Trauma menimbulkan rasa kurang menyenangkan yang sulit untuk kita singkirkan. Kita akan sering merasa kesal ketika tanpa disengaja kembali mengingat memori buruk. Hal ini akhirnya berimbas pada kekhawatiran tidak kunjung pergi. Perasaan trauma juga bisa membuat kita mati rasa dan sulit untuk mempercayai orang di sekitar. Biasanya, trauma emosional dan psikologis merupakan hasil dari suatu kejadian yang penuh tekanan, hingga membuat kita merasa tidak berdaya dan tidak aman. Katakanlah peperangan, kehilangan seseorang yang sangat kita cintai, kehilangan pekerjaan ataupun bencana alam yang cukup hebat.
Meskipun demikian, tidak semua orang yang mengalami pengalaman traumatik merasa ketakutan akan memori itu. Secara psikologis, manusia memiliki kapasitas untuk sembuh, bahkan berkembang lebih baik lagi. Menjalani masa penyembuhan bukanlah hal yang mudah. Kita akan merasakan pengalaman yang melibatkan emosi menyakitkan selama proses tersebut. Perasaan trauma tidak bisa kita kurangi ataupun lupakan. Jika kita tidak menghadapinya dengan benar, perasaan ini akan terus berulang selama masa hidup kita. Dalam tingkat yang lebih parah, seseorang bisa mengalami post-traumatic stress disorder.
Ketika sesuatu yang traumatik terjadi, otak manusia berjalan secara berbeda. Dalam keadaan normal, otak menerjemahkan apapun yang harus diterjemahkan, lalu mengirimkannya, memproses, menyimpannya sebagai memori ataupun membuangnya. Selama proses yang berkelanjutan ini, hidup pun terus berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, dalam keadaan normal hanya pesan-pesan yang memerlukan perhatian saja yang benar-benar manusia sadari. Hal ini sangat berbeda ketika manusia sedang dalam situasi yang membuat mereka stres.
Otak manusia menciptakan memori eksplisit dan implisit ketika memproses informasi. Memori eksplisit adalah informasi faktual, pengetahuan umum dan informasi autobiografi, sedangkan memori implisit mencakup respon emosional dan sensasi yang tubuh rasakan. Dua tipe memori ini disalurkan melalui jalur berbeda dalam otak dan akan tersatukan kembali ketika membentuk satu memori yang utuh. Pada situasi traumatik, tubuh manusia merasakan bahaya dan mengirimkan sinyal dalam bentuk berbagai hormon. Sinyal ini sama sekali tidak melibatkan memori, karena tujuannya hanya untuk membuat tubuh merasa aman. Itu sebabnya, sebagian korban trauma memiliki gap ingatan ketika peristiwa traumatik terjadi.
Psikolog sekaligus terapis asal Amerika Ellen McGrath membagi tahapan trauma menjadi empat bagian. Dalam tahap pertama, secara emosional, spiritual dan fisik, tubuh seseorang yang mengalami trauma mengalami kondisi yang mirip dengan mati rasa. Ketika seseorang berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, seperti dalam trauma, sistem dalam tubuh manusia secara otomatis turun. Secara intelektual, kita kehilangan kepintaran 50 sampai 90 persen dari kapasitas otak. Itu sebabnya, kita tidak bisa membuat keputusan yang tepat saat masih dalam keadaan trauma. Secara emosional, kita tidak merasakan apapun. Secara spiritual kita sama sekali terlepas. Secara fisik pun kita tidak merasakan apapun, bahkan rasa pusing, sakit punggung dan jerawat sekalipun menghilang.
Pada tahap kedua, sistem dalam tubuh akan kembali aktif dan energi mulai kembali. Itu artinya, secara emosional mereka telah kembali. Ekspresi dari perasaan ini hadir dalam berbagai bentuk. Kebanyakan korban trauma mengekspresikan perasaan mereka dengan berbicara. Namun, sebagian menggunakan tulisan dan gambar untuk mengekspresikannya. Terkadang, mengunjungi lokasi peristiwa traumatik dapat membantu. Hal ini membuat seseorang bisa merasakan peristiwa secara emosional. Meskipun demikian, tidak semua korban trauma bisa melakukan hal ini. Perasaan atau emosi yang datang pada tahap kedua dapat muncul secara beragam. Seseorang bisa merasakannya secara intens, namun sebagian lainnya merasakan emosi secara naik turun.
Setelah dari segi emosional seseorang telah kembali, pada tahap ketiga ia mesti berbuat sesuatu untuk menyembuhkan trauma. Dalam tahap ini, kita berusaha untuk mengembalikan energi dan kekuatan yang sempat hilang. Kita dapat mendonorkan darah, menyumbangkan kebutuhan untuk korban bencana dan kebaikan lainnya sekecil apapun itu. Kita tidak perlu takut kebaikan ini sama sekali tidak berpengaruh untuk lingkungan. Ketika dalam kondisi trauma, lakukan hal terdekat yang bisa membuat perubahan meskipun sangat kecil. Dengan begini, kita akan mengembalikan kekuatan sedikit demi sedikit.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, trauma turut mengganggu equilibrium normal tubuh manusia. Untuk membebaskan kembali tubuh, kita dapat melakukan berbagai aktivitas fisik yang melibatkan gerak. Sebagai contoh, berjalan-jalan di sekitar tempat yang kita sukai atau berolahraga jika sudah mendapatkan cukup energi. Di samping itu, kita perlu keluar dari zona isolasi. Dalam tahap kedua, korban trauma telah mendapatkan kembali perasaan mereka. Ketika memasuki tahap ketiga, mereka dapat menghidupkan kembali kehidupan sosial ataupun meminta dukungan dari orang terdekat.
Perlu diketahui, tahap kedua dan ketiga biasanya terus bergulir. Kita tidak bisa langsung melewati kedua tahap ini secara langsung. Ketika kita sedang berusaha menyembuhkan diri dari trauma pada tahap ketiga, tidak menuntut kemungkinan perasaan trauma akan kembali. Hal yang perlu kita lakukan adalah melawan perasaan bahwa kita tidak bisa sembuh. Sekalipun kita mengulang kedua tahap ini berulang kali, ingatlah bahwa pada akhirnya akan tiba saatnya kita memasuki tahapan terakhir.
Pada tahap keempat, perasaan trauma telah terbebas dan kita terbangun dari krisis. Ketika memasuki tahapan ini, kita telah mampu menerima peristiwa traumatik dan belajar dari sana. Kita pun bisa belajar dan berkembang 100 kali lebih cepat dibandingkan sebelumnya, karena kita melihat adanya kesempatan baru dalam hidup. Seseorang yang telah melalui badai trauma juga dapat menjadi bala bantuan untuk korban trauma menghadapi rasa kesakitan emosional dan fisik yang mereka rasakan. [IM]