Menjadi Guru Di Masa Pandemi

326
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Tiba-tiba, ruang kelas menjadi ruang tamu, ruang tidur, atau ruang makan. Interaksi fisik menjadi interaksi dalam jaringan yang sangat tergantung pada koneksi wi-fi. Serius, apakah efektif belajar model begini? Yuk, kita tanya aja ke seorang guru.

Merayakan Hari Guru Nasional yang telah diperingati sejak tahun 1912 ini, kita mengenang jasa para pengajar. Kini, guru bukan hanya hadir di dalam tembok sekolah atau universitas saja. Guru bisa jadi seorang yang jauh lebih muda dari kita, mengajarkan sejarah melalui lukisan. Guru bisa jadi seorang veteran perang yang menceritakan kisah hidupnya. Guru juga bisa jadi merupakan aplikasi interaktif yang dibangun oleh sekelompok orang entah di mana. Kita menghargai semua yang rela membagikan pengetahuan, yang sabar mengajari, dan tekun menjawab pertanyaan. Terima kasih, guru-guru, di manapun kalian berada.

Di artikel kali ini, aku mau kepoin guru yang aku kenal dekat sekali–karena beliau adalah mamaku! Mama adalah seorang dosen di Universitas Parahyangan (UNPAR) yang berlokasi di Bandung. Sejak pandemi, mama jadi mengajar via Zoom dari rumah, bimbingan skripsi pun melalui Zoom (kadang suka kedengeran murid yang diomelin hahaha).

Kenalin diri sedikit, dong, ke pembaca Indomedia!
Nama saya Paulina. Saya adalah dosen Akuntansi sejak tahun 1995. Saat ini, mata kuliah yang saya ajar adalah Sustainability Accounting, Sustainability Leadership, dan Research Studies in the Field of Sustainability. Dulu, saya juga lulusan S1 di UNPAR, lalu mengambil S2 di UNPAD, dan akhirnya mengambil doktoral di Trisakti dengan supervisi profesor dari Macquarie University.

Biasanya gaya mengajarnya gimana, sih, ketika mengajar secara fisik?
Selain lecture, biasanya ada juga FGD atau focus group discussion, yaitu kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk membahas case studies. Selama lecture, biasanya pakai Power Point dan video. Sebelumnya, saya juga sudah jarang membagikan materi dengan print-out kertas. Print-out biasanya hanya kalau ada pop-up quiz saja!

Lalu, apa bedanya mengajar di masa pandemi selain kelasnya diadakan via Zoom?
Pertama, untuk assessment pengertian murid lebih sulit karena tidak bisa melihat apakah murid itu menyontek atau tidak. Jadi, paling terasa ketika ujian. Soal ujiannya jadi lebih ke case study yang di-take home. Lalu, untuk soalnya pun harus berbeda-beda agar tidak bisa saling meniru jawaban. Misalnya, untuk menganalisa company, sekarang harus mencari 40 company atau sejumlah murid yang ada di kelas.

Bagaimana dengan perbedaan di murid-muridnya? Misalnya, secara moral/konsentrasinya?
Sebenarnya, sulit, karena jadi tidak terlihat mimik mukanya dan gaya tubuhnya. Kebanyakan murid menolak untuk menyalakan kamera saat kelas dengan berbagai alasan (misalnya, wi-fi rusak atau lainnya). Jadi, kami para dosen tidak bisa melihat reaksi mereka. Sementara kalau di kelas, kami bisa terlihat anak-anaknya sedang bersemangat atau lemas, berkonsentrasi atau tidak.

Ada kisah lucu selama mengajar online? Misalnya, alasan yang dipakai?
Paling sering alasannya wi-fi jelek. Ada juga yang dipanggil nggak menyahut, lalu beberapa murid kemudian tiba-tiba bilang habis dari toilet. Ada juga yang kelas sudah selesai nggak leave room Zoom. Lucunya, ini juga suka terjadi saat sidang. Biasanya, kan, saat sidang murid yang presentasi dan pendengar diminta untuk leave agar para dosen bisa diskusi privately. Tetapi, ada yang tidak leave. Jadi, kami bingung juga harus mulai bahas nilai bagaimana.

Apa yang dilakukan untuk meng-engage murid-murid/memanfaatkan keadaan kelas yang harus digital seperti sekarang?
Selama ini dikasih poin partisipasi, sih, lalu dipecah ke breakout group untuk bisa diskusi juga. Kemudian, dipilih ketua kelas untuk mendorong teman-teman yang lain. 

Jujur, nih, pakai celana santai, ya, waktu mengajar?
Ya, betul hahaha! Kadang, sambil di toilet (ups!) Dedikasi, dong, ya. Kalau perlu ke toilet, ya dibawa saja laptopnya! Hahaha!

Jadi, memilih mengajar langsung atau via digital seperti sekarang?
Ada plus minusnya masing-masing. Kalau dari sisi efektifitas pengajaran, tentu offline lebih baik.
Tapi, kalau dari sisi efesiensi waktu, online lebih mendukung, terutama dalam menghemat waktu perjalanan. Apalagi kalau sudah terjebak kemacetan. Lalu, dengan kuliah online kita pun bisa mengundang professor berkaliber tinggi untuk melakukan seminar atau menjadi lecturer dengan biaya yang lebih rendah, tidak perlu biaya penerbangan ataupun penginapan. 

Misalnya, dulu kalau mau mengundang seorang profesor dari Jepang untuk mengajar, kita harus membuat kelas intensif selama satu minggu karena tidak mungkin beliau pindah ke mari selama satu semester. Itu pun membutuhkan budget 40 – 50 juta untuk transportasi, visa, dan akomodasi saja di luar honor. Sekarang, kita jadi bisa arrange untuk beliau mengajar mata kuliah seminggu sekali selama satu semester.

Terakhir, apa yang memotivasi untuk tetap mengajar di masa pandemi ini terlepas kesulitan yang ada?
Well, the show must go on! Karena ada kewajiban dan tanggung jawab sebagai dosen, maka tantangan apa pun harus dihadapi demi murid. Selain itu, memilki mindset bahwa mengajar via digital ini bisa digunakan untuk melatih diri menghadapi masa depan pendidikan. Melalui online learning, kita bisa menjangkau murid-murid yang sebelumnya tidak memiliki akses ke universitas di kota besar. Sehingga ada kesamarataan kesempatan bagi murid-murid yang jauh ataupun memiliki disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang sama! [IM]

Previous articleYakin Mau Invest? Yuk, Pelajari Passive Income 101
Next articleDiaspora Night 2021