Di depan sebuah pabrik di Pasar Kemis, Tangerang, adalah seorang Ibu Nakiroh, berusia 55 tahun. Ibu Nakiroh yang sehari-harinya berhijab ini menjual indomie, nasi, soto, kopi, teh, dan jus dalam kemasan. Ya, menu favorit para mahasiswa dan pekerja yang ngekos, terutama menjelang akhir bulan.
Ibu Nakiroh mengaku bahwa kegiatan berdagang yang dilakukan beliau hanyalah sebagai pengisi waktu luang. Sebelumnya, beliau sempat lama menderita sakit akibat asam urat. Salah seorang putranya yang kebetulan belum menikah sempat mengurus beliau hingga sehat kembali.
“Saya mah, meski udah tua gini, tetep gak mau ngerepotin anak,” aku Ibu Nakiroh dengan tegas. “Biar kata orang anak laki emang wajib ngurusin orang tua, enggak berarti orang tua harus selalu tergantung juga sama anak.”
Kebetulan, beliau menjual salah satu merk kopi kemasan favorit saya. Dengan senang hati beliau membuatnya untuk saya saat saya memesan secangkir. Hmm, hanya dengan Rp10.000, saya bisa menikmati secangkir kopi cappuccino, meski dari kemasan. Bahagia itu memang (bisa) sederhana.
Berhubung secangkir kopi dibanderol dengan harga sepuluh ribu, rasa penasaran saya membuat saya bertanya:
“Hmm, ini kalo boleh tahu, sehari bisa dapet berapa, Ibu?”
“Maksud Neng laku apa enggak?” balas Ibu Nakiroh tanpa basa-basi. Namun, tidak tampak rasa tersinggung pada ekspresi wajah beliau (kecuali saya yang memang kurang peka, nggak tahu juga, ya).
“Hmm, itu tergantung, Neng. Kadang sepi, kadang rame.”
“Kalo lagi rame, biasanya bisa dapet berapa, Bu?” “Kalo rame, yah…saya biasanya bisa dapet ampe 400 ribu,” ujar Ibu Nakiroh sambil mengingat-ingat. “Tapi kalo lagi sepi banget…yah, cuma setengahnya. Ya, 200 ribu gitu. Kadang juga saya malah nggak dapet apa-apa dalam sehari, saking sepinya. Kalo udah gitu, mendingan saya pulang.”
“Yah, gitu deh, Neng,” aku beliau (suaranya masih terdengar santai dan ikhlas). Perempuan yang sudah berdagang selama tiga tahun ini kemudian melanjutkan, “Kadang ada yang langsung bayar, kadang ada yang ngutang. Kadang ada yang inget trus langsung bayar, kadang ada yang malah lupa.”
“Kadang malah saya juga yang lupa nagih atau siapa saja yang ngutang,” kata Ibu Nakiroh lagi sambil tertawa kecil. Dengan pelan beliau menepuk dahinya. “Maklum, Neng. Ibu ini udah tua. Mudah lupa.”
Bukannya mau berprasangka buruk, ya. Tapi, kok ada ya, yang tega memanfaatkan lupa-nya beliau? Yah, seperti biasa, lagi-lagi saya hanya bisa berdoa. Moga-moga tidak ada lagi pelanggan yang tega sampai berpura-pura lupa membayar utang mereka, meski Ibu Nakiroh terlihat sangat ikhlas. Ingin rasanya saya memberikan dia sebuah notes kecil dan pena, mungkin ada baiknya juga kalau dia mencatat siapa saja yang berhutang. Ah,…mungkin saja beliau memang seorang yang berhati bersih dan baik…dan saya rasa memang karena keikhlasannya lah maka dia bisa hidup bahagia walau sederhana.
(Indomedia/RA)