Home Close Up David TJoe

David TJoe

 

Dari Rantangan Ke Restoran

Lahir di Bandung, 8 September 1959, ia hijrah ke Australia tahun 1982. Garis hidup kemudian menentukannya menjadi seorang pemilik salah satu restoran fine dining Ubud yang sangat terkenal di kota Sydney. Membawa Ubud, ia dua kali menjadi caterer Presiden Joko Widodo saat bertandang ke Australia.
Pada 19 Januari 2019 lalu, ia juga dipilih menjadi ketua Indonesian Restaurant Association (IRA). Kepada Indomedia, pribadi yang humoris sekaligus serius ini menceritakan sedikit garis hidupnya itu. 

Bagaimana Anda memulai karier di dunia kuliner?

Latar belakang orangtua saya adalah restoran. Mereka memiliki restoran bakmi,
Bakmi Semar, di Alun-alun, Bandung. Saya dulu jualan onde-onde juga di situ.
Tahun 1987, restoran kami pindah ke Kepatihan. Sekarang sudah tidak ada
karena orangtua sudah pensiun.

Apa tugas Anda di toko bakmi itu?

Usia saya waktu bantu-bantu di sana sekitar 13 atau 14 tahun. Senang sekali
waktu dikasih gaji sejumlah Rp10 ribu di tahun 1970. Jumlah yang sangat besar!

Apakah Anda pernah sekolah kuliner? 

Tidak. Waktu datang tahun 1982, saya kerja sebuah pabrik di daerah Marrickville.
Sekitar 1987, seorang teman membantu saya pindah kerja di hotel. Tugas saya menyediakan sarapan jam 5.30 sampai 9.30 pagi. Sorenya, saya “narik” taksi.
Begitulah hidup saya selama 4 tahun, dari 1987 ke 1991. Saya mencoba
memaksimalkan waktu luang untuk cari uang waktu itu. 

Lalu bagaimana bisa terjun menjadi restaurateur? 

Saya menikah dengan Julie tahun 1994, dua tahun kemudian kami punya anak.
Untuk menjaga anak, kami membawa suster dari Indonesia. Jadi, ceritanya dimulai
saat setiap hari Minggu kami harus pagi-pagi pelayanan di gereja. Dua suster kami menyiapkan makanan untuk anak-anak. Nah, masakan mereka rupanya dinilai cocok
oleh teman-teman gereja dan di luar gereja. Jadilah mereka jadi pelanggan rantangan kami. Jumlahnya mencapai 80 orang! Lucunya, suster kami nggak bisa baca, sedangkan istri saya nggak bisa masak, dan mereka bekerja sama dengan baik sekali.

Waktu itu kami masih tinggal di apartemen. Kebayang baunya, kan, kalau apartemen
kami dipakai untuk masak 80 porsi makanan. Teman-teman gereja kami bahkan sudah tahu anak-anak kami dari baunya saja!

Nah, mereka inilah yang suka datang untuk minta dimasakin bakmi ayam. Dari sana,
di tahun 1997, kami mencoba buka restoran Bakmi Anugerah di Randwick, dekat Avoca Street. Tahun 1998, terjadi chaos di Indonesia. Keluarga istri saya yang berjumlah
12 orang datang ke Sydney dan mereka tinggal di lantai 2 restoran. Kebetulan,
cici istri saya suka masak. Jadi, mereka ikut mengelola restoran bakmi kami.

Tahun 2000, kami menjual rumah yang sekaligus menjadi usaha kos-kosan kami
di Maroubra. Pasalnya, salah satu anak kos kami dibegal. Padahal, bisnis kos-kosan,
kan, tergantung sekali dari sisi keamanannya. Kebetulan, rumah kami ditawari oleh agen untuk dijual. Hasil penjualannya kami belikan tempat yang sekarang jadi restoran Ubud.

Karena saat itu masih ada Bakmi Anugerah, kami sewakan tempat ini ke orang lain untuk bisnis salon. Di atasnya kantor pengacara. Tiga tahun kemudian, usaha salonnya bubar jalan. Setelah diskusi dengan istri, pengelolaan restoran bakmi akhirnya diserahkan ke keluarga istri saya. Tapi, dia nggak mau jualan bakmi lagi, maunya bakar-bakaran. Lalu kami sewa tempat di sebelahnya supaya lebih besar. Maka lahirlah restoran Jimbaran.
Lalu, istri saya punya ide untuk buka restoran lagi di tempat ini. Kebetulan adik istri yang kecil masih ada di sini dan dia bisa masak. Itu tahun 2006. Jadi dia yang pegang dan jalankan. Untuk mempercantiknya, kami ke Jogja, Jepara, dan Muntilan untuk membeli pernak-pernik desain interior dan furniturnya. Kalap sekali! Karena bagus dan murah. Setelah beberapa lama, suami ipar saya mendapat pekerjaan di Indonesia, dan mereka pun pulang ke Tanah Air. Puji Tuhan! Tuhan baik! Head chef-nya tetap bekerja sampai sekarang. Tahun 2007, saya resign dari pekerjaan saya dan sepenuhnya terlibat di Ubud.

Jam buka Ubud kenapa sebentar sekali? 

Alasan istri saya adalah karena traffic sekitarnya bukan kantoran. Karakteristik
Ubud adalah restoran yang kedatangannya direncanakan. Bukan lewat, lalu mampir.
Umumnya, mereka yang datang juga pesan tempat dulu.

Cerita, dong, di balik kesempatan masak untuk Presiden Joko Widodo

Puji syukur. Saya juga nggak tahu kenapa bisa kami yang terpilih. Kami melayani Pak Jokowi dua kali; tahun 2018, di Darling Harbour, saat pertama kali Presiden ke Sydney. Waktu itu, Pak Heru (Heru Subolo, Konjen
RI di Sydney) dan Pak Kris
(Y. Kristiarto S. Legowo, Dubes RI untuk Australia) masih baru waktu itu. Lalu, Februari 2020 lalu, saat Presiden berkunjung ke Canberra, kami juga diundang kembali untuk menjadi caterer-nya. Menunya banyak; soto lamongan, sayur asem, sop buntut,
ayam goreng, gado-gado dan lain-lain. Masaknya di rumah Pak Kris. Ada juga yang
sudah kami siapkan sebelumnya. Rasanya bangga sekali mendapat kepercayaan orang nomor 1 Indonesia untuk menyiapkan makanannya selama di Australia. 

Apa prinsip Anda dalam menjalankan Ubud?

Ubud adalah rumah, baik bagi karyawannya, maupun bagi tamu-tamunya. Saya ingin karyawan memperlakukan tamu sebaik-baiknya. Apa yang mereka minta diupayakan sekali ada. Saya kerap bilang ke mereka, nggak apa-apa hari ini Ubud rugi. Tapi, ke depannya kita harus lebih baik lagi. Saya sangat percaya kepada karyawan saya. Itu sebabnya saya nggak atur mereka sampai ke detil-detilnya. Mereka sudah tahu tugas dan tanggung jawabnya. Pelayanan yang baik kepada tamu sangat terasa dampaknya di masa pandemi di mana semua restoran harus tutup. Ubud tetap sibuk melayani order telepon untuk
take away. Padahal, kami nggak ikut layanan Uber Food atau sejenisnya.
Para pelanggan sendiri yang telepon dan datang untuk ambil pesanannya.

Apa makanan favorit Anda di Ubud?

Beef rendang, nasi goreng, gado-gado, tumis kangkung, dan sate ayam. [IM]

Exit mobile version