Film dokumenter pemenang penghargaan “EKSIL” karya sutradara ternama Indonesia, Lola Amaria, diputar di University of Sydney pada 8 Oktober 2024. Acara yang dihadiri oleh sekitar 200 orang yang terdiri atas Warga Negara Indonesia (WNI), pelajar Indonesia dan mancanegara, serta diaspora Indonesia ini, mencerminkan antusiasme besar terhadap karya sineas Indonesia yang mengangkat kisah penting dalam sejarah bangsa.
Penayangan EKSIL di Sydney mendapatkan dukungan dari berbagai pihak termasuk Konsulat Jenderal RI di Sydney, University of Sydney, Australia Indonesia Youth Association (AIYA), Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) University of Sydney, LPDP University of Sydney dan Indonesian Network of Doctoral and Early-career Researchers in Australia (INDERA).
Vedi Kurnia Buana, Konsul Jenderal RI Sydney, menyampaikan apresiasinya kepada Lola Amaria, Sari Mochtan dan tim produksi.
“Film EKSIL membuka ruang bagi kita semua untuk merenungkan babak penting dalam sejarah Indonesia, tidak hanya melalui peristiwa-peristiwa besar, tetapi juga melalui kisah individu-individu yang terdampak langsung.
Film ini memberikan perspektif baru tentang dampak politik terhadap identitas dan kehidupan manusia, yang penting untuk kita pahami dan renungkan bersama guna membangun masa depan Indonesia yang lebih baik” ujar Vedi.
EKSIL, diproduksi oleh Lola Amaria Production, bercerita tentang mahasiswa Indonesia yang dikirim ke luar negeri untuk belajar, tetapi tidak bisa kembali ke tanah air akibat gejolak politik pada tahun 1965-1966. Paspor mereka dicabut, menyebabkan mereka kehilangan kewarganegaraannya/stateless di Eropa. Film ini menggambarkan pergulatan mereka dalam mempertahankan identitas nasional di tanah asing, sekaligus kerinduan untuk kembali ke Indonesia.
Lola Amaria, yang dikenal dengan karya-karyanya yang menggali isu-isu sosial, seperti “Sunday Morning at Victoria Park” (2010), “Jingga” (2016), dan “Lima” (2018), melalui EKSIL sekali lagi menyentuh aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam. Film ini telah memenangkan beberapa penghargaan, termasuk Film Terbaik (JAFF Indonesian Screen Awards) di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2022 dan Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2023.
Dalam sesi diskusi dengan penonton yang hadir menyaksikan EKSIL, Lola Amaria mengatakan, “Saya berharap EKSIL dapat menjadi cermin bagi kita semua bahwa kemanusiaan dan hak-hak dasar tidak boleh diabaikan, bahkan dalam situasi politik yang paling sulit. Kisah-kisah ini adalah bagian dari sejarah Indonesia yang harus kita ingat dan terus perjuangkan.”
Bahkan belakangan diketahui bahwa salah satu eksil adalah tokoh pemerhati bahasa yang cukup dikenal di kalangan akademisi. “Saya terharu bisa melihat wawancara Bapak Waruno Mahdi, seorang eksil yang juga self-trained linguist. Karya-karyanya dalam bentuk buku maupun artikel banyak dirujuk di kalangan akademisi dan pemerhati bahasa,” pungkas Ibu Dwi Noverini Djenar, seorang Indonesianist sekaligus Associate Professor di Department of Indonesian Studies, University of Sydney, selaku moderator diskusi.
Diskusi mendapat antusiasme tinggi dari para penonton, terutama dalam menggali lebih jauh proses kreatif dan tantangan yang dihadapi dalam pembuatan film EKSIL. “Saya mengapresiasi keuletan dan kejelian sutradara dan produser, setelah 10 tahun berproses akhirnya film ini diluncurkan pada momentum yang tepat, dan juga mendapat penghargaan yang cukup prestisius,” ujar salah satu penonton yang juga mahasiswa Indonesia yang sedang melanjutkan studi S2 di University of Sydney.
Film ini pertama kali diputar di bioskop-bioskop komersial Indonesia pada awal 2024 dan berhasil menarik lebih dari 65.000 penonton dalam waktu singkat. Setelah penayangan di Indonesia, Lola Amaria dan tim melanjutkan perjalanan penayangan ke berbagai negara di Eropa, seperti Belanda, Prancis, dan Jerman. Kini, EKSIL juga ditayangkan di beberapa kota di Australia, termasuk Perth, Melbourne, dan akan segera diputar di Canberra.
Selain menjadi karya seni yang berkesan, EKSIL juga berfungsi sebagai alat edukasi yang mengajak penonton untuk melihat kembali sejarah Indonesia dan memahami dampak politik terhadap identitas individu. [IM]