Pacaran Tempo Doeloe Vs Jaman Now

951
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Ah, Valentine tahun ini pun sudah berlalu. Ada yang melewati 14 Februari dengan kekasih, ada yang galau sendiri di kamar, dan ada yang pura-pura nggak peduli, tapi diam-diam miris.

Well, no judgement karena honestly, kita semua pernah mengalami itu. Aku sendiri melewatinya dengan rindu karena LDR-an (eh, curhat!). Dengan suasana Valentine dan percakapan dengan orangtuaku tentang masa-masa pacaran mereka, aku jadi merefleksi bagaimana hubungan antara dua orang yang jatuh cinta dipengaruhi oleh jaman. Jadi, yuk kita tengok beberapa perbedaan yang menarik ini dengan rasa nostalgia!

“Ikan-ikan di laut” 
Di mana, sih, bertemu calon pacar? Jaman dulu, berteman masih sangat terbatas, yaitu hanya dengan bertemu langsung di sekolah, tempat kerja, atau lingkungan rumah. Sekarang ini kita bisa memperluas lingkaran pertemanan melintasi waktu dan tempat dengan internet. Sudah tidak aneh lagi bertemu seseorang lewat media sosial. Penggunaan aplikasi dating yang dulu sepertinya tabu banget sekarang malah lumrah.

Kalau time travel lebih jauh ke jaman perjodohan, di mana yang menentukan “jodoh” umumnya orangtua, paling ketemunya, ya, orang-orang di desa sebelah atau kenalan mereka. Might be a stretch, tapi menurutku jadi nggak heran kalau konsep rasisme itu lebih kental di jaman dulu, di mana sehari-hari, ya, bertemunya dengan orang-orang di lingkungan yang sama. Sekarang, dengan globalisasi dan internet kita bisa melihat banyaknya orang-orang di luar sana yang berbeda latar belakang budaya dengan kita. Jadi, udah nggak jaman membeda-bedakan orang. Buka mata lebar-lebar karena istilah “masih banyak ikan di laut” has never been more relatable! Tapi, harus berhati-hati juga, ya, karena artinya lebih banyak kenalan lebih banyak juga kemungkinan maksud jahat di antaranya mereka. 

Status
Apa, sih, yang menandakan dua orang ‘jadian’? Selain curhatan mereka pada keluarga dan sahabat tentunya. Kalau dulu, kabar berpacaran menyebar lewat gosip, jaman media sosial ini rasanya belum resmi banget kalau belum update status atau ngepos foto di Instagram. Bukan cuma kalau jadian, tapi kalau putus juga ada tanda-tandanya, tuh, di media sosial (foto-foto berdua tiba-tiba menghilang dan statusnya jadi “single” lagi. Huhuhu). Kalau istilah pacaran sendiri mungkin sudah ada dari dulu, tapi munculnya status-status baru seperti HTS (hubungan tanpa status) atau friendzone bikin status hubungan dua kekasih makin ribet. Mungkin, dari situlah munculnya generasi galau (eaaa!). 

“Ngapel” alias PDKT
Kalau buat kita mungkin ‘ngapel’ udah jarang kedengerannya, seringnya kalau pdkt ya lewat chat atau jalan bareng sama kelompok teman-teman. Makanya, mendengar kisah ibuku rasanya ingin tertawa. Nggak kebayang. Ibuku adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan dengan umur tak beda jauh. Jadi, tak heran kalau mereka mengalami masa-masa pacaran di saat-saat yang hampir sama. Hampir tiap malam minggu, ada beberapa mobil dan sepeda motor yang berjejer di depan rumah mereka, “ngapel” ceritanya. 

Memang, jaman dulu lazimnya berpacaran di rumah alias di bawah pengawasan orangtua. Efeknya, mungkin lebih ada rasa gentleman, di mana laki-laki harus bertindak dan menghadap orangtua perempuannya dulu. Pasti deg-degan abis, deh. Apalagi nggak bisa chat dulu sebelumnya sehingga nggak tahu siapa yang membuka pintu rumah. Pokoknya, harus siap menghadap “calon mertua”! Tapi, karena bisa bertemu dan ngobrolnya terbatas dan “nggak bebas”, mungkin hubungannya juga lajunya lebih lambat dibanding jaman sekarang yang memungkinkan kedua sejoli untuk berkomunikasi 24/7! 

Kencan
Oke, singkat aja di sini. Kebayang nggak, sih, susahnya janjian di jaman nggak ada instant message? Aku menonton drama korea di mana sepasang kekasih (atau calon) harus meninggalkan pesan di kafe tempat janjian kalau ada apa-apa. Ada juga kisah orangtuaku di mana ayah harus keliling kota nyari tempat penginapan ibu karena lupa nanya alamatnya! 

LDR (Pacaran Jarak Jauh)
Ini salah satu hal yang bikin galau kekasih-kekasih dari segala generasi dan salah satu yang paling terbantu dengan adanya teknologi. Curhat sedikit, kebetulan aku lagi LDR, nih (huhuu…) dan rasanya rindu itu makanan sehari-hari. Tapi, tiap hari juga aku bisa kontak lewat chat, telepon, maupun video call. Jadi bersyukur banget apalagi mendengar kisah LDR orangtuaku dulu. Mereka cuma bisa kontak lewat surat yang butuh waktu berminggu-minggu untuk tiba atau telephone booth yang mahal banget harganya, apalagi kalau lintas negara. Tapi dengan begitu mereka sangat menghargai komunikasi dengan satu sama lain dan mau nggak mau harus benar-benar percaya satu sama lain. 

Nah, jadi yang lagi galau karena LDR, bersyukurlah karena LDR-nya di jaman serba canggih ini. Meski susah, ambillah pelajaran dari mereka yang LDR di masa lalu, trust and communication are the keys! (ini, sih, namanya nasihatin diri sendiri, ya. Oh, well). [IM]

Previous articlePaddington, London – Asal Muasal Beruang Imut
Next articleA Peek To Studying Accounting And Marketing