AB Sadewa

1343
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


“Corong Komunikasi Panorama Group”

AB Sadewa sangat dinamis dalam merancang dan mengaplikasikan semua rencana besar yang berhubungan dengan Brand Panorama Group. Dirinya yang selalu terbuka terhadap isu pariwisata domestik dan dunia adalah kunci penting pertumbuhan bisnis yang signifikan. Di masa pandemi, Sadewa sangat yakin akan mendapatkan celah terbaik untuk bukan hanya bertahan tapi bangkit kembali dari keterpurukan. Sadewa juga aktif di PHRI bersama para pejuang pariwisata Indonesia. Salut!

1. Sejak kapan bergabung dengan Panorama Group? Posisi anda adalah VP Brand & Communications, dapatkah anda ceritakan tanggung jawab dan cara anda mengkomunikasikan segala hal positif dari perusahaan kepada khalayak luas?Sebetulnya saya sudah pernah bergabung dengan Panorama pada tahun 1998 untuk memperkuat tim marcomm hingga tahun 2000 saat dipercaya membuat 1 perusahaan iklan di dalam grup Panorama bernama P-Comm hingga tahun 2003. Saat itu Panorama belum menjadi sebuah perusahaan pariwisata terintegrasi seperti saat ini, tapi transformasi untuk berkembang telah terlihat melalui upaya masuk ke capital market pada tahun 2001. Tahun 2003 saya memutuskan mengembangkan usaha sendiri dibidang consulting. Di awal tahun 2013 saya diminta kembali bergabung untuk me-manage brand-brand dibawah Panorama Group, sekaligus mengembangkan CSR dan sustainable tourism.

Secara umum tanggung jawab di pekerjaan saat ini adalah membangun dan mengelola brand agar relevan dengan kondisi pasar, dimana relevansi ini tidak bisa lepas dari faktor trend dan dinamika industri pariwisata baik secara global, regional, dan nasional. Karena bagi saya brand yang bagus bukan yang diproduksi oleh tim kami, tapi yang muncul dari dalam pikiran market, artinya yang diperlukan adalah penguatan positioning dan persepsi. Positioning dan persepsi ini yang dikomunikasikan secara soft ataupun hard melalui beragam channel yang begitu beragam di tengah masyarakat digital saat ini.

2. Brand adalah sesuatu yang sakral. Pada area ini, apa saja konsentrasi yang mutlak diciptakan dan dikawal baik oleh anda pribadi dan tim selama ini di Panorama Group
Brand saat ini sebetulnya bergeser sudah tidak sesakral seperti dulu. Saya pikir digitalisasi ikut menggerus sakralitas brand at some point, contoh simplenya: dulu orang kalo mau nginep di hotel pasti mempertimbangkan nama hotel/brand yang dituju, tapi semenjak digitalisasi, orang saat ini memilih hotel berdasarkan ‘search’ di internet; ‘rating’ yang diberikan dari orang-orang yang pernah menginap; dan yang paling penting ‘review’-nya bagus atau tidak. Sementara peran brand sudah tidak dalam decision making process melainkan masuk ke aspek responsibilities/tanggung jawab, makna tanggung jawab disini bisa positif (sebagai cause) atau negatif (sebagai objek yang di-complain). Apa yang kami kawal tentunya segala proses dan aktifitas brand supaya tidak keluar dari fungsi dan persepsinya.

Dalam hal Panorama Group, brand management yang dilakukan mulai dari membangun, menjalankan, hingga menjaga business sustainability-nya, semua hal ini memiliki karakter kerja sesuai sektor pariwisata dimana brand tersebut berada. Kami di Panorama memiliki 5 pilar usaha: inbound (untuk mendatangkan wisman); Travel & Leisure (untuk meng-handle market Indonesia yang traveling di Indonesia ataupun keluar negeri); Media (dalam hal ini MICE dan publikasi); Hospitality (pengembangan hotel dan hotel management); Transportation (penyewaan kendaraan, shuttle service dan tour berbasis transportasi darat).

3. Panorama Group berkembang dan bertransformasi sangat pesat. Dapatkah anda ceritakan perkembangan apa saja yang telah dieksekusi dan diaplikasikan oleh perusahaan? Apa titik balik atas segala perubahan yang sangat signifikan tersebut
Panorama Group berdiri sejak 1972, tentunya sudah mengalami fase pasang surut. Visi-misi perusahaan ini adalah ‘to make Panorama belong to the world, and the world belong to Panorama’. Dengan visi dan misi ini Panorama ingin determinasi yang mendalam di industri pariwisata bukan hanya sebagai pemain nasional tapi juga menjadi pemain dunia. Maka itu sejak tahun 2000an, Panorama sudah rajin melakukan joint-venture dengan perusahaan-perusahaan asing dalam rangka mencapai visi dan misi yang ingin dicapai. 

Jika mau diliat secara fase transformasi besar mungkin terbagi 3: 

Pioneering (fase 1: 1972-1995) dimana Panorama masih dalam proses lahir lalu belajar berjalan sambil menemukan bentuk yang tepat untuk berbisnis di bidang pariwisata;
Transforming (fase 2: 1995-2009) dimana manajemen sudah tertata baik dan memiliki banyak professional di bidangnya, serta berhasil memasuki pasar modal untuk ketiga unit usaha;
Globalization (fase 3: 2009 – kini) dimana Panorama melakukan banyak joint venture dengan perusahaan global serta melakukan digitalisasi pada sisi back-end dan front-end untuk mengejar pertumbuhan lebih cepat.

4. Sebelum bergabung di Panorama Group, apakah anda sudah sangat mencintai dunia pariwisata? Apa saja bentuk kecintaan yang anda lakukan sebelum dan sesudah bekerja di sana?
Secara langsung mencintai dunia pariwisata mungkin hanya wisata alam, karena sudah cukup aktif melakukan perjalanan wisata alam seperti trekking, hiking, naik gunung, camping, dan sebagainya, tapi pariwisata kan bicara tentang manusia. Ini bukan tentang ilmu pariwisata yang baku tapi tentang humaniora. 

Pada dasarnya saya senang untuk bertemu dengan orang baru di perjalanan, atau melihat sisi yang berbeda pada satu komunitas masyarakat tertentu. Dari perjalanan-perjalanan ini sebetulnya yang mengasah diri untuk fleksible menghadapi dunia kerja, termasuk pariwisata yang ternyata bidang yang saya akhirnya geluti selama ini. Mungkin karena dulu saya sekolah seni rupa dimana ini pun bukan ilmu eksakta, jadi bisa dibilang ‘seni’-nya sama antara latar belakang Pendidikan dan dunia kerja saat ini.

Dunia kerja mengajak saya juga traveling ke banyak tempat dan kota. Ternyata saya orang yang kurang suka suasana kota. Saya selalu mencari waktu untuk kembali jalan-jalan ke luar kota, masuk desa, ketemu orang, ngobrol dan menyelami sosiologi satu destinasi yang saya tuju. Ini mungkin yang mendorong saya juga mengembangkan sustainable tourism concept di Panorama. Ini konsep yang menyatukan antara people-planet-profit. Sebuah integrasi pariwisata yang menyatukan aspek manusia, alam, social-budaya, dan tentunya memberikan kemakmuran bagi stakeholders.

5. Bagaimana perspektif anda terhadap bisnis pariwisata domestik? Apakah dengan data yang dimiliki, maka anda menjadi sangat yakin kalau Indonesia punya masa depan bisnis pariwisata yang produktif? Apa yang bisa dioptimalkan sebenarnya dan apa tantangan paling sulit yang dihadapi?
Indonesia memiliki 268 juta penduduk. Tiap weekend kita liat sendiri bagaimana destinasi domestik selalu penuh pengunjung, kita liat di televisi program-program wisata bermunculan (mulai berbungkus kuliner sampai adventure), kita baca di media-media banyak sekali berita tentang pariwisata, dan liat feed sosial media teman-teman kita pasti ada foto-foto mereka sedang traveling sambil kuliner atau rekreasi. Jadi saya pikir market domestik kita kuat mulai dari atas sampai bawah, namun tugas besarnya adalah mengembangkan destinasi yang baik dan terjaga.

Dalam RIPPARNAS (Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional) disebutkan ada 50 Destinasi Pariwisata Nasional; 

88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional; 222 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional. Semua ini ada dalam masterplan pengembangan destinasi yang mana saat ini difokuskan pada 10 Bali Baru. Jadi saya pikir destinasi-destinasi ini harus didevelop dengan baik dan mengundang investor supaya GDP tercipta dari sektor pariwisata. Multipliernya pun luas dari sektor pariwisata, jadi saya yakin pariwisata kalo memang diperhatikan dan di-manage dengan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan industri yang kuat, akan menjadi backbone pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Presiden Jokowi menargetkan income per kapita masyarakat Indonesia tahun 2045 sebesar USD24000, dengan penanganan pariwisata di tangan yang tepat saya yakin sektor pariwisata bisa berkontribusi bagi devisa nasional selain sektor industri (nikel dan produksi battery), serta sektor perikanan.

6. Apa yang menyebabkan, Indonesia masih (hanya) dikenal dengan Bali-nya saja? Apakah memang destinasi dan konten pariwisata di daerah lain tidak dikembangkan secara komprehensif atau memang tidak punya pesona yang setara dengan pulau dewata? Apakah anda memahami situasi yang sangat dasar?
Bali kan dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda saat Indonesia masih disebut Hindia Belanda. Perlu seabad lebih membuat Bali jadi seperti sekarang, Indonesia melalui pemerintahan Pak Harto berhasil menyumbang BTDC/Bali Tourism Destination Centre (area Nusa Dua) dan meningkatkan banyak fasilitas di Bali. Selain itu Bali punya modal yang inhern pada penduduk Bali sendiri, tapi ini kan secara organik didesain berpuluh-puluh tahun. Peranan dunia barat lekat dengan apa yang kita dapat dari Bali pada hari ini. Sebut saja Miguel Covarrubias seorang seniman asal Meksiko ikut menyumbangkan perspektif lukis gaya barat pada lukisan-lukisan pemandangan alam Bali yang masih bisa kita temui sampai hari ini.

Jadi sebagai pemantik lahirnya Bali-Bali yang lain, maka Pemerintah Jokowi mencetuskan 10 Bali Baru di periode awal pemerintahannya (saat ini sudah mengerucut pada 4 destinasi super prioritas). Dengan strategi ini mungkin bisa membuat ‘nengok’ market wisata dunia ke Indonesia.

Saya rasa membangun destinasi sekelas Bali harus selaras dengan demand yang diinginkan market, dan tentunya modal penting adalah dari keinginan dan lokalitas penduduk asli. Infrastruktur bisa mengikuti ketika supply dan demand mulai meningkat. Dan jangan lupa, membangun destinasi wisata seperti Bali sebaiknya yang meng-cater seluruh minat, tidak bisa fokus pada adventure atau hanya pada wisata buatan manusia saja.

7. Ketika para praktisi bisnis pariwisata domestik membenahi diri, apakah lantas terjadi pergeseran minat dari masyarakat Indonesia berlibur ke luar negeri? Seperti apa rasio yang terjadi dan apakah Tourism Board negara lain mengantisipasi situasi tersebut dengan beragam program untuk menjaga animo pelancong?
Dalam berbisnis tentunya ada prinsip reciprocal (imbal balik), termasuk dibidang pariwisata. Kita bisa lihat jelas di industri penerbangan dimana maskapai pasti akan mempertimbangkan pembukaan jalur penerbangan ketika traffic masuk dan keluar ke satu negara dianggap ‘gemuk’ atau paling tidak diatas 50% load factor. Karena di industri transportasi kan tidak mungkin kendaraan kosong tanpa penumpang.

Kita bisa lihat beberapa negara memang mengupayakan travel corridor untuk mengupayakan restart-nya perjalanan antar negara, tapi kita lihat juga banyak negara yang justru berfokus pada domestik market dan masih menutup jalur kedatangan turis.

Hal yang menarik disini kan rasanya setiap negara menutup diri bukan hanya masalah takut dengan risiko peningkatan virus, tapi untuk melindungi dan meningkatkan belanja domestik. Artinya situasi pandemik ini bisa dijadikan moment untuk menjaga dan meningkatkan devisa melalui produksi dan konsumsi dalam negeri.

8. Apakah renovasi dan pertambahan infrastruktur di Indonesia secara nyata memiliki pengaruh besar kepada peningkatan servis yang diberikan oleh pebisnis sektor pariwisata kepada semua pelancong? Contohnya adalah pertambahan akses jalan tol, bandara dan perbaikan kebijakan di berbagai provinsi.
Aksesibilitas tentunya kunci untuk kedatangan arus manusia dan barang, dan melalui infrastruktur peningkatan aksesibilitas bisa dicapai. Pertambahan dan perbaikan infrastruktur secara matematis memang bisa meningkatkan kunjungan orang ke satu daerah, tapi sekali lagi demand drives traffic, kalo demand-nya lemah akibatnya traffic juga rendah dan sektor privat belum tentu tertarik masuk. Pemetaan demand ini yang menurut saya penting khususnya untuk pembangunan pariwisata, kecuali Pemerintah membangun infrastruktur sebagai bagian dari amanat bangsa dan negara, ini tidak bisa ditawar.

9. Selama 10 tahun terakhir, apakah grafik pendapatan di bisnis pariwisata selalu beranjak naik terus? Apa saja indikator atas kenaikan tersebut? Apakah berhadapan dengan gaya hidup dan habit atas generasi milenial yang jumlahnya sangat besar menjadi kontributor utama di sektor pariwisata?
Pergerakan kunjungan wisman ke Indonesia rasanya mulai tumbuh positif di tahun 2008. Faktor penggeraknya antara lain stabilitas politik Indonesia cenderung baik, presentasi dan persentase peningkatan middle-class Indonesia yang bertumbuh, ekonomi global baik dimana negara-negara selatan membentuk aliansi-aliansi politik dan ekonomi, dan tentunya pariwisata disiapkan menjadi kontributor devisa bagi Indonesia melalui UU no 9 tahun 2010 tentang Kepariwisataan. Mulai tahun 2008 pertumbuhan incremental pariwisata positif di angka rata-rata 10,7%

Untuk millennial sendiri sebetulnya saya kurang melihat mereka sebagai good spender saat ini, tapi mereka good influencer untuk keluarga atau komunitas. Millennial saat ini membantu transformasi model bisnis pariwisata, baik di sisi supply side ataupun demand side. Contohnya, OTA maju pesat karena demanding level millennial yang ingin instan, belanja produk leisure secara satuan (component), bayar liburan bisa dicicil, dan lain sebagainya merupakan footprints millennial.

Contoh lain pada pengembangan destinasi: pada sisi supply side, millennial suburban pintar membangun destinasi yang instagrammable karena mereka sebetulnya terkoneksi dengan millennial urban, sementara millennial urban men-drive permintaan ke destinasi-destinasi baru tadi, termasuk digitalisasi bisnis.

10. Posisi agen perjalanan konvensional terdisrupsi dengan kehadiran digital startup yang mengambil sebagian area bisnis seperti pembelian tiket, hotel dan paket liburan. Apakah pada akhirnya semua aktivitas bisnis anda dapat diambil semua oleh para perusahaan rintisan tersebut?
Brick and mortar issue sudah menjadi diskusi hangat sejak sepuluh tahun lalu, kenyataannya agen konvensional masih ada hingga sekarang. Dan pada saat ini yang menarik behaviour market mulai rebound ke travel agent konvensional karena memberikan layanan yang lebih fleksibel. Tapi OTA pun tetap exist, karena mereka bagus sekali sebagai channel penjualan produk component (satuan, seperti: tiket, hotel) sementara tradisional travel agent juga bertahan untuk market yang menghendaki produk spesialis dan corporate travel.

Digital start up di pariwisata juga jangan selalu diartikan dengan OTA, tapi bisa dalam bentuk digitalisasi di system back-end seperti yang kami lakukan sebagai tour operator. Dengan digitalisasi pada back-end memungkinkan kami menerima bookingan produk tour secara real-time, 24 jam, 7 hari seminggu tanpa harus menjadi OTA.

11. Semua lini bisnis terdampak oleh pandemi COVID-19 yang sangat keras. Bagaimana bisnis anda bisa bertahan sambil mempersiapkan resolusi terbaru yang dapat dimonetisasi di tahun 2021? Sejauh ini apa sisi positif yang anda lihat atas pagebluk panjang ini?
Tahun 2020 ini secara bisnis kelihatannya kami hanya mendapat bisnis secara normal selama
3 bulan, dari Januari hingga Maret, sisanya kami melakukan konsolidasi internal, restrukturisasi keuangan, stay connected dengan klien untuk menandakan bahwa kami tetap ada, dan menyiapkan layanan dan produk new normal. Saya pikir sisi positif dari pandemik ini adalah menguatkan synergy didalam Panorama Group dan mengasah kemampuan bertahan dibidang pariwisata yang telah digeluti selama 48 tahun.

12. Anda juga aktif di PHRI sebagai Ketua Bidang MICE dan Komunikasi,
apa saja lobi PHRI dengan Pemerintah Indonesia di masa pandemik yang telah berjalan selama 7 bulan lebih ini? Bagaimana membuat para pelaku bisnis tetap percaya bahwa masalah ini akan dapat diantisipasi secara kolektif?
Saya rasa PHRI sangat berperan sebagai corong bagi sektor pariwisata ke Pemerintah sepanjang pandemik berlangsung dengan dukungan banyak asosiasi industri. Banyak kebijakan yang diambil pemerintah berdasarkan masukkan dan lobi-lobi dari PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia). Tentunya hal ini yang memberikan semangat dan optimisme bagi anggota bahwa pandemik bisa dilalui bersama.

13. Di luar dari kesibukan kerja, apa saja hobi yang anda geluti?
Apakah hobi tersebut telah mendatangkan pemasukan yang berjenjang?
Sebetulnya saya bingung hobi saya apa, karena banyak yang saya lakukan dengan enjoy (membaca, main musik, menulis, membuat sketch, traveling, adventure) jadi definisi hobinya itu yang saya bingung, dan semuanya rata-rata saya lakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Tapi sesuatu yang saya senangi saat ini dan sedikit memberikan kebahagiaan materiil (Bahagia karena kaget ternyata bisa dijual) adalah kesukaan saya pada kopi. Beberapa tahun terakhir ini saya gemar mencari beragam biji kopi nusantara dan belajar prosesnya. Mulai dari mencuci sampai roasting. Dengan kesukaan berburu biji kopi ini akhirnya saya membuat coffee bean dengan model roast profile yang saya otak-atik sendiri, jadilah Kopi, karena Kopi adalah Koentji. [IM]

@2020/AldoSianturi/Photo: Aldo Sianturi, Sadewa

(Aldo Sianturi adalah seorang entrepreneur, consultant dan business leader dengan pengalaman lebih dari 25 tahun di industri musik dan entertainment)

Previous articleCara Siswa Mengarungi Tantangan Covid
Next articleNew Virtual Entertainment Concept Set To Bring Bali Magic To Australia