A Trip to The Past

2383
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

A Trip to The Past

Dalam rangka merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-72, patutlah kita merefleksikan kembali rasa nasionalisme kita. Kali ini, penulis ingin mengajak pembaca semua untuk mengunjungi masa penjajahan di Indonesia.

Seakan kembali ke jaman sekolah dulu, saya kembali mencari-cari fakta tentang masa penjajahan Belanda dan Jepang. Bagi saya, pelajaran sejarah itu merupakan salah satu pelajaran yang paling membosankan! Meski samar-samar masih teringat dengan istilah-istilah seperti Gerakan 3A oleh Jepang, VOC oleh Belanda, tanam paksa, Romusha, juga Orde Baru dan Orde Lama, tapi istilah-istilah tersebut hanya bekas-bekas hapalan mati yang dulu dilakukan untuk melalui ujian demi ujian.

Mungkin itulah salah satu alasan mengapa kisah dibangunnya negara ini kurang membekas di hati kita, lebih membekas di otak saja. Karena kita terbiasa mengkonsumsi kisah-kisah sejarah ini seperti teori belaka. Namun, “teori-teori” ini benar-benar terjadi dan hasilnya sungguh nyata dalam kehidupan kita.

Maka dari itu, mari kita gunakan Kacamata Kisah dan sama-sama kembali ke masa lalu untuk mengunjungi beberapa kisah penjajahan yang dialami pendahulu kita.

1. Kerja Paksa

Teori: Kegiatan kerja paksa dialami rakyat Indonesia baik di masa penjajahan Belanda (Kerja Rodi) maupun Jepang (Romusha). Kerja tanpa upah ini diterapkan dalam pembangunan jalan raya, jalur kereta api, pangkalan tentara, dan lain-lain.

Kisah: Seorang pemuda mengedipkan matanya dengan rasa tidak percaya. Pendidikan gratis?! Dengan bersemangat sang pemuda mengumpulkan barang-barangnya dan mengucapkan sampai jumpa pada keluarganya. Aku akan kembali setelah menuntut ilmu, janjinya dalam hati. Bersama seorang kawannya, ia pun berangkat dari Ambarawa ke Jakarta.

Namun, sekolah yang dijanjikan hanyalah bualan belaka. Sesampainya di Jakarta, sang pemuda dimasukan ke dalam kapal dan dibawa ke Sumatra. Tahun-tahun kedepan ia habiskan dengan bekerja membangun rel kereta api di bawah pengawasan ketat pemerintah Jepang. Makanan yang diberikan hanyalah sekepal nasi dan sepucuk garam. Ia dan romusha lainnya dipekerjakan layaknya binatang, yang sakit dibiarkan mati saja. Satu sama lain pun tidak boleh saling menolong atau akan dihukum oleh tentara Jepang.

Bukan hanya kelaparan dan penyakit saja yang harus diderita para pekerja paksa ini, tapi juga kecelakaan yang seringkali merampas nyawa. Suatu malam saat sang pemuda dan ratusan romusha lainnya sedang bekerja di kaki tebing, tiba-tiba terdengar ledakan dinamit yang begitu kencang. Beberapa saat kemudian, langit seakan runtuh dan menimpa mereka. Meski berhasil menyelamatkan diri, hari itu masih kuat membekas di ingatan sang pemuda. Malam yang diisi teriakan teman sependeritaannya dan tubuh-tubuh tak bernyawa yang menyambut mentari pagi.

(kisah ini adalah kisah nyata Bapak Sutarman yang diambil dari Gatra pada edisi No: 52 / XVII tanggal 9 Nov 2011)

2. Budak Seks

Teori: Pada jaman penjajahan Jepang, banyak wanita di Indonesia yang dipaksa menjadi budak seks (Jugun Ianfu) untuk memuaskan nafsu seksual prajurit Jepang. Sekitar 1500 perempuan menjadi korban pemerkosaan yang dilegalkan pemerintah pada waktu itu.

Kisah: Seorang gadis mengoyah sepeda barunya dengan bersemangat. Layaknya anak remaja berumur 14 tahun, sang gadis tidak betah mendekam di rumah dan memutuskan untuk menyusuri Jalan Gendingan di kota tercintanya, Semarang.

Namun, saat sang gadis menangkap basah para prajurit Jepang yang sedang menculik gadis-gadis muda, ia pun turut menjadi korban kejahatan itu. Ia dan puluhan gadis lainnya dibawa ke sebuah bangunan, difoto, dan diberi nama Jepang. Berbulan-bulan selanjutnya ia habiskan di kamar tahanan yang menjadi neraka baginya.

Dalam sehari, para Jugun Ianfu bisa diperkosa oleh sepuluh orang serdadu maupun perwira Jepang. Mereka diperlakukan bagai boneka, yang dilihat di katalog, dipakai main, dan jika rusak? dibuang. Para wanita yang hamil didera pukulan untuk mematikan anak dalam kandungan mereka dan banyak yang terkena penyakit kelamin.

Meski sang gadis kini sudah terbebas dari perbudakan keji itu, luka pahit yang ditorehkan tidak dapat disembuhkan. Ia tidak lagi bisa memiliki keturunan. Seandainya dulu saya buruk rupa… sesal sang gadis.

(kisah ini adalah kisah berbagai korban Jugun Ianfu dalam artikel “Kisah Jugun Ianfu Wanita Indonesia Jaman Jepang” di www.anehdidunia.com)

Begitulah dua kisah singkat yang bisa disampaikan di di kolom ini. Jujur saja, saat menyusun artikel ini, begitu banyak emosi yang campur aduk melintas. Mulai dari rasa kasihan, sedih, takut, marah, hingga akhirnya, rasa bersyukur.

Bagaimanakah dengan anda?

Setelah mengenang kisah para pendahulu kita, alangkah baiknya jika kita semua tidak kehilangan rasa nasionalisme terutama di saat-saat perayaan 17 Agustus seperti ini. Ingatlah luka pilu yang harus dilalui pendahulu kita untuk membangun Bangsa Indonesia. Jangan malah membenci, tapi balaskan penderitaan mereka dengan membuat jaya INDONESIA!

Salam Merdeka!

(by Natasha Ingelia)

Previous articleSuccessful Bethany Families Church 11th Anniversary
Next articleIndonesian Bazaar 2017