Seperti Apakah Sosok Pahlawan Itu?

935
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

“Perhaps, he realized, that one of the reasons he hated that term ‘savior’ applied to him was that he believed he wasn’t taking real risks doing what he did. Most of his actions, he felt, weren’t life-threatening. He was invulnerable; almost nothing except for kryptonite could harm him. But policemen, firemen, people like these astronauts, they put their lives on the line every time they tried to help mankind take yet another small step forward. They were the real heroes, and he wished they received the acclaim they deserved.” — Superman Returns

Mari kita cari tahu syarat apa saja yang membuat seseorang menjadi pahlawan di era modern saat ini.

Sebelumnya, pertama-tama, saya hobi nonton film. Banget. Dan, sudah menjadi rumusan umum kalau setiap film (apa pun jenisnya, berapa pun usia yang boleh dikonsumsinya, dan siapa pun sutradaranya) pasti memiliki benang merah yang sama: konflik antara protagonis dan antagonis. Si baik dan si jahat. Si alim dan si zalim. Pahlawan versus penjahat. Di setiap film juga, saya selalu mencari sosok pahlawan, dengan berbagai ragam dan kemasannya. Pahlawan, bagi saya, membuat dunia lebih, lebih indah, lebih selaras, dan memberikan sumbangsih kepada orang-orang di sekitarnya. Dalam setiap filmnya, Marvel sangat tegas dan jelas memberi definisi terhadap sosok-sosok pahlawan supernya. Tapi, di kehidupan nyata, jelas tidak semudah itu.

Mudahkah Menjadi Pahlawan?
Seseorang dipandang “pahlawan” karena sekolah yang dimasukinya (woohooo, diterima beasiswa di universitas negeri! Dia hebat, ya, pasti belajarnya sangat rajin), penghargaan atau piala yang dimenangkan (…and the best actress goes to…), pengakuan dari teman-teman sebaya (dia, sih, selalu bisa diandalkan kapan saja), dan lainnya. Masalah lebih besar dalam hidup selalu terletak di dalam genggaman seorang pahlawan yang berada di suatu tempat di luar hidup kita.

Haruskah syarat untuk menjadi seorang pahlawan adalah “selalu dapat menjawab/menyelesaikan hidup?” Pertanyaan yang lebih tepatnya bukankah “Haruskah kita mencari penyelesaian masalah kita sendiri dari orang orang lain?”. Seorang teman — sebutlah Erika, melabeli teman barunya, Hanna, sebagai “my hero” karena selalu dapat diandalkan saat membantunya (sekitar 75%) mengerjakan assignment-nya. Pujian dilontarkan. Dan disebarkan ke teman-teman Erika yang lainnya. Tapi, jika Hanna berhalangan untuk membantunya, Erika pundung, merasa tak didukung. Dia merasa dibiarkan menghadapi PR-nya yang bak menyeringai dengan kejam. Hanna lantas menjawab pertanyaan saya menjadi sub-judul di atas dengan ringan. “Saya bukan pahlawan bagi Erika. Kalau bisa bantu, ya saya bantu. Kalau tidak bisa, mau bikin apa?” Logika yang teramat sederhana.

Lalu, apa yang telah dilakukan seseorang supaya dikenang–walau sesaat–sebagai pahlawan? Sebagian besar kita hidup dengan keyakinan bahwa kita tidak memiliki kriteria untuk menjadi pahlawan. Kriteria itu kita lihat pada orang-orang pemberani (pemadam kebakaran, polisi, tentara, guru, dokter, dan lainnya). Tugas mereka menjadikan mereka pahlawan. Adalah pengorbanan mereka yang kita heroik. Nah, itukah tanda-tanda kepahlawanan, bahwa harus berani mengambil risiko walau nyawa menjadi taruhan? Bersediakah kita berkorban?

Pengorbanan = Kata Kunci
Dalam setiap film, aksi setiap pahlawan nyata terasa. Dia berani berkorban. Sementara si jahat menjadi pihak yang serakah dan egois. Kalau dipikir-pikir, metode menyelamatkan dunia ini tidak sulit. Sedikit buat saya (atau tidak sama sekali), dan rela memberi untuk orang lain (kenal atau tidak). Meski terdengar sepele dan remeh, aplikasinya tak semudah ngomong (eh, nulis). Saat lapar dan uang cuma bisa beli sepaket makanan paling murah, tiba-tiba seorang teman nongol dengan curhat memilukan: belum makan dari kemarin dan sekarang nyaris pingsan. Soal makanan, saya mungkin bisa lulus tes–dan jadi pahlawan. Tapi, bagaimana dalam kasus pacar diambil orang? Atau, yang lebih ngilu, dibohongi pacar soal gebetannya? Woooo uwow uwooooow… Saya rasa, saya akan jadi meanest villain ever!

Tulus (ini nama, bukan kata sifat), pernah cerita begini: pacar yang sangat dia sayangi ternyata hobi menyakiti perasaannya. Menyakiti dalam konteks seperti punya dua kepribadian yang bak bumi dan langit. Kalau dekat, dia bagai malaikat. Kalau jauh, dia bagai malaikat…maut. Hobinya shopping, nongkrong di kafe, makan di resto kelas menengah atas, belanja kosmetik (kamarnya udah kayak Sephora mini, curhat Tulus). Belum lagi kegiatan keluyuran sampai tengah malam hampir tiap malam yang membuat pemuda ini seperti terkuras tenaganya. “Setengah tahun pertama menjalani hubungan ini gue anggap tantangan. Masak, sih, dia nggak berubah?” Cinta membuat Tulus kuat menantang masalah. Berdua mereka mencoba mencari solusinya. Ujungnya, sang pacar mau berubah. Setelah Tulus pindah ke Sydney untuk sekolah, kebiasaan si pacar mulai lagi. Setengah tahun yang kedua rupanya bukan tantangan lagi. “Bencana. Kalau gua masih ngabisin waktu dan tenaga buat musingin dia, kelar hidup gua.” Hubungan pun selesai. Siapa pahlawannya? Karena hanya mendengar cerita dari satu sisi saja, jelas saya tak dapat mengambil kesimpulan. Pengorbanan menjadi kata yang sangat menantang.

Pahlawan Melakukan Ini
Para pahlawan mengubah kehidupan. Minimal, memberikan makna baru, membuat yang tadinya tak ada menjadi ada. Karena merekalah, sesuatu yang hanya ide, angan, atau konsep menjadi nyata, berbentuk, dan terasa.

Saya mencoba mengingat mereka, para pahlawan di hidup saya, yang memberi makna baru terhadap batasan, lagi dan lagi. Tanpa penghargaan, tanpa tepukan, tanpa dukungan apa pun. Hidup saya, dan pastinya orang lain juga, ikut dibangun. Cita-cita saya menjadi nyata. Saya menjadi orang yang saya impikan karena mereka.

Salah satu sosok pahlawan saya yang paling nyata adalah Ibu saya sendiri. Betul, kan? Mayoritas perempuan pasti melihat ibunya adalah pahlawannya. Bagaimana tidak? Para ibu adalah the best giver. Tanpa pamrih, tanpa tekanan, tanpa syarat. Ibu juga adalah the best care taker. Dia tahu masakan kesukaan anaknya. Mengerti baju yang emoh dipakai anaknya. Dan, jajanan yang dia larang keras walaupun secara sembuyi-sembunyi si anak beli juga. Ingin melihat momen terbaik saat ibu menjelma menjadi pahlawan? Saat anaknya sakit. Aduh, rasanya tuh, dia ikut menderita sakitnya. Atau saat anaknya mengalami kegagalan. Jan Peterson, istri mendiang Eugene Peterson (penulis Alkitab versi The Message) bercerita tentang kepedihan dan kesedihan yang ia turut rasakan saat putranya mengalami masa-masa pergolakan rumah tangga, melalui proses perceraian, dan menjadi duda. “Hati saya hancur lebur setiap kali mengingat anak saya. Dan, celakanya, setiap saat, saya mengingatnya.” Masa-masa yang membebani hati Jan akhirnya berakhir juga. Putranya kembali membangun rumah tangga yang membuat Jan bahagia.

Sosok kedua yang saya anggap pahlawan adalah guru sekolah. Serius. Bukan pastor, bukan guru sekolah minggu (saya tidak memiliki ingatan yang baik dalam hal ini), bukan sahabat, bukan juga pacar-pacar saya, tapi guru-guru saya. Memang tidak semua guru menjadi favorit saya. Dan, tidak semua guru mengajar dengan baik dan menjadi teladan yang baik, termasuk gurunya berhati baik. Saya cuma berpikir, apa jadinya kalau dunia ini tidak mengenal kata guru? Orang yang mengajarkan kita sesuatu selangkah demi selangkah, sehingga dari TK saya bisa jadi sarjana? Sabar, tegas, komunikatif, pintar (udah pasti, dong, kalau nggak gimana bisa jadi guru?). Perawakan bagus dan wajah menawan adalah bonus tambahan yang selalu saya nantikan karena menjadi memory booster. Ada beberapa guru yang saya sangat sukai. Begitu sukanya, saya tidak pernah mau membolos kelasnya. Kebiasaan itu saya bangun sejak SD sampai kuliah. Entah kenapa, sedari piyik saya memahami konsep “good teacher is hard to find, so glued yourself on your chair or you miss something great”. Terus terang, dari mereka saya mengambil begitu banyak pelajaran hidup yang sangat mengasyikan.

Figur pahlawan lainnya saya temukan dari penulis, para pembuat perubahan (Ibu Teresa, Nelson Mandela, Marthin Luther King Jr., dan lainnya), para pastor dan pelayan gereja, para penemu, dan para pembuat terobosan. Saya rasa, tiap-tiap kita memiliki figur pahlawan sendiri, karena apa yang telah mereka lakukan berdampak besar bagi hidup Anda. Ya, para pahlawan melakukan sesuatu yang memberikan dampak besar, bukan biasa-biasa saja, dalam hidup kita sehingga dapat mengubah cara kita berpikir dan bertindak.

Jalan Pahlawan
Bagaimana caranya membuat dunia kita ini lebih baik? Buatlah upaya, meskipun bodoh, setiap saat. Belajarlah dari sejarah, karena sejarah menjadi penanda terbaik langkah yang diambil berikutnya.

Pahlawan mengingat dua hal:
1. Pekerjaan baik tak ada habisnya. Selalu ada yang harus dikerjakan. Selalu ada celah untuk melakukan hal yang benar. Dan selalu ada orang yang membutuhkan terang di dalam kegelapan masalahnya.

2. Hanya sedikit orang yang mau melakukan poin nomor satu. Para pahlawan melakukannya walaupun tahu tidak ada balasan, bahkan tidak kata “terima kasih”.

Karena pahlawan masa kini bukanlah seperti gerombolan pahlawan super di “The Avengers: Endgame”, yang berotot kawat, bertulang besi, dan berhati baja, jadilah diri sendiri. Jangan takut berbuat salah. Tapi, jangan juga bertameng “salah itu wajar”. Yang pasti para pahlawan tidak sendirian, meskipun rasanya bekerja sendiri. Kita masih punya waktu untuk melakukan pekerjaan baik, dan masih ada orang yang membutuhkan pertolongan kita. Ada banyak orang di luar sana yang memiliki tujuan yang sama dengan kita, berjejaringlah. Tanya-tanya ke sekeliling. Bahkan, seorang pahlawan tidak boleh tersesat jalannya, jadi harus mau dan rajin bertanya. [IM]

Previous articleTambahan ekstra bagasi 10kg dari Garuda Indonesia
Next articleTANTOWI YAHYA – Dari Layar Teve Ke Layar Politik