Endi Dharma Yang Hobi Berderma

3256
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Ternyata benarlah kata pepatah bahwa uang tidak pernah memberi kebahagiaan. Uang hanyalah alat yang sangat berguna di tangan mereka yang melakukan kebaikan. Salah satu orang itu adalah Endi Dharma.

Bulan Januari tahun 2017, INDOMEDIA pernah menerbitkan artikel tentang ketua Indonesian Community Council – NSW (ICC-NSW) yang baru terpilih. Dalam kesempatan itu, Pak Endi menyatakan akan fokus melayani komunitas Indonesia yang tinggal di wilayah kerjanya, New South Wales, lebih baik lagi. Lebih dari setahun kemudian, di bulan September 2018, INDOMEDIA bertemu secara pribadi dengan Pak Endi di kantor Adam’s Poultry miliknya yang berlokasi di Mascot. Pria asal Majelengka, Jawa Barat, dan bertubuh tinggi besar tegap ini dengan sangat ramah dan hangat menyambut INDOMEDIA di ruang kantornya yang dihiasi beberapa patung kuda dan ayam. Berikut ceritanya.

Anak yang Diharapkan

“Saya adalah adalah anak ke-11 dari 12 bersaudara. Ayah saya hanya petani kecil. Punya sedikit tanah garapan. Kakak-kakak saya bekerja di instansi pemerintah, seperti pegawai negeri, ABRI, dan polisi. Nah, untuk saya, ayah ingin jadi guru karena dari kecil sudah berkacamata. Saya ikuti permintaan beliau. Saya heran juga, dari 12 anak, hanya saya yang didorong untuk bersekolah tinggi. Ayah ingin saya jadi “orang”. Saya tak habis pikir bagaimana seorang petani kecil seperti ayah dapat menghidupi kami semua.

Lulus SMA, saya kuliah di IKIP Bandung. Di semester dua, saya ikut kelas bimbingan yang menjelaskan kalau lulus nanti, saya masuk golongan 2C yang bergaji Rp60 ribu per bulan. Saat itu, oleh orangtua saya dapat uang saku Rp30 ribu, lalu ketiga kakak saya memberi uang saku tambahan masing-masing Rp10 ribu. Kalau nanti gaji sebesar itu, bagaimana mau memberi ke orangtua? Di tahun 1987-1988, uang sejumah itu hanya bisa hidup sangat sederhana. Saya keluar IKIP saat semester 4. Tapi, tetap lanjut di STPK Bandung karena beasiswa.

“Lulus dari STPK, gaji saya dua kali lipat gaji guru. Lumayan. Tapi, saya menyadari bahwa saya bukanlah tipikal seorang karyawan. Saya ingin sesuatu yang lebih. Kalau hanya karyawan, kan, semua aktivitas dan waktu tergantung pada jumlah gaji. Kalau bisnis tidak begitu.”

Berpose di depan kantor

Traktor Ganti Kerbau

“Meski waktu itu masih kecil, saya sudah merasakan beban hidup yang dipikul ayah. Itu sebabnya, sejak kelas 4 SD, dengan kesadaran sendiri, saya mencoba membantu keluarga mencari uang. Saya ternak ayam, jual layang-layang, dan permen cicak. Saya bungkus, lalu saya untai, dan saya pajang di jendela kalau di rumah. Saya juga bawa ke sekolah. Saya beli sendiri barang dagangan saya di pasar. Kalau sedang musim panen, saya jual es lilin di sawah.

Waktu itu, saya merasa senang sekali; modal Rp200 bisa jadi Rp600. Uniknya, hanya saya yang sampai sekarang punya naluri bisnis. Karena dengan modal sedikit, dapat untung berlipat, saya jadi senang bisnis. Padahal, untuk bidang bisnis, saya sama sekali tidak punya latar belakang pendidikan. Semuanya serba otodidak saja.

“Tapi, karena kerbau ayahlah, saya ingin punya penghasilan yang lebih besar lagi. Itu sebabnya saya lantas keluar dari pekerjaan. Ceritanya, ayah saya kehilangan kerbau, dan hal itu menyusahkan hatinya. Saya tahu sekali. Walau tidak banyak bicara, dia sedih sekali. Kalau saya pulang kampung, sehabis bersalaman dengan beliau, dia menangis.

“Saya keluar pekerjaan dan belajar ilmu konstruksi. Setelah itu, saya pergi ke Arab Saudi, jadi supir. Ayah tidak tahu kepergian saya ini. Pokoknya, beliau tahunya saya sehat dan baik-baik saja. Saya mengumpulkan gaji tahun pertama dan membelikan traktor untuk ayah. Wah, bahagia sekali beliau kembali semangat kerja di sawah. Saya kembali mengumpulkan gaji di tahun kedua untuk modal bisnis konstruksi.”

Pindah Australia

“Ternyata, bisnis konstruksi saya terkena imbas krisis moneter di tahun 1998. Hutang dollar saya yang tadi hanya 2,600 membengkak jadi 14,000! Waktu itu, satu-satunya cara yang terpikir oleh saya untuk bisa membayar hutang adalah pergi ke Australia dan bekerja di sini.

“Bekerja di negeri orang, saya berprinsip tidak ada yang tidak bisa. Saya bekerja di kebun, lalu di pabrik pengolahan ayam. Sekarang kantor saya berseberangan dengan pabrik saya pertama kerja. Saya mulai pelajari ilmu poultry. Saya amati dari mana ayamnya datang, bagaimana cara membuat variasi potongan ayam, dan lainnya. Saya juga coba-coba memasarkan ayam ke restoran-restoran Indonesia di sini. Lama-lama, kok, lebih enak jadi pemasar. Setelah modal terkumpul, saya bikin pengolahan ayam sendiri.

“Kesempatan besar saya datang dari pertemanan saya dengan seseorang yang memiliki pabrik dekat sini. Saat itu, dia juga sedang berjuang. Saya banyak membantunya dengan hal-hal yang kecil. Tidak pakai pamrih. Saya ikhlas menolong. Suatu hari, bisnisnya “meledak” dan dia ingat saya. Sejak itu, saya menjadi satu-satu penyedia ayam untuk perusahaannya. Sewa kantor dan biaya listrik semua ditanggung. Produksi ayam saya yang tadinya hanya 2500 kg/hari, kini menjadi 5 ton/hari.

“Meski begitu, saya masih mengikuti berbagai acara ICC setiap akhir pekan dan bergadang hampir tiap Sabtu dan Minggu untuk menyiapkan kebab yang kami jual di daerah Glebe.”

Mengayomi Masyarakat

“Terus terang, sukses bagi saya adalah melihat orang-orang di sekitar saya bahagia. Saya selalu ingin menolong orang lain sesuai kemampuan saya. Saya tidak pernah memikirkan keuntungan bisnis ini buat diri saya sendiri. Bahkan, saya tidak fokus ke sana, tapi bagaimana menghasilkan uang supaya uang itu bisa dipakai menolong. Saya berbisnis untuk menolong orang lain.

“Prinsip saya adalah bikin perubahan. Dan sebagai migran, kita harus punya target untuk itu. Percaya atau tidak, berdasarkan observasi dan pengalaman yang nyata, bikinlah perubahan di tahun ke 9 atau 10. Jangan diam di tempat. Kalau diam saja, pasti tidak maju. Saya banyak teman migran yang masih kontrak rumah dari dulu sampai sekarang karena takut berubah.

“Sejak menjadi presiden ICC NSW, saya banyak menerima tamu di rumah dan mendengar keluh kesah mereka. Sering juga saya menampung mereka di rumah saya. Di Majalengka pun, rumah saya seperti balaikota, banyak yang datang mengadu, atau perlu dibantu. Sudah seperti caleg saja, hahaha… Tapi, hati saya memang senang jika bisa membantu.

Rutin memberikan santunan kepada masyarakat yang membutuhkan

“Lewat Yayasan Dharma–diambil dari nama ayah, tiga kali setahun, saya menyantuni 500 kaum papa. Setiap tahun, saya bangun sebuah mushola. Itu sudah menjadi tujuan pribadi hidup saya. Kalau tidak tercapai, berarti saya sedang mengalami penurunan kualitas hidup. Tahun ini, saya memberangkatkan marbot masjid. Anggota keluarga sudah lebih dulu diberangkatkan. Bahkan, orang yang saya tidak kenal pun tapi ingin naik haji tapi tak mampu, saya berangkatkan juga. Buat mereka, bisa naik haji seperti mimpi rasanya.

Saya juga sempat pergi ke Lombok selama dua hari untuk menyalurkan bantuan dari ICC NSW dan saya pribadi. Saya membawa beras 140 karung beras, 25kg tiap-tiap karungnya, untuk korban gempa.

Memberikan bantuan pada korban gempa bumi Lombok

“Saat ini, saya sedang membantu memasarkan The Mark, apartemen tanpa bunga, tanpa uang muka untuk mereka yang tidak ingin punya riba. Tidak ada biaya agen. Saya rela tidak dapat komisi. Mereka ingin beli rumah dengan tunai, saya memberikan solusinya.

Sebagai seorang pengusaha sosial sekaligus presiden ICC NSW, saya ingin menjembatani dan mengayomi pihak-pihak yeng memiliki jarak. Saya melakukan diplomasi untuk meredakan konflik supaya orang Indonesia di New South Wales khususnya rukun dan damai. Silaturahmi harus selalu dijaga.” [IM]

Previous articleNusantawa 2018 – A Night Full of Laughter
Next articleCara Merawat Celana Jins