NEAS WANIMBO – Mencerdaskan Anak-Anak Pedalaman Papua Lewat Perpustakaan

1389
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Pemuda 25 tahun ini lahir di pedalaman Papua, namun berhasil “mentas” di luar negeri berkat kegigihannya bersekolah dan mewujudkan cita-citanya: mendirikan perpustakaan untuk mencerdaskan anak-anak Papua seperti dirinya. Mari kita berkenalan dengan calon Menteri Pendidikan di masa depan dan mengenal kehidupannya.

Sedikit tentang Neas dari saya, si penulis. Kami berteman sudah cukup lama. Neas Wanimbo adalah salah satu pemuda asal Papua yang bergabung di komunitas yang saya juga aktif di dalamnya. Ia penuh semangat. Saking semangatnya, saya pikir dia nggak pernah mengeluh tentang tantangan hidup yang ia alami di Jakarta. Minimal, saya nggak pernah mendengar dia mengeluh. Tidak seperti pemuda dari daerah–pedalaman pula, Neas banyak bertanya hal-hal yang tidak ia mengerti. Sebuah poin yang saya puji, mengingat bahkan anak Jakarta pun malas bertanya jika tidak tahu. Neas memiliki banyak teman. Bahkan, dia “diangkat” anak oleh sebuah keluarga Jawa yang baik hati. Neas sangat mencintai keluarga baru dan teman-temannya. Ia pun sangat ringan tangan. 

Memasuki tahun-tahun terakhir kuliah, Neas membicarakan proyek Hano Wene (Kabar Baik dalam bahasa Indonesia) dengan saya. Mendengar visi misi proyek ini, saya memendam harap yang besar padanya: kelak, Neas akan menjadi sumbangsih yang sangat berharga bagi Papua, bagi Indonesia.

 

Sumbangsih itu mulai ia tapaki dengan mendapat undangan dari berbagai acara kepemimpinan di luar negeri: India, Jepang, Amerika Serikat, Spanyol, di antaranya. Wah, anak asli pedalaman Papua mampu mengukir nama Indonesia di pentas dunia. Semua hanya karena semangatnya untuk membangun Tanah Kelahirannya yang tidak pernah padam. Kisah hidupnya patut menjadi cambuk bagi kita semua untuk terus semangat membantu para pendidik, khususnya di pedalaman Indonesia yang belum atau bahkan tidak terjangkau instansi pemerintah.

Yuk, kita mengenal dan berbincang-bincang dengan Neas lebih dalam.

Hai Neas, Kapan dan di mana kamu dilahirkan?
Saya dilahirkan di Tangma (Hipela), 20 Juli 1995, Kab. Yahukimo, Provinsi Papua.

Ceritakan masa kecil kamu, dan bagaimana kamu mengenal sekolah?
Di kampungku, kami tidak memiliki Taman Kanak-Kanak (TK), kami hanya memiliki satu sekolah, namanya SD YPPGI Tangma. Waktu kecil, saya takut ke sekolah, karena saya punya kakak-kakak yang sering menceritakan pengalaman mereka di sekolah: dipukul dengan kayu atau rotan oleh pak guru karena sering terlambat, tidak bisa baca, menulis, dan tidak mengerjakan tugas. Mendengar cerita mereka membuat saya sangat takut bersekolah, dan pada suatu titik saya tidak mau bersekolah. Dalam pikiran, kalau saya bersekolah akan “dapat pukul”, sama seperti mereka. Jadi, saya lebih memilih untuk ikut orangtua berkebun daripada bersekolah.

Teman-teman sering mengajak saya untuk bersekolah, tetapi saya selalu menolak. Suatu hari, ada satu teman yang datang memanggil saya, pagi-pagi, untuk ikut bersekolah. Entah kenapa, pada hari itu saya mau ikut. Sejak dari itu saya rajin sekali masuk sekolah.

Waktu kelas 1, saya sudah bisa baca dan menulis sedangkan teman-teman yang lain belum bisa. Pasalnya, di rumah, bapa, mama, dan kakak setiap pagi baca Alkitab dengan keluarga sebelum beraktifitas. Alfabet pertama yang saya hapal adalah A-L-K-I-T-A-B. Karena saya sudah dapat membaca, di kelas 1 SD juga saya mengajarkan teman-teman, karena sekolah kami hanya memiliki 1 guru. Satu guru untuk mengajar enam kelas. Itu artinya, kalau dia sedang mengajar di kelas lain, saya bantu mengajar kelas 1 dan 2. Waktu itu saya mengajarkan huruf dan angka. Saya juga masih tidak berpakaian, dan masih sangat kecil. Saya tidak bisa menulis di papan tulis yang tinggi. Kami biasanya mendorong meja ke depan papan tulis agar saya bisa berdiri di atas meja dan mengajar. Telanjang dan berdiri di atas meja, dengan percaya diri saya memperkenalkan huruf dan angka. Walaupun kebanyakan teman saya tidak dapat melanjutkan sekolah karena kendala ekonomi, saya sangat terharu dan bangga dengan mereka karena sekarang mereka dapat membaca dan menulis.

 

3. Apakah orang di desamu umumnya bersekolah? Kalau tidak mengapa dan kalau ya, siapa yang paling berperan untuk memperkenalkan pendidikan formal kepada mereka?
Total populasi di kampung saya 6000 jiwa. 35% dari jumlah itu memiliki ijazah SD, 20%-nya SMP, dan hanya 5% yang berijazah SMA dan pendidikan tinggi. Sebanyak 40% orang di kampung saya tidak pernah ke sekolah. Alasan tidak bersekolah dan melanjutkan sekolah karena ekonomi lemah. Yang memperkenalkan pendidikan di kampung saya adalah anak-anak muda dan tokoh gereja.

4. Ceritakan secara singkat bagaimana pendidikan kamu di tingkat SD, SMP, dan SMA?
Saya menyelesaikan SD dengan gratis. Ketika mau masuk SMP, saya harus pindah ke kampung lain. Jaraknya dengan berjalan kaki sekitar 10-15 jam. Biaya pendaftarannya 80 ribu dan orangtua saya tidak ada uang sama sekali. Saya dapat lanjut SMP karena hari itu seorang teman bapa saya datang ke sekolah untuk bayar uang masuk anaknya. Di kampung kami, tidak ada orang lain lagi yang kami bisa pinjami selain orang itu. Hari itu, beliau memberi kami uang 100 ribu. Saya masih ingat sekali perkataannya sembari memberikan uang, “Jangan takut, uangnya Neas ada.”

Setelah masuk SMP, saya sadar bahwa saya punya mimpi untuk mau jadi pilot agar bisa mengantar orang-orang ke pedalaman. Tapi, menurut pak guru, sekolah pilot itu biayanya mahal. Saya pikir, kalau saya mau melanjutkan SMA dan kuliah, pasti orangtua saya tidak sanggup untuk membiayainya. Akhirnya, di tahun pertama, saya berusaha untuk ikut program lomba sekolah dengan hadiah beasiswa, tetapi gagal. 

Di tahun kedua, juga ada program beasiswa. Lagi-lagi gagal. Sejujurnya, saya patah semangat dan mau pulang saja. Tiba-tiba, seorang guru Pendidikan Jasmani (Penjas) memanggil saya untuk menawari program beasiswa lainnya. Jika lolos seleksi, saya akan dikirim ke Jayapura untuk ikut latihan angkat besi. Saya pikir, meskipun tidak mau jadi atlet, ini adalah satu cara untuk bisa lanjut sekolah tanpa pusing memikirkan biayanya.

Puji Tuhan, dari beberapa siswa yang tes, hanya saya yang lulus. Guru Penjas memberi saya selamat sekaligus menjelaskan bahwa biaya beasiswa tidak termasuk tiket pesawat Jayapura. Sore itu juga saya pulang ke rumah lewat jalan pintas (baca: pegunungan, sungai, dan hutan) yang hanya makan waktu tujuh jam. Setelah berdiskusi dengan orangtua, bapa saya bangun pagi-pagi untuk cari pinjaman uang. Uang pinjaman diperoleh dari om dan kakak saya.

Saat saya SMA kelas satu, seorang ibu yang membiayai aku meninggal dunia. Akhirnya, saya kerja serabutan: penjaga anak, kuli bangunan, bantu instalasi listrik, servis alat elektronik, dan bahkan penjahit sepatu. Di Jayapura, saya belajar banyak hal dan bertumbuh menjadi dewasa. Naik kelas tiga, saya sadar bahwa untuk kuliah butuh biaya yang sangat banyak. Saya memberanikan diri untuk cari program-program beasiswa di beberapa instansi. Puji Tuhan, semua program yang saya ambil diterima. Saya lebih memilih kuliah di Jakarta.

5. Menurut kamu, apa atau siapakah yang paling berperan di hidup kamu sehingga kamu bersemangat untuk menempuh pendidikan walaupun sulit?
Bapa saya. Beliau memiliki semangat hidup yang luar biasa. Kondisi yang tidak mungkin beliau buat jadi mungkin. Saya juga percaya kalau di mana ada kemauan dan niat pastilah ada jalan. Karakter yang saya miliki sekarang adalah kebanyakan dari bapaku.

6. Pengalaman paling tak terlupakan ketika akhirnya bisa bersekolah SMA di kota?
Semua yang saya lakukan untuk mendapatkan biaya sekolah. Saya juga aktif di kegiatan pemuda di gereja di Jayapura.

7. Prestasi apa di SMA yang membuat kamu mendapat beasiswa penuh di Tanri Abeng University di Jakarta?
Sebenarnya saya tidak punya prestasi. Saya hanya punya semangat untuk bisa mendapatkan beasiswa.

8. Pertama kali datang ke Jakarta, apa kesan kamu?
Melihat gedung-gedung tinggi membuat saya terheran-heran. Saya pernah alami culture shook dengan makanan. Saya bersyukur karena dari awal saya sudah bergabung dengan komunitas yang baik.

9. Apa yang membuat kamu kemudian ikut bergabung dengan YSEALI (Young Southeast Leaders Initiative)?
Pertama karena saya ingin memperkenalkan tentang proyek Hano Wene, perpustakaan sekolah, di dunia internasional. Kedua, saya ingin belajar tentang engagement community, lalu proyek Hano Wene bisa mendapat bantuan dana dari YSEALI. Dan, tentunya karena saya ingin memperkenalkan budaya Papua di Amerika Serikat.

10. Apa cita-cita masa kecil kamu? Dan, setelah bersekolah tinggi, apakah cita-cita itu berubah?
Setelah kuliah, cita-cita menjadi pilot itu berubah menjadi seorang pengerak pendidikan untuk daerah pelosok dan pedalaman Papua.

11. Pengalaman apa yang paling mengubahkan hidup kamu?
Bekerja keras waktu masih SMA, yang mengajarkan saya untuk belajar dewasa. Lalu, setelah tinggal di Jakarta, saya tinggal di kos dengan teman-tema dari Jawa dan Sumatera. Dari mereka, saya banyak mengenal agama Islam, budaya dan gaya hidupnya. Lalu, saya ikut melayani di sebuah gereja, yang mengajari saya tanggung jawab. Dan, saya ikut program Initiative of Change di India yang mengajari saya mengenai toleransi.

12. Kamu mendirikan Hano Wene untuk memajukan pendidikan di daerah pedalaman, khususnya Papua. Apa visi kamu untuk pendidikan di daerah pedalaman?
Saya memiliki visi agar setiap anak di pedalaman Papua bisa mengakses pendidikan yang layak dengan buku pelajaran yang berkualitas, guru yang bertugas di pedalaman bisa mendapatkan perhatian khusus, dan ikut membangun Indonesia mulai dari daerah pedalaman Papua

 

13. Sudah berapa perpustakaan yang kamu dirikan di pedalaman Papua?
Yahukimo, Yalimo, Lanny Jaya, Sarmi dan Kaimana. Jadi, semuanya sudah ada di lima kabupaten.

14. Apa tantangannya mendirikan perpustakaan di pedalaman? Baik secara internal maupun eksternal? 
Mengambil kepercayaan dari masyarakat lokal butuh proses yang lama, karena mereka pikir Hano Wene itu partai politik. Lalu, pengiriman buku-buku dari Jakarta ke Papua biayanya sangat mahal. Buku-buku rusak saat perjalanan ke tempat tujuan. Tim kami kurang lengkap. Buku-buku yang kami dapatkan tidak sesuai dengan konteks lokal.

15. Sebagai anak bangsa, bagaimana kamu melihat diri sendiri 10 tahun mendatang?
Sepuluh tahun dari sekarang, saya akan menjadi menteri Pendidikan Republik Indonesia. [IM]

 

Previous articleIan Tamawidjaja
Next articleAplikasi Konsesi Pajak Tanah Telah Dibuka