Kesenjangan antar generasi (inter-generational gap) itu nyata. Apalagi di tanah rantau Australia, dengan alam Barat moderen yang sangat berbeda dengan budaya Timur Indonesia atau ranah Minang. Sebagaimana halnya di belahan bumi lainnya, gap antar generasi adalah tantangan riil kaum migran Indonesia di Australia yang telah hidup beranak-pinak, beranak-bercucu.
Para orang tua sangat mencintai paspor Indonesia, memiliki hubungan emosional dengan logo burung Garuda. Anak cucu mereka tidak lagi menganggap itu penting. Paspor Kanguru justru telah membuat hidup mereka lebih mudah untuk bisa berpergian ke berbagai pelosok dunia.
Secara alamiah, para orang tua ingin menanamkan cara pandang Indonesia. Anak-cucu mereka telah menjadi manusia global yang berpandangan kosmopolitan. Secara fundamental ada perbedaan “worldview” diantara generasi pertama dan generasi berikutnya. Hal ini membutuhkan sikap saling memahami dan saling menoleransi. Jika tidak, tentu gesekan akan muncul di sana-sini.
Banyak cerita lucu, atau malah kadang-kadang miris. Generasi pertama merasa sudah mengalah, generasi kedua menganggap mereka sudah mengalah lebih banyak. Generasi kedua menilai bahwa para orang tua mereka terlalu terkungkung oleh memori dan imaji masa lalu dan kurang paham realita dunia moderen dan kekinian. Generasi pertama menganggap bahwa anak-cucu mereka seperti melupakan asal-usul.
Acap kali, masing-masing generasi seperti sudah putus asa. Dalam hal ini pendekatan simplistik, hitam-putih atau salah-benar, tentu tidak akan menolong, justru malah memperparah gap tersebut. Perlu sikap saling pengertian, saling memahami, saling belajar, dan saling-saling lainnya. Terkadang perlu sama-sama mundur selangkah, atau bahkan beberapa langkah.
Di saat panitia Iftar merancang kuliner klasik gulai cancang, ayam bakar Padang, gado-gado, terong balado, dan sambalado ikan teri, koordinator konsumsi Yennie Nazar mengingatkan, “kita perlu siapkan meja khusus untuk anak-anak kita”.
Meja khusus tersebut mengacu pada “western food” seperti pasta, potato salad, potato chips, charcoal chicken, dan lain-lain.
Di acara acara Iftar MSS dan tarawih bersama di akhir pekan kedua Ramadan 2024 ini dihadiri oleh berbagai generasi migran. Generasi kedua bercengkrama dalam bahasa Inggris, mereka mengelilingi meja hidangan khusus. Seorang gadis belia yang akan segera menginjak universitas, Zetta, yang dibawa orang tuanya merantau ke Sydney sejak berumur dua tahun mengatakan bahwa dia tidak menyentuh gulai cancang dan ayam bakar padang. “Terlalu pedas dan spicy”, katanya.
Generasi pertama berbincang-bincang dengan Bahasa Indonesia, diselingi bahasa Minang. Mereka menikmati gulai cancang dan terong balado. Edwin Malik yang bermukim di Sydney sejak tahun 1970-an mengatakan bahwa bagaimanapun anak-anaknya mengatakan betapa istimewanya ramuan steak mereka, buat dia masakan Padang lebih menggoda. Selera memang tidak untuk diperdebatkan. Lidah memiliki hukum alam bawah sadar, yang tidak bisa diajak berlogika.
Ceramah tarawih dan iman salat oleh Ustad Muhshimannur dari Makassar yang khusus didatangkan dari Indonesia oleh Dompet Dhuafa untuk program Ramadan. Tilawah menjelang berbuka puasa dilantunkan oleh Ustad Muhammad Yaman. Acara keseluruhan dipandu oleh MC Ikhsan Zakir.
Momen Iftar Bersama juga dimanfaatkan untuk menggalang dana untuk meringankan beban korban banjir di Sumatra Barat, yang disalurkan melalui Dompet Dhuafa Australia. [IM]