Warpan Handjoyo – Jalan Hidup Pelukis Buta Warna Parsial Di Atas Kanvas

6378
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Dari Bojonegoro, pindah ke Ubud, lalu Melbourne, pelukis partial colorblind ini menjalin kisah berkeseniannya yang unik: mulai dari hobi, cari uang, sampai benar-benar menjadi seniman. Bagaimana ia ingin mengakhirinya?

Kuliah Ekonomi, Terdampar di Desa Pelukis

Warpan Handjoyo adalah putra Jawa Timur. Ia lahir dan besar di Bojonegoro. Darah seninya mengalir deras dari sang ayah yang bermata pencaharian pengrajin kayu. Sejak kecil, Warpan dilibatkan sang ayah dalam pembuatan kerajinan kayu. Kadang-kadang, prosesnya mulai dari lukisan. Warpan terlahir kembar, dari enam bersaudara. Seperti juga Warpan, saudara kembarnya juga seorang seniman.

Sejak kecil, Warpan suka menggambar. Hobinya itu ia terus kembangkan sampai di dewasa. Karena lukisannya begitu menarik, keluarga Warpan sudah menyimpan hasil karyanya sejak SMP. Namun, karena pendidikan akademik harus dinomorsatukan, Warpan menggambar untuk menyalurkan hobi. Usai SMA, ia kuliah di jurusan Ekonomi dengan alasan supaya cepat dapat kerja. Namun, tentu saja, hobinya menggambar justru tersalurkan di bidang desain grafis yang ia pelajari secara otodidak. Lulus kuliah, Warpan bekerja di dunia IT selama 8 tahun.

Meski sudah lumayan mapan sebagai seorang karyawan, Warpan merasa jalan hidupnya adalah melukis. Meski berat dan bimbang, Warpan mencoba mengikuti naluri seninya. Berbekal modal gairah menggambar, ia pindah ke Ubud, Bali. Seorang temannya mengajaknya tinggal di sebuah desa yang isinya pelukis semua bernama Batu Bulan, dekat Sukowati. Warpan mulai berkarier sebagai apa yang ia sebut commercial painter. “Yang penting, hobi menggambar saya tersalurkan. Di sana, saya punya galeri untuk memajang karya. Saya sadar, itu bukan sebuah galeri seni, karena yang karya-karya yang terpajang adalah commercial arts, alias pesanan orang,” tutur Warpan lewat pembicaraan jarak jauh. Objek seni Warpan tidak lahir dari ide sendiri, melainkan arus permintaan pasar. “Kalau lagi suka burung, ya, saya banyak gambar burung,” tambahnya ringan.

Kiri: “Antagonist” oil painting on stretched canvas, Kanan: “The Truth” mixed media on stretched canvas.

Melukis Jiwa

Selang dua tahun di Ubud, ada sesuatu yang mengusik jiwa seninya. Salah satu kliennya yang berasal dari Australia mengajukan pertanyaan tentang proses berkeseniannya. “Terus terang saja, semua karya seni saya memang untuk dagang. Saya tidak terpikir untuk menghasilkan karya karena saya menyukainya, jiwa saya bebas.” Pertanyaan itu datang dengan tawaran untuk pindah ke Australia, tepatnya di Melbourne. “Prosesnya cepat sekali. Saat saya mulai settled, saya baru benar-benar merasakan sesuatu yang saya suka. Di Bali, karena melukis adalah pencarian nafkah, sebulan bisa tiga lukisan. Tapi, di sini, satu bulan biasanya satu karya, karena saya mulai merasakan jiwa lukisan saya. Kalau sedang buntu, saya diamkan dulu sampai saya dapatkan lagi ‘ritme’ lukisan itu,” jelas pelukis beraliran abstrak yang kini menggunakan kombinasi warna dari akrilik dan minyak.

Pencarian Warpan terhadap gaya melukisnya perlahan mulai mendapatkan titik terang. Kini, ia tahu makna dari berkarya. “Dulu, setiap lukisan tidak punya makna. Saya hanya melukis. Lalu, saya mencari-cari ke dalam jiwa saya sendiri makna lukisan itu. Kenapa tidak memasukkan perasaan di dalam lukisan sehingga ia memiliki makna? Setelah saya mulai memahami betapa berbeda lukisan yang berjiwa dan tidak, saya menetapkan bahwa jiwa dalam lukisan itu tidak boleh hilang,” tambahnya bersemangat

Warpan memberikan contoh. Lukisannya yang saat ini tengah dikerjakannya, berjudul “Kejujuran”. Ia lantas mencoba memaknai arti sebuah kejujuran. Bagi Warpan, kejujuran itu menyakitkan, dan memiliki cerita yang panjang. Itu sebabnya, kini ia tak lagi merasa semudah dulu melukis. “Saya sering butuh waktu lebih lama karena kadang terbawa arus dalam melukis. Saya pernah tidak tidur 24 jam karena sangat emosional. Saya sangat melibatkan perasaan saya. Mungkin karena saya berbintang Virgo, kali ya, main perasaan,” lanjutnya terkekeh.

Kiri: “Shape of the life” mixed media on stretched canvas, Kanan: “The Boy” mixed media on stretched canvas.


Mengatasi Buta Warna Parsial Dengan Terus Berkarya

Warpan tidak pernah bermimpi akan tinggal di negara lain dan hanya melukis, mengembangkan keseniannya. “Impian saya adalah menjadi pelukis di Indonesia, cari makan di Indonesia, terkenal di Indonesia,” tuturnya polos. Nasib mempertemukannya dengan seorang penyuka seni dari Australia yang mengajarkannya untuk mendokumentasikan karya-karyanya. Lebih dari itu, karya seni Warpan tak hanya dipandang sebatas komoditas seni, namun sebuah karya. “Itulah yang membuat saya lantas tertarik untuk menjajal Australia. Semua lukisan memiliki hak paten,” ujarnya lagi.

Itu adalah kisah lima tahun lalu. Awal dia berkarier seni di Australia sungguh sebuah lembaran baru. “Saya ngamen gambar di mana-mana,” kenangnya. “Sulit sekali saat itu, dan tidak seperti yang saya harapkan. Saya mencoba daftar ke beberapa eksebisi, tapi tidak pernah diterima karena belum sesuai kriteria. Terlebih, saya punya masalah dengan buta warna 30%, yang artinya saya memiliki persepsi warna yang berbeda. Sejak dulu, kalau tes warna di sekolah, saya sering tak lolos. Di sini pun, saya mendapat penolakan. Tapi, saya tidak mau menyerah dengan kondisi saya. Penolakan justru memicu motivasi saya untuk tidak putus saya. Kalau warna itu yang muncul dari perasaan saya, warna itulah yang keluar di kanvas saya,” begitu ia bertekad.

Dulu, Warpan sempat mengubah warna supaya karyanya dapat diterima. Tapi, setelah ia berpikir lagi, melukis ‘kan sifatnya pribadi, mengapa harus mengikuti warna orang lain? Warpan lalu bertekad untuk tidak mau jadi orang lain. Terobosan pertamanya terjadi saat lukisannya saya diterima di sebuah pameran yang menerima seniman baru. Batu loncatan itu benar-benar mengukuhkan niat Warpan untuk tidak mengubah warna-warnanya walaupun ada omongan miring sana sini. “Eksebisi itu permulaan yang positif. Ada satu event lagi yang menjadi turning point dalam hidup saya, yaitu ketika lukisan saya diterima sebuah pameran di kota Melbourne. Dari tiga lukisan, satu terjual. Dari situ saya mulai konsisten berpameran. Live show kedua di salah satu townhall di Chapel Street. Saat ini, saya sudah mengikuti delapan eksebisi,” tutur Warpan dengan nada bahagia.

Warpan mengakui, ia kini merasa di titik nyaman. Berkarya lewat pameran, desain-desainnya yang dipakai untuk cover telepon genggam, tas, baju, dll. Namun, Warpan masih menyimpan satu impian lain: kembali ke Indonesia, hidup, dan melukis di sana. [IM]

Lihat karya-karya Warpan Handjoyo di Instagram: warpan.djoyo_art

Previous articleMi Goreng Loaded Fries di Milky Lane
Next articleIRA, Menggodok Solusi Untuk Bersama