Luciano “Romano” Valentin de Conceixa – Berjuang Lewat Diplomasi

1527
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

Proses sebuah negara untuk kembali berdaulat tentu memerlukan proses yang panjang dan penuh pengorbanan yang besar. Seorang anak yang kemudian tumbuh menjadi remaja, dan kelak pria adalah saksi kembali kedaulatan ini dengan darah dan air mata. 

Sejak menyaksikan anggota keluarganya terbunuh, Luciano kecil bertekad untuk menjadi pejuang. Ia lari ke hutan, bergabung dengan paramiliter dan membentuk dirinya tak hanya menjadi pejuang lewat angkat senjata, juga diplomasi. Berkat bantuan seorang pastor, ia berkesempatan untuk bersekolah di Jakarta dan kemudian membangun sebuah kisah hidup yang luar biasa. Kini, ia menjadi seorang negarawan dan diplomat yang terhormat dan, terus terang, sangat bersahabat. Berikut obrolan ringan-tak-ringan INDOMEDIA dengan Konsulat Jenderal Timor Leste (Leste adalah bahasa Portugis untuk kata “timur”. Sehingga, dalam bahasa Indonesia menjadi Timor Timur. Secara resmi, nama negara ini adalah República Democrática de Timor-Leste/RDTL) kata Bapak Luciano Valentin de Conceixa.

Boleh ceritakan asal-usul nama Anda?

Nama baptis saya, nama Kristen, adalah Luciano Valentin de Conceixa. Lalu, ada nama kecil saya, yaitu Luciano Romano. Tapi, ada nama yang diberikan saat lahir. Itu nama tradisionalnya. Setiap orang yang lahir di Timor Timur, sebelum dibaptis atau masuk agama Kristen, apakah itu laki-laki atau perempuan, biasanya memiliki nama tradisonal yang diberikan oleh orangtua mama. Kalau masuk Katolik, dapat nama Katolik. Kalau masuk Islam, pakai nama Islam. Nama saya sendiri diberikan oleh gereja Katolik yang dipengaruhi oleh gereja Katolik Portugis. Dulu, Timor Timur dijajah Portugis, jadi nama saya ini adalah warisan kolonial Portugis. Saya lahir tanggal 9 Juli 1972. Tiga tahun sebelum secara resmi Indonesia masuk ke Timor Timur. 


 
Bisa ceritakan tentang keluarga Anda?

Saya menikah dua kali. Istri saya yang pertama kelahiran Jakarta, anak seorang purnawirawan ABRI, yang pernah ditugaskan dalam peperangan Timor Timur. Pernikahan kami dikaruniai tiga orang anak. Dengan segala risiko, ia mengikuti saya di tahun 1994 ke Eropa setelah menikah. Anak saya ada yang lahir di Portugal. Satu lagi di Timor Timur saat kami kembali ke sana. Yang pertama di Jakarta. Saat ini dia berusia 25 tahun. Di tahun 1994, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Pasifik. Presiden Soeharto sebagai hosting untuk lebih dari 20 kepala negara dan kepala pemerintahan. Dari Australia, perdana menteri Paul Keating yang datang. Saya tidak pernah lupa kejadian hari itu. Pertama karena anak saya lahir di rumah sakit, dan kedua kami berhasil mengokupasi kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta. Kami melakukan ini untuk mendapatkan perhatian komunitas internasional. Karena masalah Timor Timur bukan masalah antara Timor Timur dengan Indonesia, PBB, atau Portugal. Tapi, rakyat Timor Timur dengan komunitas internasional. Melalui dua resolusi PBB Dewan Keamanan dan beberapa resolusi majelis umum PBB. 

Jadi, kelahirannya memiliki arti penting baik secara pribadi maupun politis.

Benar. Dia juga sekolahnya jadi berpindah-pindah negara–Portugal, Timor Leste. Putra saya yang pertama ini melanjutkan SMA-nya di Oxford, lalu ambil studi medis di London University. Sekarang dia memiliki perusahaan entertainment yang berbasis di London. Anak saya yang kedua, perempuan, sekarang di Jakarta. Beberapa kali muncul di layar TV nasional, seperti RCTI, Indosiar, dll. Pernah juga bermain di film seri “Anak Jalanan”, namanya Gabriella. Biasa dipanggil Gaby. Itu putri saya. Karena dia merasa (dunia akting) bukan dunianya, jadi dia istirahat. Sekarang dia ikut modelling di Jakarta. Rencananya, tahun depan bulan Juni mengunjungi saya di sini. Dan satu lagi, seorang putri juga. Masih sekolah SMA, dekat Kelapa Gading. Mereka tinggal di kawasan Cempaka Putih bersama neneknya. Saya berpisah dengan istri pertama, lalu menikah lagi. Istri saya masih di Sydney menemani, tapi Sabtu ini akan kembali ke Dili (ibukota Timor Timur-RED) karena dia juga pejabat di negara saya. Dia pernah menjabat sebagai wakil jaksa agung. Saat ini dia menjabat sebagai Inspektur Kejaksaan Agung. Anda pasti mengerti kesibukan tugasnya seperti apa.

Apa saja hal-hal yang Anda sukai?

Sejak kecil, karena saya melalui proses yang penuh konflik, saya selalu mencari berita-berita yang aktual, terutama berita politik. Tapi, tentu saja saya punya hobi di luar itu, seperti sepakbola, dengar musik… Tapi, yang paling utama, di generasi saya waktu itu, adalah berita politik. Pada masa itu, tahun 80-90-an, Timor Timur masih dibilang provinsi, bagian dari Indonesia. Saat itu sulit sekali bagi kami mendapatkan berita yang kredibel dan independen. Sehingga, kami lebih sering mendengarkan radio BBC Australia siaran Indonesia yang berpusat di Melbourne. Setiap pagi dan malam kami mengikuti berita-berita tentang Indonesia. Itu pun berisiko. Seringkali, orang yang ketahuan mendengar radio itu dibunuh, karena dianggap berpolitik. Kami juga mendengar Radio Netherland dari Belanda yang berlokasi di luar kota Amsterdam. Lalu, dari London, ada yang lebih populer lagi, yaitu BBC siaran Indonesia. Itulah tiga radio yang paling populer bagi saudara kami yang hidup bergerilya di dalam hutan, juga bagi kami yang hidup di kota, sehingga kami punya harapan untuk merdeka suatu saat. Kami, saya dan teman-teman saat itu masih menjadi mahasiswa yang berada di berbagai kota di Indonesia–Bali, Malang, Surabaya, Jogjakarta, Bandung, Jakarta, dan lainnya. Hobi kami yang paling utama adalah mendengarkan berita internasional, tapi bernuansa politik. 

Contohnya?

Waktu itu Menteri Luar Negeri Indonesia (saat itu) Mochtar Kusumaatmadja mengikuti Konferensi Non-Blok. Selalu ada pernyataan-pernyataan dari negara-negara peserta yang menentang kolonialisme. Mereka ini selalu mengkritisi pemerintah Indonesia dan Mochtar Kusumaatmadja selalu membela posisi RI. Berita-berita seperti itu menjadi penting bagi kami dan membuat kami berpikir bahwa ini adalah suatu proses yang tidak bisa kita sia-siakan karena banyak dari kami menjadi korban dari konflik ini. Namun, demikian kami tetap memendam harapan.

Apakah menjadi diplomat adalah cita-cita masa kecil Anda?

Jadi pejuang sebetulnya adalah pilihan. Tapi, buat generasi saya, yang lahir tahun 70-an atau akhir 60-an, itu bukan pilihan. Situasi memaksa kami menjadi pejuang. Pekerjaan diplomat ini, secara pribadi, sudah saya lakukan sejak tahun 90-an. Saat itu, saya masih berusia 22-23 tahun, kami tiba di Portugal dengan suaka politik. Tapi, teknisnya, saya pergi ke negeri kami sendiri karena Portugal masih diakui oleh PBB sebagai pemegang kekuasaan yang legal di Timor Timur. Saat itu, saya dan beberapa kawan melakukan aktivitas diplomatik dan politik melalui forum internasional, regional, apakah itu di tingkat Uni Eropa atau Uni Afrika, sampai ke Asia dan Amerika Latin. Itu juga sebenarnya bukan pilihan, lebih ke situasional. Menjadi diplomat seperti sekarang ini, mungkin terlihat seperti karir, tapi sebenarnya bukan, dalam konteks saya berada di kementrian luar negeri Timor Leste. Sejak restorasi kemerdekaan, konjen yang bertugas di kota ini (Sydney) selalu berasal dari pejabat politis. 

Bagaimana pengalaman Anda saat bersekolah?

Well, SD dan SMP saya tempuh di Timor Timur. SMA-nya tidak pernah becus, karena sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Hari ini di Jakarta, besok di Bali. Saat itu di Jakarta akhir tahun 90-an, ada mahasiswa asal Timor Timur yang nota bene aktif di gerakan bawah tanah untuk memperjuangkan kemerdekaan, tapi jumlahnya sedikit, kurang dari 40 orang. Saya merasa tidak menemukan jalan untuk berjuang, saya berusaha terus membangun kontak dengan rekan-rekan mahasiswa asal Timor Timur. Itulah sebabnya saya ‘lari’ ke Bali. Di sana saya merasa lebih senang, pikiran saya lebih fokus, dan kawan-kawan saya banyak, hingga akhirnya Bali dijadikan basis perlawanan dan perjuangan mahasiswa Timor Timur terhadap aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur. Perjuangan itu bentuknya macam-macam. Contoh, ada beberapa anggota parlemen Australia yang sering menyuarakan hak-hak asasi manusia. Kami mencari di berbagai media, termasuk radio dan koran, kami fotokopi berita ini dan mencari jalan bagaimana kami bisa mengirimkannya ke para pejuang di Timor Timur, ke Pak Xanana (Xanana Gusmao, presiden Timor Timur pertama-RED) atau para komandan agar mereka mengetahui bahwa ada negara-negara yang memerhatikan nasib kami. Saya dan teman-teman satu visi ini ingin melakukan pekerjaan konkret untuk membantu perlawanan. Tak hanya itu, kami juga membangun jaringan di luar negeri terutama ke orang-orang asing yang bersimpati terhadap nasib Timor Timur. Mereka ini yang membawa dokumen-dokumen itu ke kantor amnesti internasional dan media-media luar negeri untuk ditindaklanjuti. Terakhir, saya kuliah di London University. Saat itu, Timor Timur sudah dalam fase jajak pendapat atau referendum.

Sektor apa saja di Timor Timur yang sangat potensial untuk menjadi lahan investasi saat ini?

Ratusan tahun lalu, pemerintah Belanda dan Portugis datang ke Timor Timur karena rempah-rempah, terutama cendana. Sampai sekarang masih ada, tapi kurang terawat. Ada di beberapa tempat yang biasa disebut orang hutan cendana. Nilai ekonomis sangat penting tapi kurang sosialisasi. Lalu, di jaman pemerintahan Indonesia, banyak pemimpin negara yang meminum kopi Timor Timur, karena dianggap salah satu kopi dengan kualitas terbaik di dunia. Jadi, dari hasil bumi, produk lokal kami ada cendana dan kopi. Ada juga sektor marmer, yang menurut para ahli, lebih baik kualitasnya dari marmer Tulung Agung. Namun, hingga saat ini, APBN kami lebih dari 75% datang dari minyak dan gas. Dari segi pariwisata, pantai-pantai kami masih ‘perawan’. Sangat indah. Lalu, ada tempat-tempat bekas perlawanan kami yang menarik untuk digali baik dari historis maupun wisata. Kami juga memiliki alam yang sangat indah. Timor Timur adalah sebuah negara kecil yang memiliki dua pemenang Nobel perdamaian, yaitu mantan presiden Ramos Horta dan Uskup Belo. Kami memang masih banyak memiliki kekurangan, tapi saya rasa keberadaan mereka di negara ini dapat melengkapi kekurangan itu. Perjuangan kami tidak hanya menghasilkan restorasi kemerdekaan dan simbol negara, tapi kami melihat bahwa proses demokrasi itu sendiri berjalan dengan baik di negeri kami. [IM]

 

 

Previous articleStroke Mengincar Kaum Muda
Next articleClarins Shieryl – Si Pembuat Dialog