Robot-Robot Kesepian Di Kota Metropolitan

1360
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Setiap hari, di saat kita membuka mata, apa yang kita cari pertama kali? Kebanyakan orang mungkin akan langsung menjawab telepon genggam. Ya, menyalakan handphone dan mengakses beragam situs media sosial telah menjadi rutinitas wajib manusia jaman sekarang. Saling menyapa di grup instant messanging seperti Whatsapp, Line, atau BBM, sering kita lakukan demi menjaga sebuah tali silahturahmi.

Tak cukup berbincang di grup tersebut, kita pun keranjingan dan bahkan ketagihan untuk berkomentar di postingan teman-teman media sosial macam Facebook, Path, dan Instagram. Beginilah model komunikasi di masa kini dimana dunia sudah seperti tanpa sekat dan tanpa batas. Peristiwa yang berlangsung di bagian dunia terpencil pun dapat kita saksikan melalui televisi atau surat kabar online.

Cepat atau lambat, sadar atau tidak, pola hidup semacam ini membentuk manusia menjadi makhluk yang harus serba tahu dan serba bisa menghadapi perubahan. Itu saja belum cukup. Masih ada lagi yang namanya tuntutan sosial dimana banyak kaum urban yang akhirnya terikat pada sebuah skenario sosial yang menentukan gaya hidup mereka.

Lihat saja potret kehidupan seorang istri pejabat yang harus menyesuaikan diri dengan jabatan sang suami dalam hal pakaian, tas, aksesoris, kosmetik, gaya rambut, dan bahkan urusan bagaimana harus tersenyum. Itu baru istrinya. Sang suami pun merasa harus mengganti kendaraan, gaya berpakaian, sepatu yang dikenakan, gaya berjalan, dsb. Pasangan pejabat juga ada yang rela meninggalkan teman-teman sepermainannya dulu demi bergaul dengan kalangan yang kini sederajat dengannya. Sungguh miris, bukan?

Tak hanya pejabat, kaum urban Jakarta juga menjelma menjadi manusia modern yang begitu sibuk dan bekerja keras melakukan berbagai penyesuaian diri dengan yang namanya tren gaya hidup. Parahnya, demi sebuah gengsi kita seringkali mengejar apa yang diharapkan oleh orang lain untuk kita lakukan atau kita kenakan.

Coba ingat-ingat lagi seberapa sering kita berkata “YES” pada ajakan seorang teman untuk nongkrong di cafe atau restoran yang eksklusif meski uang di dompet sudah tinggal selembar, atau berapa kali kita janjian beli tas merek ternama dengan beberapa teman arisan padahal sejujurnya kita tak terlalu menyukai model tas tersebut.

Kita menjadi makhluk yang lebih mencintai apa kata orang daripada apa kata suara hati kita sendiri. Kita jadi sibuk meladeni keinginan orang lain sampai lupa kehendak sendiri. Kita tak ubahnya pemain sandiwara yang terampil memainkan peran bahkan tanpa ada bayaran.

Inilah sebuah fenomena dimana rutinitas yang sangat terpola membuat mereka yang hidup didalamnya cenderung sekedar menjalani hidup, tanpa lagi memaknainya. Gaya hidup yang beragam namun memiliki tuntutan yang sama di setiap lapisan sosial membuat manusia tak ada bedanya dengan robot yang diproduksi dari pabrik secara massal. Padahal manusia kan bukan robot yang tak punya perasaan. Manusia meski mungkin berperilaku seperti robot tetaplah manusia yang mempunyai gejolak perasaan.

“Robot” dengan perasaan inilah yang seringkali merasakan kesepian di tengah ritme kota metropolitan. “Robot” yang katanya punya 1000 lebih teman di Facebook dan 500 teman di Path, namun tetap saja merasa sepi. Tidakkah cukup angka sebanyak itu mewakili kehadiran teman yang seharusnya mengusir rasa sepi? Irosnisnya, angka tersebut ternyata tak mampu mengusir sepi yang tak terlihat tapi mampu dirasa.

Perasaan kesepian memang dapat terjadi pada setiap orang tak mengenal usia, latar belakang, atau status sosial. Di tengah teknologi komunikasi yang sedemikian maju dan dikelilingi dengan segala fasilitas serba canggih, bisa-bisanya kita tetap dihantui dengan yang namanya rasa sepi dan sendiri. Lebih parahnya lagi, rasa sepi yang hinggap di hati tak jarang berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental seseorang. Saat kesepian menimbulkan konsekuensi pada kesehatan seseorang, biasanya orang tersebut cenderung malu mengakui kalau rasa sepilah yang menjadi faktor utama tidak stabilnya emosi serta menurunnya kesehatan mereka.

Sejatinya, di dalam diri manusia terdapat ruang kosong yang harus diisi. Tinggal kita yang memilih mau mengisinya dengan apa atau siapa. Karena sesungguhnya kesepian itu bukanlah sesuatu yang sifatnya abadi. Kesepian hanyalah bagian dari sebuah perjalanan dan akan berlalu saat kita telah menemukan jawaban. Menemukan jawaban tak akan pernah terjadi jika kita tak pernah mencari.

Ingatlah bahwa kita bukanlah robot yang berisi kabel dan mesin yang bisa diprogram. Kita dianugerahi sebuah hati nurani yang dapat memilih untuk menjadi diri sendiri. Terhubunglah dengan diri sendiri sebelum kita terhubung dengan orang lain. Temukanlah apa yang kita mau terlebih dahulu sebelum mencari tahu apa yang orang lain mau. Saat kita nyaman menjadi diri sendiri dan mampu berkomunikasi dengan nurani, maka kita tak akan lagi menjadi robot-robot kesepian korban rutinitas tanpa henti.

Previous articleSisi Gelap Media Sosial Bagi Manusia
Next articleKunjungan ke Cina dan Melawan Kekerasan Ekstremisme