Enrico Soekarno – Seni Adalah Segalanya

1541
Enrico Soekarno (Photo: Tom Owen Edmunds)
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Menelusuri pendidikan perfilman, pria kelahiran kota Kembang Bandung tanggal
6 bulan 6 tahun ‘66 ini “melenceng” ke dunia lukis. Apa yang membuatnya jatuh cinta pada dunia lukis? Benarkan ia “seabstrak” lukisannya?

Saat dikirimi undangan untuk melihat pameran lukisan Enrico Soekarno di Disorder Gallery, Darlinghurst, sesuatu berdengung di kepala saya. Hmm, dari namanya, sih, saya sepertinya tahu. Lalu, langsunglah saya google beliau. Benar saja, namanya bak selebritas di Tanah Air di tahun 90-an.

Sebelum mukim kembali di Sydney, Australia, Enrico Soekarno melalang buana dalam berpendidikan. SD-nya diambil di Jakarta, lalu setelah itu ia terbang ke Sydney untuk lanjut sekolah. Selain mendapat pelatihan sebagai pembuat film, ia juga bersekolah Accademia di Belle Arti di Roma, Italia, dan University of Sydney.

Selain bersibuk di dunia seni yang sangat dicintainya, ayah dua anak ini suka bertualang. Awal tahun 1998, ia naik kapal dan menelusuri pedalaman Kalimantan lewat sungai. Dalam perjalanannya itu, ia membagikan sembako ke kampung-kampung terpencil, menyelamatkan Orang Utan, dan dipenjara di Bontang! “Oleh-oleh” yang ia bawa pulang ke Jakarta adalah serial pameran berjudul “Kalimantan on Fire and The Colours of Death” dan “Burning Borneo”. Pameran tersebut sempat mengundang sensor dari pemerintahan orde baru. Namun, karya dan kontribusinya saat bertualang di Kalimantan tentang penduduk yang menderita akibat kebakaran hutan ditampilkan di produksi BBC “The Kings of the Jungle” yang mendapat penghargaan.

Kisah petualangan Enrico di dunia nyata tertuang dalam lukisan-lukisannya yang bernuansa politik, kemanusiaan, dan persona. Setiap lukisannya mengkomunikasikan kedalaman berpikir dan jerit protes sosial. Dalam, rumit, dan tegas, itulah kesan yang saya dapatkan saat menatap lukisan-lukisan yang didominasi warna hitam putih pada pameran yang berlangsung tanggal 13-29 Agustus 2020 lalu. Itulah pameran pertamanya di Sydney dalam kurun waktu 30 tahun.

Enrico Soekarno kini tinggal di Sydney bersama istrinya Cantik, dan dua anaknya, Kenya Kamalashila dan Dante Nagarjuna. Indomedia berbincang dengan sang pelukis, desainer grafis, filmmaker, dan ilustrator ini lewat surat elektronik. Ketika membawa jawaban-jawaban beliau, my-oh-my, saya pikir beliau juga sangat berbakat menjadi penulis. Buat orang yang tinggal lama di luar negeri, bahasanya Indonesianya terstruktur baik dan mengalir jelas. Saya tak banyak mengedit di sini.

Bagaimana Anda memulai menjadi seorang pelukis?
Saya rasa pada saat SMA di Sydney, ketika guru kesenian saya memberi hadiah buku pelukis Van Gogh. Saya membaca dan terkesima. Sejak itu saya punya keinginan luar biasa untuk mendalami sosok Van Gogh dan menjadi pelukis. Maka, setamat sekolah, saya ke Eropa. Saya telusuri dan pelajari jejak Van Gogh, baik sebagai perupa maupun sebagai manusia. Meski kisah di atas saya jadikan titik pijak karier kepelukisan saya, tapi saya tidak bisa melupakan cerita semasa anak-anak di Kebayoran, saat saya belajar melukis krayon pada seorang guru bernama Pak Ooq (Dukut Hendronoto).

Gambaran yang tepat untuk aliran lukisan Anda?
Terus terang, saya tidak suka klasifikasi, pengkotakkan, atau apa pun yang dapat diberi label, seperti aliran atau gaya. Karya-karya saya banyak yang terlihat realis, tetapi pakem realisme dilanggar sehingga ada yang bilang Surrealisme. Sementara (itu), karena selalu mengetengahkan emosi paling dalam dari dunia interior pribadi saya, sering juga dibilang Ekspresionisme. Menurut saya, lebih baik mempunyai gaya sendiri yang tidak dapat diberi label; dan saking seringnya saya ditanya pertanyaan ini, biar cepat dan mudah, saya akan jawab bahwa aliran saya adalah Soekarnoisme.

Inspirasi Anda terbesar berasal dari apa saja?
Inspirasi saya dapat berasal dari mana saja dan dapat datang kapan saja; entah itu sepenggal lirik lagu yang saya tengah dengarkan, satu kalimat dari buku yang saya sedang baca, atau satu adegan film yang saya tengah tonton, ataupun satu benda di suatu pojok tempat tertentu yang saya foto. Benih ini kemudian akan bercabang ke ide-ide lain yang masih berhubungan satu dan lainnya. Kemudian saya akan melakukan riset mengenai topik ide tersebut yang pada akhirnya akan menambah ide lagi yang dapat digabungkan kepada ide awalnya.

Apa arti seni bagi Anda?
Seni bagi saya adalah segalanya. Suatu bahasa khusus dan alat berkomunikasi kepada diri sendiri. Suatu wadah untuk mengolah rasa, karsa, maupun media untuk menyampaikan pendapat kepada orang lain. Suatu platform di mana saya dapat membuka wawasan orang lain untuk mempertanyakan kehidupan dan menuntun keterbukaan pikiran. Seni juga adalah suatu metode terapi untuk kesehatan batin, semacam meditasi suatu refleksi yang mendalam, sehingga juga menjadi semacam ritus keagamaan untuk saya. Untuk dapat mencipta dari sesuatu kekosongan untuk saya adalah hal tertinggi dalam hidup. Oleh karena itu seni adalah segalanya.

Bagaimana Anda menjaga motivasi untuk berkarya?
Saya rasa saya cukup beruntung bahwa motivasi dan entusiasme untuk berkarya selalu mengalir cukup deras dalam diri saya, sehingga tidak ada yang perlu dijaga, selain untuk selalu mengikuti prinsip hidup saya, di mana setiap hari kita harus selalu belajar, baik itu membaca buku, melihat berita atau mendengar musik yang baru, dan tentunya untuk selalu pergi ke galeri-galeri yang sedang menggelar pameran-pameran. Tetapi, saya juga tetap harus jujur kepada diri sendiri, ketika badan tidak enak atau perasaan sedang kalut, sudah sepantasnya untuk diikuti juga dan tidak usah berkarya.

Lingkungan seperti apakah yang Anda butuhkan untuk berkarya?
Sebenarnya tidak ada lingkungan khusus yang diperlukan, karena berkarya itu bisa dimana saja dan kapan saja. Puluhan tahun yang lalu, saya menganggap diri saya seorang pelukis “plein-air” (yang artinya melukis di alam terbuka, fitur sentral para Impresionis), mengembara ke pelosok-pelosok di seluruh dunia, dan langsung berkarya di tempat. Kemudian, kala mempunyai studio di Jakarta, yang saya perlukan adalah keheningan dan kebebasan dari gangguan. Yang terpenting kopi tidak pernah putus, dan ada musik jika diperlukan. Setelah punya anak, lain lagi, karena saya harus punya waktu untuk mereka dan keheningan dan kesendirian tidak terlalu penting lagi. Saya selalu dapat menggunakan headphones ketika mereka terlalu bising.

Menurut Anda, apa yang membuat orang lain dapat menikmati karya Anda?
Untuk pertanyaan seperti ini saya sungkan menjawab karena memang harus orang lain yang menilai. Saya tidak pernah menilai karya saya sendiri, apalagi seakan mengerti sudut pandang orang lain dalam melihat, terlalu angkuh. Lebih baik saya kutip sepenggal kata-kata dari kurator terkenal Eddy Soetriyono: “Dalam karyanya tampak jelas integritasnya sebagai perupa, yang mesti mahir memainkan kaidah-kaidah seni rupa, di samping tak bosan-bosannya melakukan penjelajahan terhadap eksperimen estetika dan perluasan wawasan, baik dari pengalaman batin maupun pergulatan intelektual. Tapi, menikmati karya Enrico, kita mesti punya waktu dan kesabaran untuk melihat dan mengapresiasinya. Dengan intensitas yang mencekam, pelukis ini menggambarkan rincian-rincian yang memang tak bisa dicerna sekilas pintas.”

Apakah Anda memiliki ekspektasi tertentu saat orang datang ke pameran Anda? Jika ya, apakah itu?
Yang saya perlukan ketika orang melihat karya saya hanyalah keterbukaan hati dan pikiran selain kesabaran. Karya saya meminta orang untuk berinteraksi dengan karya tersebut “one on one”, bukan karya besar yang dapat dilihat dari jauh, ditangkap maknanya dan kemudian dilewati. Saya memilih media bersahaja di bidang gambar yang kecil sengaja untuk mengajak orang ke suatu pojok sunyi untuk berbincang dengan tenang tentang berbagai tema kehidupan. Saya ingin orang memasuki dunia kepekaan terhadap garis, ruang, dan cahaya, serta sensibilitas pada sudut pandang artistik yang menggugah rasa.

Any words of wisdom to aspiring artists who want to pursue a similar career?
Jangan pernah berhenti belajar, kenalilah diri secara total dan jadilah diri anda sendiri. Hanya jika Anda berangkat dari sana pada karya Anda akan terpancarkan sinar kejujuran.

Apakah sekolah seni memiliki peran penting bagi seorang seniman?
Kalau ya, seperti apakah peran itu?
Menurut saya, tidak juga. Banyak sekali seniman otodidak yang sangat menakjubkan.
Tapi, saya juga melihat betapa pentingnya suatu dasar atau pondasi dalam proses berkarya. Saya meyakini bahwa sebelum Anda dapat melukis, Anda harus bisa menggambar. Sebelum Anda dapat melakukan abstraksi, Anda harus tahu realisme. Seperti revolusi. Seorang revolusioner tidaklah dapat mengganti sistem tanpa mengenali sistem tersebut secara utuh. Jadi, mungkin sekolah seni ada pentingnya juga dari sisi untuk memeroleh pengetahuan dasar. Saya pribadi pernah masuk sekolah seni. Tapi, bersama 12 murid lainnya, kami dipindahkan ke suatu kelas tersendiri dan hanya dipantau sesekali karena dianggap sudah mempunyai ciri khas sendiri. Karena tidak mendapat pendidikan dasar yang saya cari, setelah setahun saya keluar. Pada akhir tahun tersebut, kami ber 13 membuat pameran yang sangat berkesan.

Anda baru saja menggelar pameran tunggal. Apakah Anda sudah memiliki aspirasi baru di masa depan?
Betul, pameran tunggal saya di Disorder Gallery, Darlinghurst, baru saja selesai.
Pameran tersebut didominasi oleh 13 karya gambar hitam putih dan hanya 1 lukisan cat minyak. Berikutnya, saya ingin membuat pameran yang mengetengahkan sosok Buddha. Dan, untuk yang ini akan lebih banyak pengunaan warna, baik dalam gambar maupun lukisan. Setelah itu ada ide dan rencana untuk membuat seri erotika.

Apa proyek impian Anda?
Proyek impian atau khayalan saya adalah bergabungnya semua seniman murni dari seluruh pelosok dunia, bertukar pikiran dan ide, berkolaborasi dan bekerja sama, menghasilkan karya individual dan komunal dalam waktu yang bersamaan. Tetapi, semua itu dirajut dengan satu benang merah, yaitu tujuan. Tujuannya adalah mendidik, membuka wawasan, dan memberikan jawaban atas masalah dunia yang tengah kita hadapi dan harus kita lawan bersama, baik soal krisis iklim, militerisme dan ketidakadilan global. Pameran besar ini dibawa keliling dunia dan dibiayai oleh masyarakat secara bergotong-royong dari negara masing-masing. Hasil yang diharapkan bahwa setiap orang yang menyaksikannya akan tergugah untuk melakukan perubahan pada diri dan lingkungan mereka sendiri sehingga terjadilah kesadaran dan perubahan sosial global.

Alat-alat (art supplies) yang selalu Anda pakai dalam berkarya?
Untuk karya-karya gambar utama saya, alat pilihan adalah pena tinta ukuran 0.1, baik itu Rotring, Staedtler, maupun Micron. Sementara untuk karya lukis, saya selalu memilih cat minyak karena lebih fleksibel dibanding cat akrilik. Saat ini, saya sedang bereksperimen dengan cat minyak yang dapat dicairkan dan dibersihkan dengan air. Seri Artisan dari Winsor & Newtown benar-benar menakjubkan karena tetap mendapatkan masa pengeringan yang lebih lama dan proses pencampuran warna yang lebih mendalam,
tanpa harus menggunakan bahan-bahan yang sangat bau seperti terpentin. [IM]

Previous articleHoror Timur vs Horor Barat
Next articlePeringkat Internasional Terbaru Menunjukkan Kinerja Universitas Muda Terdepan Di Australia