Wajah Keluarga Di Masa Depan

717
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Menurut asumsi yang paling populer, berkeluarga itu memperbaiki masa depan. Ya, secara fisik, ekonomi, dan intelijensia. Itu sebabnya, sebelum menikah dan membina keluarga, para bujang dan gadis ‘mengeker’ dengan baik calon pasangan hidupnya. Tapi, di masa depan, tantangan berkeluarga nggak hanya mencetak generasi “lebih baik” ternyata. Uh oh!

Setiap tanggal 15 Mei, PBB mencanangkan Hari Keluarga Internasional. Gunanya adalah di hari ini, kita semua diberi kesempatan untuk mempromosikan kesadaran adanya isu-isu yang berhubungan dengan keluarga dan meningkatkan pengetahuan proses sosial, ekonomi, dan demografi yang berdampak pada keluarga. Nah, jadi, ada benarnya untuk membina rumah tangga dari sejak awal banget supaya di masa depan nggak terjadi isu-isu yang di atas.

Efek Industrialisasi
Tapi, apa sih yang sebetulnya bisa memengaruhi kehidupan keluarga di masa depan? Beberapa ilmuwan dengan serius mencoba melakukan studi mengenai hal ini yang ternyata gagal. William J Goode, menulis di awal 1960-an di masa “masa emas pernikahan”, melihat bahwa perubahan terhadap keluarga barat yang moderat memang nggak terhindari karena efek industrialisasi. Tak lama setelah bukunya “World Revolution and Family Patterns” yang sangat terkenal diterbitkan, perceraian di dunia barat mulai meningkat, dan para istri masuk ke dunia kerja. 

Jika dialami, ya nggak tahu. Ada hal kisi-kisi yang jelas terbaca bagaimana kehidupan keluarga berubah sejalannya waktu. Dari awal tahun 1970-an, pernikahan dan kelahiran mulai ditunda, tinggal bersama dan anak-anak yang lahir di luar pernikahan pun meningkat. 

Ahli kependudukan Dirk Van de Kaa dan Ron Lesthaeghe ‘membaca’ perubahan-perubahan ini akibat dari perubahan nilai, meningkatkan kepercayaan diri dan individualisme. Menurut mereka, semua negara Eropa mengalami apa yang dinamakan “transisi kependudukan kedua”. Pernikahan, seks, dan menjadi orang tua dipisahkan, dan karenanya kita melihat sebuah perubahan pada tingkat kehamilan yang sengaja ditunda, dan wajah keluarga baru: anak yang lahir di luar ikatan pernikahan, orang tua tunggal, beberapa keluarga yang tinggal bersama.

Terjadi juga gerakan di banyak negara mengenai bentuk-bentuk keluarga, seperti tinggal bersama dan anak luar nikah. Bahkan, gerakan ini terjadi juga di negara-negara yang awalnya masuk dalam kategori relijius, seperti di Eropa Selatan. Di Spanyol, kelahiran di luar nikah naik dari 2% di 1972 menjadi 39% di 2012.

Meskipun demikian, negara-negara ini masih berbeda dalam menghubungkan hal-hal yang berhubungan dengan tinggal bersama, pernikahan, dan memiliki anak. Hal itu juga termasuk ke peran pemerintah yang mengakui dan mengatur tinggal bersama tanpa nikah dan pasangan sesama jenis. Hal tu menyiratkan bahwa penerimaan bentuk keluarga baru tersebut terus berlanjut meski aplikasinya berbeda-beda di tiap negaranya.

Ancaman Kemiskinan
Sebagaimana wajah keluarga yang kini tak lagi memiliki standar baku, “perubahan ke arah keragaman” juga terjadi. Jelasnya, orang saat ini memiliki seribu satu jalan dan cara untuk mengatur kehidupan keluarganya, dan karenanya di depan kita akan melihat keberagaman karakter keluarga masa depan. Bagaimana pun juga, menurut ilmuwan AS Sara McLanahan, perbedaan ekonomi sosial dalam struktur orang tua dan perilaku terlihat nyata dan bisa dipandang sebagai “penyebab kemiskinan” dengan menciptakan “perubahan masa depan” anak-anak.

Sebagian karena respons ketidakpastian faktor ekonomi dan berkurangnya pernikahan, orang yang tidak cukup berpendidikan cenderung memiliki hubungan di usia lebih muda dan memiliki anak di luar pernikahan. Kelompok ini juga rentan mengalami kegagalan hubungan, atau kehamilan dengan teman hidup yang berbeda-beda, dibandingkan dengan mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi.

Kita juga bisa melihat bukti keberagaman yang selalu ada dalam hal hamil dan melahirkan. Turunnya bayi lahir di Eropa Selatan dan negara-negara berbahasa Jerman, dibandingkan kelahiran yang tinggi (1-2 anak per ibu melahirkan) di negara-negara Nordik dan Eropa Barat. Kelahiran anak tinggi di negara-negara yang perempuannya bekerja, mengalami kenaikan ekonomi, tingginya tunjangan cuti kelahiran, dan cuti orang tua.

Penyebab Perubahan
Ada beberapa faktor yang sepertinya berdampak pada bagaimana keluarga terbentuk dan teratur, dan hal tersebut memberi pengaruh pada pembentukan keluarga masa depan. Hal tersebut termasuk meningkatnya harapan hidup yang penting banget pada bagaimana kita merencanakan kehidupan kita, kebutuhan perawatan, dan hubungan antar-generasi.

Meningkatnya migrasi internasional akan menciptakan lebih banyak lagi keluarga multikultur, terutama sejak pertama kalinya jumlah perempuan migran lebih dari 50% dari total jumlah migran internasional. Teknologi juga memberi pengaruh pada keluarga masa depan. Semakin meningkatnya pergerakan, anggota keluarga juga semakin terpencar, tapi tetap berhubungan karena ada komunikasi jarak jauh. Bekerja secara fleksibel juga menjadi lebih memungkinkan, membuat orang tua memadukan pekerjaan dan perannya dalam keluarga lebih baik.

Kehidupan Rumah Sebagai Penentu
Pendorong perubahan lainnya pada keluarga di masa depan adalah persamaan gender. Agenda PBB di tahun 2030 adalah “Pertumbuhan yang Berkelanjutan”, salah satunya adalah mencapai persamaan gender dan memberdayakan semua perempuan, termasuk anak perempuan. Namun, persamaan gender seperti apakah yang penting untuk keluarga masa depan?

Penyesuaian perempuan dengan peran baru mereka yang dulunya hanya diisi oleh kaum pria dalam ranah umum dan penerimaan peran baru mereka sebagai penyedia kebutuhan yang sama atau yang terutama jauh lebih cepat daripada penyesuaian pria di peran yang dulunya hanya dilakukan perempuan, terutama dalam hal merawat.

Para pria yang melakukan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak jumlahnya tinggi di negara-negara yang menganut persamaan gender, seperti Nordik, dan paling rendah di negara-negara yang rendah pula persamaan gendernya, seperti di Eropa Selatan dan Timur. Namun demikian, kita masih bisa menemukan di semua negara di dunia yang mana kaum perempuannya masih setia melakukan tugas-tugas kerumahtanggaan. Revolusi gender memang masih jauh dari selesai, bahkan di negara-negara Nordik sekalipun.

Berbagi Beban
Mereka yang mendukung teori revolusi gender meramalkan sebuah akhir yang bahagia bagi keluarga masa depan. Saat persamaan gender teraplikasi di semua bidang tercapai, sebuah model keluarga akan tercipta di mana-mana, dengan tingkat kelahiran tinggi dan hubungan antar orang tua yang lebih stabil. 

Namun demikian, data terbaru memperlihatkan perbedaan yang mencolok di semua kelas sosial: paham persamaan gender dan turunnya risiko perceraian justru nyata terlihat di kelas sosial beredukasi tinggi. Apakah revolusi gender akan dibaca sebagai hasil yang positif bagi keluarga di masa depan tergantung dari apakah pria dari kelas pendidikan yang lebih rendah mengakui persamaan gender ini di rumah.

Inilah persamaan yang paling penting untuk mendukung keluarga yang lebih stabil dan meningkatkan kesuburan. Harapannya, perilaku yang mengarah pada pembagian tugas yang sama baik di dalam maupun di luar rumah akan berlanjut dan berkembang sampai kita tiba di sebuah model keluarga yang baru, yaitu keluarga di mana orang tua memiliki tingkat pekerjaan dan tanggung jawab dalam merawat anggota keluarga di rumah yang sama. [IM]

 

10 Pertanyaan Sebelum Berkeluarga

Ngebet banget pengen berkeluarga? Coba, deh, tanyakan 10 pertanyaan ini agar kamu siap 100% melangkah menjadi orang tua.

1. Insting Aja Nggak, Sih?
Kita semua terlahir dengan program “beranak pinak”, minimal ingin punya anak. Itu alamiah, kok. Memiliki keluarga dapat membuatmu merasa apa yang kamu lakukan adalah alamiah saja sifatnya. Coba kamu bikin daftar pro dan kontra dan imbangi insting “beranak pinak“ itu dengan hal-hal yang praktis. Pertimbangkan faktor-faktor tersebut.

2. Keluarga Sudah Mendesak?
Kadang, orang tua kita yang ngebet pengen gendong cucu saat kamu sudah berumah tangga. Dan, keinginan mereka itu lebih besar daripada keinginanmu sendiri. Jangan biarkan ambisi mereka menekan atau memengaruhi keputusanmu sendiri. tanyakan pada mereka apa yang mereka bisa bantu kalau kamu punya anak.

3. Siap Melakukan ‘Career Break’?
Cuti melahirkan tentu saja membahagiakan dalam faktor keluarga, tapi bagi sebagain wanita, hal itu seperti memberhentikan karier mereka, baik sementara maupun permanen. Banyak pasangan yang baru memiliki anak memutuskan untuk bekerja paruh waktu dan berbagai tanggung jawab dalam merawat anak. Coba cek lagi dengan rencana kariermu.

4. Apakah Kamu Mampu?
Membesarkan anak mahal harganya. Pertimbangkan matang-matang dengan melihat kemampuan keuanganmu dan bagaimana kamu akan mengaturnya. Apakah sebaiknya menunggu dan menabung, atau jalan aja terus? Nggak ada jawaban yang benar di sini, ya.

5. Apakah Ada Kamar Ekstra?
Apakah rumahmu cocok dihuni seorang anak? Jika hanya satu kamar tidur atau apartemen tipe studio, lebih baik baik ganti dulu. Jauhkah rumahmu dari sekolah dan fasilitas lainnya yang kamu butuhkan? Memiliki anak akan membuatmu melihat rumah dan lingkungan jadi berbeda.

6. Kuatkah Hubungan Kalian?
Ada pasangan yang memutuskan memiliki anak untuk memperbaiki hubungan yang nggak atau kurang harmonis. Alasan ini jelas ngga bisa diterima. tanyakan dirimu apakah kalian bisa berkomitmen minimal 20 tahun untuk menjadi pasangan orang tua. It’s a big question.

7. Susah Nggak, Sih?
Enak enggaknya hamil adalah pengalaman yang berbeda-beda bagi setiap orang. Ambillah langkah-langkah persiapan sebelum terjadi, dan jangan gusar kalau ternyata butuh lebih lama untuk hamil dari yang kamu harapkan. Persiapkan stamina untuk apa yang disebut “pekerjaan yang nggak ada habisnya”.

8. Apakah Hidup Akan Lebih Baik?
Jika kamu menikmati pekerjaan hebat dan memiliki kehidupan sosial yang sibuk, kehadiran bayi pastinya akan mengubah semuanya. Apakah kamu lebih menyukainya atau menyesalinya, pastinya bukan untuk dijawab.

9. Kalau Kembar Bagaimana?
Jika salah satu orang tuamu kembar, ada kemungkinan kamu akan memiliki anak kembar juga. Perawatan kesuburan juga meningkatkan kesempatan untuk melahirkan bayi kembar. Bisakah kamu menangani dua atau tiga (atau bahkan sembilan!) sekaligus? Atau hanya berencana punya satu saja?

10. Cocok Nggak Gennya?
Banyak orang memutuskan untuk nggak punya anak karena mereka bisa menurunkan penyakit atau kondiri keturunan. Jika kamu berada di posisi ini, segera tanyakan pada ahinya, ya. Jangan menebak-nebak sendiri. [IM]

Previous articleSiswa Canberra Grammar School Tunjukkan Kemampuan Berbahasa Indonesia di depan Dubes RI
Next articleMiriam Tulevski And Her Dream Job: Indonesia Holiday Spots!