Stormy Cotton Candy Clouds

104
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


“Tahun ini terasa seperti tahun sial,” aku mengingat percakapanku dengan adikku. “Banyak sekali yang meninggal tahun ini.”

Aku mengenang kembali tentang kejadian-kejadian di tahun ini. Rasanya seperti penuh dengan awan-awan gelap, penuh dengan hujan deras yang membanjiri harapan-harapanku tahun ini, yang tidak berhenti melepaskan petir yang menyerang pepohonan. Terutama di bulan-bulan pertama 2024.

Namun, kehidupan terus maju. Aku terpaksa menjalaninya, tetapi rasanya seperti berjalan melalui hutan yang gelap dimana satu salah langkah akan membuatku terjun ke sungai yang dalam, di mana pohon-pohon besar tumbang tanpa tanda. Memimpin berbagai acara baru di bidang pekerjaanku di tengah-tengah segala kejadian buruk tahun ini terasa seperti berusaha mendirikan tanaman-tanaman baru di atas tanah lumpur. Kakiku sering sekali tergelincir, dan aku terjatuh lagi ke dalam duka yang menghisap tenagaku.

Pada saat itu, aku hanya dapat fokus pada kesulitannya untuk terus maju dalam hutan yang sepertinya sedang bekerja melawanku. Dalam aktivitas-aktivitas yang menyenangkan pun aku selalu merasa ada awan gelap yang mengikutiku, yang selalu bisa tiba-tiba melepaskan hujan deras pada saat yang paling buruk.

Beberapa bulan kemudian, ketika acara tersebut sudah selesai, aku menoleh kembali ke bulan-bulan yang sudah lewat, mengira aku akan melihat seberapa gelapnya hutan yang aku baru saja melintasi. Tetapi ternyata, aku malah melihat sebuah hutan yang lebat
yang penuh dengan sinar matahari, di mana aku kira akan melihat awan-awan gelap bergeludug, aku melihat awan-awan yang putih, dan halus seperti kembang gula yang mengambang tenang. Beberapa awan-awan gelap masih ada juga, tetapi badai yang aku lihat tidak sekasar sebelumnya.

Aku mengenang kembali acara tersebut yang berlalu, dan hanya bisa mengingat rasa senang ketika ia tengah berjalan. Aku mengingat seberapa serunya memimpin sebuah
tim untuk membimbing anak-anak yang datang ke acara kami. Walaupun ada banyak hal yang membuat stres, kegembiraan yang aku rasakan sekarang membuatku tetap ingin melakukannya lagi.

Hanya mengapa aku tidak dapat merasakannya pada saat itu? Seharusnya aku dapat merasakannya, kan?

Aku memutuskan bahwa lain kali, aku akan berusaha untuk melihat silver lining di belakang awan-awan gelap. Aku memutuskan untuk memegang erat hasil baik di balik badai. Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan awan-awan gelap yang selalu berada di tepi hutan. Dan terkadang, itu membantuku agar bisa menemukan kenikmatan di dalam situasiku. Tetapi pada saat lain, upayaku malah memberikan hasil yang terbalik.

Awan-awan gelap yang tadinya hanya gerimis mulai menjatuhkan butiran hujan yang besar. Semakin aku berusaha mengabaikannya, semakin mereka melepaskan petir yang mengerikan. Aku berlari mencari perlindungan di bawah bebatuan, tetapi badai terus menerpa. Aku kira sekali sudah selesai. Mengapa dia balik lagi?

Basah kuyup, kedinginan, kebingungan, aku tiba-tiba mendengar suara-suara tupai. Mereka keluar dari celah-celah dimana mereka juga sedang berlindungan dari badai.
Ketika mereka melihat biji-bijian yang aku pegang, mereka tiba-tiba mengambilnya dan keluar ke tengah-tengah hujan dan menguburnya dalam-dalam di tanah yang berlumpur.

Saking penasarannya, aku keluar untuk mengamati mereka, dan melihat seekor harimau meloncat turun dari pohon yang tinggi. Walaupun kakinya yang kuat masih tergelincir di atas lumpur, namun ia menoleh kepalanya ke arah langit. Ia membiarkan hujan mengalir di atas kepalanya dan senyum puas. Tiba-tiba dia melirikku, seperti mengajakku untuk melakukan hal yang sama. Aku terpukau. Tetapi, ya, sudah di luar perlindungan, apa sulitnya mencoba? Sudah basah juga.

Aku menoleh kepalaku pelan-pelan, menduga bahwa rasa hujan yang deras di mukaku hanya akan membuatku tambah kesal. Aku menutup mata dan merasa… segar.
Aku berdiri diam dan merasakan air yang dingin mulai membasuh pikiranku.
Ketika lumpur membuatku kehilangan pijakan, aku merasakan bulu si harimau menopang kakiku dan menekan dirinya ke tanganku yang sedang berusaha mencari pegangan.

Baiklah, memang sedang berbadai, sebaiknya menerimanya saja. Aku mendengar geluduk para awan, melihat petir-petir yang menerangi langit yang gelap, dan mendengar tangisan hatiku sendiri. Aku melihat diriku yang kadang ingin sekali berteriak agar seseorang mendengarkanku dan menjadi perhatian terhadapku. Aku rindu untuk melepaskan badai yang terperangkap di dalamku, rindu akan orang-orang kesayanganku untuk tidak meninggalkanku ketika berjumpa dengan badaiku yang begitu menakutkan.

“Aku di sini,” aku berbisik kepada awan-awan. “Aku di sini.”

Harimau di sebelahku menyikut kakiku, seperti mengundangku untuk menungganginya. Dia membawaku naik ke pohon yang tinggi dan kami duduk di atas cabang besar. Dedaunan pohon membantu untuk melindungi kita dari hujan, tapi aku terus berbisik kepada awan-awan, “Aku masih di sini.”

Pelan-pelan, hujan, petir dan geluduk mulai reda. Sepertinya, semakin mereka tahu bahwa aku disana, dan semakin mereka tahu aku mulai tidak melihat mereka sebagai hal yang buruk, para awan-awan gelap merasa lebih tenang. Beberapa dari mereka menjelma menjadi awan-awan putih yang halus dan manis, tetapi tetap ada dari mereka yang terus gelap. Dan, kali ini, aku berusaha untuk melihat keduanya sebagai setara. Tidak ada satu yang lebih baik atau penting dari yang lain.

Kehidupanku selalu akan ada awan badai dan ada awan kembang gula. Dan aku sedang belajar untuk terus menyambut semuanya dengan kata-kata yang sama, “Aku di sini untukmu.” [IM]

Previous article5 Aplikasi untuk Menjaga Kesehatan Mata
Next articleHit & Miss of 2024