba-tiba ku teringat momen-momen saat kumembebaskannya. Dibandingkan naga-naga mimpi orang lain yang melangit, dia belum bisa terbang setinggi mereka. Tapi, kadang, dia terbang lebih tinggi dari yang kubayangkan.

Dia nggak pernah memersoalkan ketinggian terbangnya, nggak pernah memersoalkan penampilan naga-naga lainnya. Dia hanya kesenangan bisa keluar, bisa bermain, bisa terbang, bisa mencari teman, dan bisa mencari ide-ide baru yang membuat sisik-sisiknya mengilap dengan warna-warna baru dan keharuman yang tak terbanding.

Pada saat-saat itu, kulupa dengan semua hal dan ikut merasakan diriku terbang dengannya, bahkan ketika dia sedang menjelajahi daratan dan tidak sedang terbang.

Bukan ku saja yang melihatnya. Mereka yang mengamatinya terbang menyorakinya, menepuk tangan, dan mengaguminya. Bangga dan senang, tapi masih merasa takut untuk melepaskannya pada saat-saat aku tidak yakin bahwa dia cukup kuat untuk terbang kali itu.

“Mereka juga pernah jatuh,” nagaku pernah bilang berkali-kali kepadaku ketika melihat aku sedang mengamati naga-naga lain yang berkibar di antara awan-awan. 

“Kamu benar-benar mau keluar?” ku balik bertanya. “Walaupun ada kemungkinan besar kamu jatuh?” 

“Bukankah itu yang kamu mau untuk dirimu sendiri? Aku mau jadi seperti kamu.” 

Menjadi sepertiku… menetap di luar negeri sendirian, mencari nafkah tanpa keunggulan koneksi keluarga, berani membuat kesalahan asalkan bisa bangkit darinya dan menanam kekuatan akibatnya. Dan kulakukan semuanya itu agar mimpiku dapat diwujudkan. Telah kukorbankan banyak hal untuk melindungi naga mimpiku… janganlah perlindungan itu menjadikan hal yang mencekik kehidupannya.

Setiap tahun kujanjikan dia, tapi tahun ini, aku mau buat janji yang berbeda.

“Beda seperti apa?” dia bertanya setengah berharap, setengah was-was.

“Aku berjanji tahun ini… aku akan membiarkanmu terbang, dan juga membiarkanmu jatuh.

Aku berjanji untuk melepaskanmu, setidaknya seminggu sekali, walaupun hanya melalui proyek kecil. Aku nggak berjanji akan bisa menyediakan perhatian yang mengenyangkanmu, tetapi ku berjanji akan memberikanmu sebanyak mungkin tiap minggu.

Aku berjanji untuk bekerja sama denganmu untuk mengubah bibit kepahitan menjadi sederetan bunga indah dan harum.

Aku berjanji untuk melihat segala hal yang kamu ingin jelajahi, dan menjelajahinya bersamamu.

Aku berjanji untuk memberikan izin pada diriku untuk merasa takut, merasa was-was, merasa ragu untuk melepaskanmu. Aku berjanji untuk tidak mencegat diri sendiri, untuk menerima bahwa kadang aku akan mencegatmu, tetapi selalu tetap berusaha untuk tidak mencegatmu selamanya.

Aku berjanji akan menyorakimu ketika kamu terbang, membalut luka-lukamu ketika kamu jatuh, dan aku berjanji akan selalu menunggu sampai kamu siap terbang lagi.”

Dia berpikir sejenak. “Bagaimana kalau aku mau main lumpur? Atau mau mencoba meluncur dari gunung-gunung tinggi?”

“Yuk,” jawabku, dengan sedikit deg-degan.

“Menyelam sedalam mungkin, menemukan seberapa dalam sebelum kehabisan udara, mencari hal-hal yang belum pernah dilihat manusia?”

“Aku akan ikut.” 

“Nggak takut lagi?”

“Masih takut, sih… Tapi, sejak kapan aku membiarkan ketakutan menghentikan usahaku? Sudah waktunya aku nggak membiarkan ketakutan menghentikan kehidupanmu juga. Kamu bukan saja naga mimpi imajiner. Kamu nyata di dalamku, dan waktunya dunia melihat kamu nyata di luar sana juga.”

Bau gosong mulai pudar. Mulai ada harum tak kentara, seperti dedaunan baru yang belum mengembang sepenuhnya, seperti setangki rumput yang baru saja mengintip di atas tanah.

“Ada satu hal yang kuminta,” naga mimpiku mengucapkan.

AKu menunggu deg-degan.

“Ketika keadaan berubah dan ritme yang sudah dijanjikan perlu diubah juga, aku mau kita menghadapinya bersama, selalu berbicara dan bersepakat… dan nggak mencengkram cara yang lampau terlalu erat.” 

Dia selalu tahu hal yang paling sulit bagiku. Tetapi, dia benar. Itulah kesalahanku di tahun-tahun sebelumnya, itulah yang membuatku kesal dengan diri sendiri.

Kutatap matanya yang tajam dan cerdas dan penuh dengan kegairahan dan keasyikan untuk melihat dunia. Keasyikan yang sama menyala bagaikan menara api di dalamku.

“Aku janji kepadamu, naga mimpiku.” [IM]

Previous article5 Dance Practice Apps Untuk Hidup Lebih Sehat Dan Asyik
Next articleA Hatful of Dreams: A Story of Dreams, Imagination, and Finding Family