Kesehatan sangat berharga setelah kita sakit. Yoen Yahya

348
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


It is health that is real wealth and not pieces of gold and silver

Hari ini cuaca tidak begitu indah. Mendung, ditambah hujan rintik-rintik.
Jam menunjukan angka 10. Biasanya kami berdua sudah jalan pagi dan menghirup kopi disalah satu cafe. Pagi ini suami masih menikmati mimpi indahnya setelah  melaksanakan subuh bersama. Ku tulis nota singkat kalau aku ke mall dekat rumah. Dan minta suami menelpon kalau berniat menyusul.

Aku langsung ke cafe yang sudah biasa ku kunjungi. Tegur sapa ramah Barista menyambutku. Tanpa ditanya mereka sudah menyiapkan kopi kesukaanku.
Capucino extra hot one sugar. Hahaha. Meja tempatku biasa nongkrong masih
kosong seakan memang disediakan buatku. Di meja ini aku bisa berjam-jam menulis sambil merasakan nikmatnya kopi dan lezatnya almond croissant favourite ku.

Bulan ini tepat 6 bulan sejak aku menjalani operasi tangan kananku. Perjalanan panjang selama 6 bulan serasa mimpi. Sebelumnya aku sudah pernah menjalani 5x operasi yang semuanya kujalani dengan tenang. Operasi kali ini ada rasa cemas, mungkin karena faktor usia yah.

Dipergelangan tangan kanan ada tulang yang menonjol. Selama masih bekerja, fokus dengan pekerjaan kantor membuat hal ini tidak kutanggapi serius. Setelah berhenti kerja, baru sadar kalau benjolan makin membesar dan jari kelingking tidak bisa digerakkan.

Hasil konsultasi dan informasi yang diberikan Dr. Stewart Myers, Hand Specialist membuat nyaliku ciut. Dokter tidak memaksaku, hanya mengingatkan karena syaraf-syaraf tangan kena dampak mengakibatkan jari-jari lain perlahan ikut tidak berfungsi. Berkat nasehat suami aku putuskan untuk operasi.

Tgl. 14 Juli jam 10.00 di Prince of Wales Private Hospital. Karena Covid suami tidak diijinkan mengantar sampai ke dalam. Cukup melepasku di lobby. Suami memeluk
dan meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Dari tatapan matanya aku
tahu dia mengkhawatirkanku.

Alhamdulillah operasi yang berjalan hampir 4 jam berjalan lancar. Waktu sadar,
pertama kulihat suami dan anakku. Suami mengusap rambutku, anak mencium
pipiku. Ungkapan rasa lega.

Secara reflex kucari tangan kananku. Rasa aneh dan ringan…. baru kusadari tanganku terbalut perban dalam posisi tergantung. Bagian yang tidak terbungkus perban tampak membengkak. Ya Allah sampai kapan seperti ini? Perawatan yang kuterima sangat baik, perawat-perawat cantik dan ramah selalu datang memantau suhu tubuh, memberikan obat-obatan–terutama pain killer yang masih kubutuhkan–dan menghiburku dengan
kata-kata yang memberi semangat. Setelah   2 hari di rumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Karena pengaruh pain killer jalanku masih seperti zombie, suami memapahku dengan sabar memasuki rumah yang kurindukan.

Selama tanganku terbalut perban segede guling, suami mengambil alih tugas-tugasku. Mengusap air mata dan membujukku disaat aku menangis kesakitan. Pain killer hanya sementara menghilangkan rasa sakit. Ada rasa bersalah menangis di depan suami dan anak yang kebingungan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Akhirnya di tempat tidur dan bantal aku menghamburkan tangisku. Saat tidur pun harus berhati-hati
dengan posisi ku. Minggu pertama dan kedua adalah masa yang terberat.

Aku yang biasanya cerewet atas kebersihan kamar mandi dan dapur, kali ini harus
pasrah tutup mata. Suamiku telah melakukan yang terbaik. Nasehat teman untuk
minta bantuan pemerintah yang menyediakan bantuan dalam hal ini ditanggapi
dengan senyum. Menurutnya, inilah saat yang tepat untuk menjaga dan merawat istri.
Dan hal ini betul-betul dilakukan. Setiap menyiapkan makan, tak lupa suamiku menggoda dengan canda dan kekonyolannya yang membuatku tertawa. Terharu, bangga atas semua yang dilakukannya.

Kunjungan sahabat yang bergantian
datang menghiburku merupakan obat
dan penyemangatku. Kebersamaan,
cinta kasih keluarga, sahabat disaat
sakit adalah nikmat yang luar biasa
yang diberikanNYA. Bayangan yang
selama ini kucemaskan tidak pernah
terjadi. Sebaliknya, limpahan kehangatan
dan kebahagiaan yang kudapatkan.

Banyak pelajaran yang dapat kupetik disaat sakit. Aku yang biasa mandiri, kali ini harus menerima kenyataan bahwa hidup harus
saling mengisi. Dibantu dan membantu.
Namun hal ini bukan berarti tidak berusaha.
Aku tetap menyemangati diri dan berdoa.
Aku harus cepat sembuh, harus… harus…

 

Memang ujian kesabaran sangat berat. Tapi dengan mengingat kesulitan orang lain
yang jauh lebih parah, syukur dan nikmat adalah gantinya. Dapat kurasakan bagaimana menderita dan sulitnya seseorang yang kehilangan salah satu anggota tubuhnya.
Kalau setiap perjalanan hidupku selalu indah, hati tak pernah kenal  sabar dan ikhlas.

Pemulihan syaraf yang memakan waktu lama seperti kata dokter, membuatku lebih
sabar dan tabah. Seminggu sekali aku melakukan terapi. Setiap melakukan latihan
dengan mengusap perlahan dan menepuk-nepuk bekas luka dapat kurasakan getaran
dan denyutan syaraf. Pengalaman yang baru seumur hidup kualami.

Dalam setiap sujudku tiada hentinya kupanjatkan syukur atas semua karuniaNYA.
Kuingat nasehat ibu agar tidak berhenti berdoa, Allah akan mengabulkan doa-doa
kita pada saat yang tepat.

Waktu begitu cepat berlalu, aku sudah terbiasa dan bisa berkompromi dengan kondisiku. Perlahan, aku mulai dengan tugas-tugas ringan. Melatih jari-jari tangan yang kaku.
Setiap hari kutemui perkembangan baru yang menakjubkan. Bisa menulis lagi dengan tangan kanan. Selama 6 bulan tangan kiriku bekerja rangkap mengerjakan tugas
tangan kanan, sehingga aku punya keahlian baru menulis, bebersih, makan, mengancingkan baju dengan tangan kiri.

Daftar panjang tugas yang diambil alih suami pun semakin berkurang.
Suami merasa lega, tugas mengganti sprei yang membuatnya pusing
selama 4 bulan berakhir sudah hahahaha…

Seandainya aku tidak diberi sakit, hidup ini hambar, datar tidak ada tantangan. Pengalaman ini memberiku kekuatan dan keyakinan yang mendalam atas kebesaran Allah.

Dalam sakitku kutemukan kasih sayang, persahabatan yang tulus. Setiap rasa jenuh dan putus asa, kuingat kata bijak “Belajarlah mencintai masalah dengan sabar, ikhlas sebagai penguat langkah, maka keindahan menghampirimu”

— True love is not how you forgive but how you forget. Not what you see but what you feel. Not how you listen but how to understand, and not how you let go but you hold on [IM]

Previous articleSeberapa Mandirikah Generasi Sekarang? Oleh Marini Sari
Next articleABSC Inc. Gelar Acara Makan Malam Gala Tahunan.